SENIN siang lalu ruang fraksi Persatuan Pembangunan di DPR
sedikit "ramai". Beberapa orang anggota F-PP, antara lain Ali
Tamin, Darussamin, dan Romas Djajaseputra, membagikan surat
pernyataan kepada para anggota lain untuk ditandatangani.
Isi pernyataan itu: mendukung kebijaksanaan yang ditempuh Ketua
Umum PP PPP J. Naro, termasuk kebijaksanaan personalia DPP PPP
dan menetapkan pimpinan fraksi PP. Selain itu juga tidak
membenarkan usaha yang bermaksud merongrong kepemimpinannya.
Belum diketahui berapa anggota F-PP yang menandatangani
pernyataan tersebut. Namun ada desas-desus yang mengatakan,
mereka yang menolak bisa kena recall. Benarkah? "Itu hak mereka.
Kami hanya ingin tahu kesadaran mereka. Bisa saja hal ini
dianggap semacam ujian loyalitas mereka terhadap pimpinan
partai," kata Darussamin, ketua DPP PPP yang dikenal sebagai
orang dekat Naro.
Senin siang itu juga muncul pernyataan lain. Yang mengeluarkan
Imam Sofwan dan ditujukan pada para anggota F-PP dan pengurus
DPW dan DPC PPP di seluruh Indonesia. Isinya penjelasan tentang
pe-non-aktifan-nya bersama Lukmanul Hakim sebagai wakil ketua
F-PP.
Perang pernyataan kini sedang terjadi lagi di PPP. Yang
mengawalinya adalah keputusan Naro akhir Januari lalu yang
merombak susunan pengurus DPP PPP. SK yang ditandatangani Ketua
Umum J. Naro dan Sekjen Yahya Ubeid itu memberhentikan beberapa
tokoh, antara lain M.A. Gani, Saifuddin Zuhri, Rusli Halil,
Jusuf Hasjim, dan Chalik Ali. Sebagai pengganti muncul orang
seperti Syarifuddin Harakap, Nurhasan Ibnu Hajar dan Mahbub
Djunaidi.
Berlangsungnya Sidang Umum MPR rupanya menunda terjadinya
persengketaan. Tapi seminggu setelah SU berakhir, kapak
peperangan digali lagi. Pada 20 Maret keluar surat memakai kop
DPP PPP yang ditandatangani Imam Sofwan mengatasnamai PB NU,
M.A. Gani (Syarikat Islam) dan H.M. Saleh (Perti). Isinya antara
lain: tidak mempercayai lagi kepemimpinan J. Naro sebagai ketua
umum DPP PPP.
Di NU muncul dukungan melalui surat yang ditandatangani Lukmanul
Hakim dan Chalid Mawardi dan disebarluaskan ke daerah. "Maksud
kami agar daerah tahu persis apa yang terjadi di pusat," kata
Lukmanul Hakim, ketua IV PB NU dan wakil ketua F-PP yang berasal
dari Tasikmalaya, Ja-Bar.
Buntutnya pada 6 Mei lalu keluar surat keputusan pimpinan F-PP
yang ditandatangani Ketua Soedardji dan Sekretaris Yahya Ubeid.
Tindakan Imam sofwan selaku wakil ketua F-PP mengeluarkan
pernyataan 20 Maret, serta tindakan Lukmanul Hakim yang
mendukungnya, dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap ART
partai dan Tata Tertib fraksi. Diputuskannya untuk menonaktifkan
keduanya dari jabatan wakil ketua F-PP.
Tentu Sofwan dan Lukmanul Hakim menolak keputusan itu. "Fraksi
tugasnya hanya mengurus anggota, paling-paling menegur jika
anggota melalaikan tugasnya atau paling tinggi melaporkannya
kepada DPP. Jadi bukan terus gegabah menonaktifkan. Itu sudah di
luar wewenangnya," kata Imam Sofwan pada Musthafa Helmy dari
TEMPO. Lagi pula ia menandatangani "mosi tak percaya" pada Naro
itu sebagai ketua I PB NU, bukan sebagai wakil ketua F-PP.
Imam Sofwan menyebut mosinya itu sebagai "koreksi intern". Itu
pula yang ditegaskannya dalam rapat pimpinan F-PP 3 Mei yang
meminta pertanggungjawabannya. Ia tak hadir dalam rapat 6 Mei
yan menonaktifkannya karena sedang ada di luar kota. Sedang
Lukmanul Hakim tidak hadir karena "dihalangi seorang petugas
sekretariat yang mendapat perintah untuk mencegahnya masuk".
Sementara pertarungan berlanjut, masuklah Idham Chalid. Pada 11
Mei lalu muncul surat keputusan Presidensi PPP yang
ditandatangani Presiden Partai Idham Chalid serta wakilnya T.M.
Gobel (eks SI) dan Rusli Halil (eks Perti). Presidensi,
memperhatikan timbulnya keresahan dalam tubuh partai akibat
berjalannya organisasi partai yang menyimpang dari AD/ART,
memutuskan: segala surat pengesahan dan keputusan partai yang
tidak ditandatangani bersama oleh presiden partai dianggap tidak
sah dan tidak berlaku.
Itu berarti keputusan Naro merombak DPP dan keputusan Soedardji
menonaktifkan Imam Sofwan serta Lukmanul Hakim dibatalkan.
Munculnya keputusan Idham Chalid dan kawan-kawan ini menarik,
karena merupakan indikasi bahwa perpecahan dalam PPP antara
Muslimin Indonesia (MI) dan non-MI (NU, SI, dan Perti) kian
tajam. Sebelumnya Idham dikenal dekat dengan Naro, bahkan
bekerja sama menjelang Pemilu 1982. Lebih menarik lagi, Naro
rupanya kini didukung juga oleh beberapa tokoh non-MI, seperti
Syarifuddin Harahap (SI), Yahya Ubeid dan Romas Djajaseputra
(NU).
Pihak Naro rupanya memandang enteng keputusan Idham Chalid dan
kawan-kawan. "Presidensi tidak dibenarkan mengeluarkan surat
keputusan," kata Darussamin. Menurut pasal 12 AD/ART partai,
pimpinan pusat partai (yang sekarang dipegang Ketua Umum J.
Naro) bertugas menjalankan kepemimpinan partai sehari-hari dan
berwenang mengambil keputusan rutin intern.
J. Naro tatkala ditanya mengenai pertikaian dalam PPP menolak
menjawab. Diakuinya, kasus penonaktifan Imam dan Lukmanul oleh
Soedardji kini sedang dipelajarinya.
Soedardji, tokoh eks MI yang dianggap licin, seperti biasa,
berbicara lantang. "Surat keputusan saya tetap berlaku sah. Ini
delik politik. Buat apa melihat AD atau ART? Sikat saja!"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini