Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Manajer agribisnis asal Bogor

Awal tahun ini, IPB mendirikan program magister manajemen, yang mencetak ahli manajemen agribisnis.Banyak peminat dan ada program khusus sesuai permintaan.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAMBU yang paling top dari mana lagi datangnya kalau bukan Bangkok. Demikian pula pepaya, durian, atau produk pertanian lainnya. Tapi, dari mana ahli pertanian? Jawabnya hampir seragam, yakni Bogor. Sebab, di kota hujan itu, ada Institut Pertanian Bogor (IPB) yang meluluskan ribuan ahli pertanian. Sebagai perguruan tinggi yang punya nama melahirkan ahli agribisnis, awal tahun ini, IPB meresmikan pembukaan program baru. "Anak bungsu" IPB ini adalah Program Magister Manajemen, yang mencetak ahli manajemen agribisnis. Dari namanya sudah ketahuan bahwa program magister IPB ini akan melahirkan "M.B.A." yang ahli di bidang manajemen pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, dan sebangsanya. Indonesia sudah lama membanggakan diri sebagai negara yang kaya akan sumber-sumber itu. Namun, kenyataannya, kita toh makin ketinggalan dari negeri-negeri tetangga. Bagi IPB, pembentukan program ini tampaknya sebuah upaya untuk menjawab tantangan itu. "Kalau toh tak berhasil mengejar, kami berharap jurang pemisah antara Indonesia dan Muangthai tak makin melebar," kata Prof. Roekasah Adiratma, ketua program ini. Selama ini, menurut Roekasah, banyak masalah manajemen di bidang agribisnis yang belum terpecahkan lewat program magister manajemen biasa. Persoalannya, bisnis di sini banyak ditentukan berbagai hal, mulai dari tanah, iklim, sampai ke mutu bibit. Belum lagi banyak produk agribisnis yang mudah busuk, sehingga memerlukan penanganan waktu yang akurat. Konsumen udang di Jepang, misalnya, tentu saja menuntut agar mutu komoditi yang jumlahnya jutaan ekor itu bisa seragam. Pemikiran inilah yang kemudian mengawali ide pembentukan magister agribisnis itu. Setelah digodok selama tiga tahun, dibahas lewat berbagai lokakarya, 2 Januari lalu, program ini diresmikan. Sebenarnya, program untuk manajemen agribisnis ini bukan yang pertama. Program Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada juga memberi pilihan pada para pesertanya untuk memilih jurusan agribisnis. Namun di UGM, diakui oleh ketua pengelolanya, Drs. Gunawan Adisaputra, M.B.A., agribisnis hanya diberikan pada triwulan terakhir dan hanya 12 satuan kredit triwulan (SKT). Artinya, lulusan magister manajemen UGM masih bersifat umum. Sedangkan di Bogor, kurikulum berbau agribisnis sudah disebar pada semua mata kuliah yang berjumlah 50 SKT sejak awal perkuliahan. Selain kuliah inti untuk MBA, akuntansi, dan sebagainya, para mahasiswa juga akan dijejali kuliah yang berkaitan dengan sistem komoditi agribisnis. Isinya mulai dari konsep, nilai-nilai, sampai tata krama usaha pertanian. Masih ada lagi kasus-kasus khusus yang dibahas dalam diskusi. Dalam perkuliahan yang dimulai Senin pekan lalu, misalnya, para mahasiswa tampak ramai berdiskusi tentang masalah tembakau Indonesia. Ternyata, "menu" yang disusun IPB ini menarik cukup banyak peminat. Angkatan pertama saja sudah diserbu tak kurang dari 190 pelamar. Sedangkan kelas yang tersedia hanya menampung 42 kursi. Angkatan-angkatan berikutnya pun tak bakalan sepi. Ada pesanan khusus dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang pasti akan mengisi sepertiga kursi setiap angkatan. Mereka adalah dosen-dosen dari perguruan tinggi swasta yang mendapat tugas belajar. Pelanggan lain adalah Departemen Kehutanan. Bahkan seperempat mahasiswa angkatan pertama berasal dari sini. Selain kelas reguler, yang terdiri dari dua angkatan setiap tahun, masih ada lagi angkatan khusus. Program khusus ini dibuat berdasarkan permintaan konsumen. Kurikulum pun dirancang sesuai dengan kebutuhan pemesan. Untuk itu, sebelumnya, diadakan riset untuk mencari tahu pendidikan apa yang kira-kira cocok dengan permintaan. Asosiasi Pengusaha Hutan (Apkindo), yang diketuai Bob Hasan, adalah "pelanggan" yang sudah memesan satu angkatan khusus mulai April nanti. Peminat memang banyak walau biaya tak murah. Setiap mahasiswa atau sponsornya mesti membayar tak kurang dari Rp 15 juta per tahun. Memang, untuk mengelola program magister ini, seperti halnya di perguruan tinggi lainnya, tak mengesampingkan perhitungan bisnis. Untuk urusan akademis, program ini bernaung di bawah IPB. Namun, untuk soal duit, ia mandiri mencari dan mengelolanya sendiri. Modal awal terpaksa dicari dari pinjaman komersial Bank Umum Nasional sebesar Rp 500 juta dengan bunga 28% per tahun. Ada sedikit kelonggaran, bank tak minta agunan dan memberikan masa tenggang tiga tahun. Dengan duit utangan ini, satu lantai Gedung Alumni IPB disulap menjadi kampus mewah. Lengkap dengan karpet dari tembok ke tembok, perpustakaan, dan 50 buah komputer. Ongkos operasi yang mesti dikeluarkan juga besar. Diperkirakan, setiap tahun akan menelan biaya sekitar setengah milyar rupiah. Maklum, "perkuliahan bergengsi" seperti ini juga memberikan bayaran tinggi kepada dosen-dosennya. Ratarata seorang dosen dibayar puluhan ribu rupiah per jam. Bahkan ada program magister di universitas lain yang berani membayar dosennya Rp 120 ribu per jam. Diperkirakan, berapa pun besarnya ongkos akan bisa ditutup bila peminat tetap berduyun-duyun. "Begitu ada duit, kami akan segera bayar utang itu," kata Roekasah optimistis. Tampaknya, program magister manajemen semacam ini, kecuali punya cita-cita menyiapkan tenaga manajer profesional di bidang agribisnis, juga dirancang menjadi tambang uang. Sebab, bagi mahasiswanya, membayar belasan juta itu bukan suatu pemborosan. Mereka malah menganggapnya sebagai investasi untuk masa depan. "Duit itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan hasil yang akan saya peroleh nanti," kata Abidarin Rosyidi, seorang mahasiswa asal Yogyakarta. Maka, jangan heran jika sekarang pendidikan MBA ini ada di mana-mana. Dwi Setyo Irawanto, YH (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus