JAKARTA mengikuti contoh Yogyakarta? Pertanyaan ini timbul
setelah dalam beberapa pekan terakhir ini, beberapa orang,
sebagian di antaranya dikenal sebagai residivis, mati tertembak
secara misterius. Mayat mereka umumnya ditembusi beberapa
peluru, ditemukan tergeletak di beberapa tempat. Muncul dugaan:
operasi pemberantasan gali model Yogyakarta kini mulai
dilaksanakan di Jakarta.
Mayat Giot, 18 tahun, misalnya, ditemukan masyarakat tergeletak
di pinggir jalan di wilayah Cibubur pada Kamis 4 Mei dini hari
dengan 2 luka bacokan serta 2 lubang peluru di kepalanya.
Menurut Sugeng, kakak kandung Giot, adiknya bekerja sebaai
buruh di Pasar Induk Kramat Jati. Rabu malamnya, tatkala Giot
bersama dua temannya sedang berada di bar "Hawaii", Cisalak, ia
disergap oleh 5 orang, 4 di antaranya berpistol. Tahu-tahu
esoknya Giot ditemukan sudah menjadi mayat.
Menurut laporan koran Merdeka, yang mengutip sumber kepolisian
Kores 705 Jakarta Timur, Giot adalah residivis yang sudah lama
dicari. Tatkala Rabu malam itu Giot, diketahui sedang minum di
Cisalak, para petugas menyergapnya. Giot dipisahkan dari dua
temannya dan dibawa dengan mobil Corolla. Dalam perjalanan
menuju Cibubur, "mungkin karena Giot melawan petugas dalam
mobil, ia ditembak dan tewas," begitu versi petugas.
Tidak jelas mengapa mayat Giot kemudian ditemukan tercampak di
pinggir jalan. Oleh polisi mayat itu kemudian dikirim ke Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo untuk dimintakan visum.
Rabu malam 11 Mei lalu, sekitar pukul 20.30, mayat Joko Sulisno
ditemukan terkapar di depan kompleks pertokoun Aldiron plaza,
Kebayoran Baru. Dadanya tertembak senjata api. Satu jam
kemudian mayat Baginda Siregar, 25 tahun, ditemukan dekat
terminal bis Blok M. Pada bagian belakang kepalanya terdapat
satu bekas tembakan yang menembus keningnya.
Selain Joko dan Siregar, malam itu 2 mayat korban tembakan juga
ditemukan di wilayah KOKS 704 Jakarta Selatan. Menurut polisi,
penembaknya hingga kini belum diketahui. Tidak jelas apakah
keempat orang itu residivis.
Adnan Buyung Nasution, ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Indonesia, menduga pihak yang berwajib di
Jakarta kini tengah melakukan operasi pemberatasan kejahatan
seperti di Yogyakarta. "Berdasarkan keterangan Pangkowilhan II
belum lama ini asumsi begitu itu ada dasarnya," katanya pada
TEMPO, Senin malam lalu. Lebih dari itu, modus operandi-nya
sama: korban diciduk, dibunuh dan mayatnya dilempar begitu saja.
Kemudian diumumkan bahwa korban tembakan adalah residivis.
Pangkowilhan II Letjen Yogie Suardi Memet, akhir April lalu,
memang mengatakan bahwa operasi penanggulangan kejahatan di
Yogyakarta yang ditangani garnisun setempat, "sangat
dimungkinkan diterapkan di kou-kota lain di lingkungan wilayah
Kowilhan II". "Tujuannya baik, untuk menciptakan suasana tenang
dalam masyarakat. Karena itu tak ada jeleknya dikembangkan di
kota-kota lain. Kita sekarang bisa melihat masyarakat merasa
aman," ujar Yogie.
Namun Buyung Nasution menganggap operasi semacam itu serupa
tindakan main hakim sendiri. "Bila masyarakat melakukan tindakan
main hakim sendiri dianggap anarki, bagaimana kalau aparat
keamanan yang melakukan?" Tindakan serupa dinilainya menghambat
usaha meningkatkan kesataran hukum masyarakat seperti
dicanangkan dalam GBHN.
Menurut catatan LBH, sejak awal Januari 1983 hingga Minggu lalu
ada 21 korban "penembakan misterius oleh pembunuh berdarah
dingin" di Jakarta, 9 di antaranya terjadi dalam bulan Mei.
Menurut Buyung, sekarang ini ada anggapan seolah-olah membunuh
penjahat adalah hal yang wajar. "Ini tidak menyelesaikan
masalah, karena tidak ada bukti bahwa dengan kekerasan masalah
kejahatan akan dapat diselesaikan. Penjahat pun berhak
mendapatkan keadilan," katanya dalam suatu pertemuan pers di
kantor LBH pekan lalu.
Buyung Nasution mengakui, operasi pemberantasan gali mendapat
sambutan positif masyarakat karena hasilnya yang konkrit, cepat,
dan langsung. Tapi dalam negara hukum, operasi semacam itu sama
sekali tak dapat dibenarkan. "Kalau hanya satu dua kali sebagai
shock therapy terhadap penjahat, dapat ditolerir," katanya.
Namun Kepala Daerah Kepolisian VII Metro Jaya Mayjen Pol.
Sudjoko membantah. Pekan lalu ia mengatakan, mulai pertengahan
Mei ini "Operasi Clurit" di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi,
dan Depok terpaksa diadakan lagi karena tingkat kejahatan
cenderung meningkat. Ketika ditanya apakah operasi itu akan
serupa dengan yang di Yogyakarta, Sudjoko tegas menjawab
"tidak". Jakarta bukan Yogyakarta. Kami tidak perlu mengadakan
pemberantasan penjahat dengan mempergunakan sistem tembak di
tempat. Cukup dengan ditangkap dan ditahan."
Kepada Sinar Harapan Sudjoko juga mengatakan, hingga kini belum
diketahui secara pasti apakah para korban penembakan misterius
itu tertembak oleh petugas atau penembak gelap. Selongsong
peluru yang ditemukan sudah dikirim ke laboratorium kriminal
Mabak untuk diperiksa.
Suatu sumber TEMPO mengungkapkan penembakan terhadap beberapa
residivis belakangan ini memang dilakukan petugas. "Sebenarnya
aparat keamanan sudah mencoba jalan yang sebagaimana mestinya.
Tapi karena tidak mempan, ya terpaksa diambil tindakan itu. Tapi
yang jelas tidak ada perintah tertulis untuk melakukan itu,"
ujarnya.
Angka pembunuhan di Jakarta pada April lalu tercatat 19 kasus,
dibanding bulan Maret yang hanya 13 kasus. Sedang pada Februari
tercatat 20 kasus pembunuhan. Untuk beberapa jenis kejahatan
seperti perampokan, pada April tercatat 10 kasus, sedang Maret
11 kasus.
Para anggota DPR umumnya menentang cara pemberantasan kejahatan
yang tidak sesuai dengan hukum. Sekretaris F-KP, Sarwono
Kusumaatmadja, misalnya, menganggap cara itu dalam jangka
panjang berbahaya. Karena akan menciptakan suasana di mana hukum
tidak lagi dihiraukan orang dan semua orang akan mencari "jalan
pintas". Menurut pendapatnya lembaga-lembaga penegak hukum kini
harus menunjukkan kesanggupan dan kewibawaannya untuk
menyelesaikan secara prosedur hukum. "Lembaga-lembaga itu yang
harus memberikan rasa aman, dan bukannya tindakan kekerasan di
luar hukum," kata Sarwono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini