Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memburu Gali Di Jakarta?

Beberapa korban penembakan misterius di Jakarta, menimbulkan dugaan bahwa operasi pemberantasan kejahatan model yogya sedang dilakukan di Jakarta. (nas)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Memburu Gali Di Jakarta?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JAKARTA mengikuti contoh Yogyakarta? Pertanyaan ini timbul setelah dalam beberapa pekan terakhir ini, beberapa orang, sebagian di antaranya dikenal sebagai residivis, mati tertembak secara misterius. Mayat mereka umumnya ditembusi beberapa peluru, ditemukan tergeletak di beberapa tempat. Muncul dugaan: operasi pemberantasan gali model Yogyakarta kini mulai dilaksanakan di Jakarta. Mayat Giot, 18 tahun, misalnya, ditemukan masyarakat tergeletak di pinggir jalan di wilayah Cibubur pada Kamis 4 Mei dini hari dengan 2 luka bacokan serta 2 lubang peluru di kepalanya. Menurut Sugeng, kakak kandung Giot, adiknya bekerja sebaai buruh di Pasar Induk Kramat Jati. Rabu malamnya, tatkala Giot bersama dua temannya sedang berada di bar "Hawaii", Cisalak, ia disergap oleh 5 orang, 4 di antaranya berpistol. Tahu-tahu esoknya Giot ditemukan sudah menjadi mayat. Menurut laporan koran Merdeka, yang mengutip sumber kepolisian Kores 705 Jakarta Timur, Giot adalah residivis yang sudah lama dicari. Tatkala Rabu malam itu Giot, diketahui sedang minum di Cisalak, para petugas menyergapnya. Giot dipisahkan dari dua temannya dan dibawa dengan mobil Corolla. Dalam perjalanan menuju Cibubur, "mungkin karena Giot melawan petugas dalam mobil, ia ditembak dan tewas," begitu versi petugas. Tidak jelas mengapa mayat Giot kemudian ditemukan tercampak di pinggir jalan. Oleh polisi mayat itu kemudian dikirim ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk dimintakan visum. Rabu malam 11 Mei lalu, sekitar pukul 20.30, mayat Joko Sulisno ditemukan terkapar di depan kompleks pertokoun Aldiron plaza, Kebayoran Baru. Dadanya tertembak senjata api. Satu jam kemudian mayat Baginda Siregar, 25 tahun, ditemukan dekat terminal bis Blok M. Pada bagian belakang kepalanya terdapat satu bekas tembakan yang menembus keningnya. Selain Joko dan Siregar, malam itu 2 mayat korban tembakan juga ditemukan di wilayah KOKS 704 Jakarta Selatan. Menurut polisi, penembaknya hingga kini belum diketahui. Tidak jelas apakah keempat orang itu residivis. Adnan Buyung Nasution, ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia, menduga pihak yang berwajib di Jakarta kini tengah melakukan operasi pemberatasan kejahatan seperti di Yogyakarta. "Berdasarkan keterangan Pangkowilhan II belum lama ini asumsi begitu itu ada dasarnya," katanya pada TEMPO, Senin malam lalu. Lebih dari itu, modus operandi-nya sama: korban diciduk, dibunuh dan mayatnya dilempar begitu saja. Kemudian diumumkan bahwa korban tembakan adalah residivis. Pangkowilhan II Letjen Yogie Suardi Memet, akhir April lalu, memang mengatakan bahwa operasi penanggulangan kejahatan di Yogyakarta yang ditangani garnisun setempat, "sangat dimungkinkan diterapkan di kou-kota lain di lingkungan wilayah Kowilhan II". "Tujuannya baik, untuk menciptakan suasana tenang dalam masyarakat. Karena itu tak ada jeleknya dikembangkan di kota-kota lain. Kita sekarang bisa melihat masyarakat merasa aman," ujar Yogie. Namun Buyung Nasution menganggap operasi semacam itu serupa tindakan main hakim sendiri. "Bila masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri dianggap anarki, bagaimana kalau aparat keamanan yang melakukan?" Tindakan serupa dinilainya menghambat usaha meningkatkan kesataran hukum masyarakat seperti dicanangkan dalam GBHN. Menurut catatan LBH, sejak awal Januari 1983 hingga Minggu lalu ada 21 korban "penembakan misterius oleh pembunuh berdarah dingin" di Jakarta, 9 di antaranya terjadi dalam bulan Mei. Menurut Buyung, sekarang ini ada anggapan seolah-olah membunuh penjahat adalah hal yang wajar. "Ini tidak menyelesaikan masalah, karena tidak ada bukti bahwa dengan kekerasan masalah kejahatan akan dapat diselesaikan. Penjahat pun berhak mendapatkan keadilan," katanya dalam suatu pertemuan pers di kantor LBH pekan lalu. Buyung Nasution mengakui, operasi pemberantasan gali mendapat sambutan positif masyarakat karena hasilnya yang konkrit, cepat, dan langsung. Tapi dalam negara hukum, operasi semacam itu sama sekali tak dapat dibenarkan. "Kalau hanya satu dua kali sebagai shock therapy terhadap penjahat, dapat ditolerir," katanya. Namun Kepala Daerah Kepolisian VII Metro Jaya Mayjen Pol. Sudjoko membantah. Pekan lalu ia mengatakan, mulai pertengahan Mei ini "Operasi Clurit" di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok terpaksa diadakan lagi karena tingkat kejahatan cenderung meningkat. Ketika ditanya apakah operasi itu akan serupa dengan yang di Yogyakarta, Sudjoko tegas menjawab "tidak". Jakarta bukan Yogyakarta. Kami tidak perlu mengadakan pemberantasan penjahat dengan mempergunakan sistem tembak di tempat. Cukup dengan ditangkap dan ditahan." Kepada Sinar Harapan Sudjoko juga mengatakan, hingga kini belum diketahui secara pasti apakah para korban penembakan misterius itu tertembak oleh petugas atau penembak gelap. Selongsong peluru yang ditemukan sudah dikirim ke laboratorium kriminal Mabak untuk diperiksa. Suatu sumber TEMPO mengungkapkan penembakan terhadap beberapa residivis belakangan ini memang dilakukan petugas. "Sebenarnya aparat keamanan sudah mencoba jalan yang sebagaimana mestinya. Tapi karena tidak mempan, ya terpaksa diambil tindakan itu. Tapi yang jelas tidak ada perintah tertulis untuk melakukan itu," ujarnya. Angka pembunuhan di Jakarta pada April lalu tercatat 19 kasus, dibanding bulan Maret yang hanya 13 kasus. Sedang pada Februari tercatat 20 kasus pembunuhan. Untuk beberapa jenis kejahatan seperti perampokan, pada April tercatat 10 kasus, sedang Maret 11 kasus. Para anggota DPR umumnya menentang cara pemberantasan kejahatan yang tidak sesuai dengan hukum. Sekretaris F-KP, Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, menganggap cara itu dalam jangka panjang berbahaya. Karena akan menciptakan suasana di mana hukum tidak lagi dihiraukan orang dan semua orang akan mencari "jalan pintas". Menurut pendapatnya lembaga-lembaga penegak hukum kini harus menunjukkan kesanggupan dan kewibawaannya untuk menyelesaikan secara prosedur hukum. "Lembaga-lembaga itu yang harus memberikan rasa aman, dan bukannya tindakan kekerasan di luar hukum," kata Sarwono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus