Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masih Ada Kuasa Pusat

Kewenangan daerah diperbesar dengan dua UU baru. Namun, aroma sentralistis masih menyengat kuat.

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jangan anggap enteng para wakil rakyat di daerah. Itu terutama di level kabupaten, yang terhimpun dalam dewan perwakilan rakyat daerah tingkat II atau DPRD II. Mereka kini punya otoritas memilih bupati?tanpa ada campur tangan pemerintah pusat, apalagi provinsi, lewat mata rantai pencalonan yang selama ini bertele-tele. Jika Pak Bup yang saking berkuasanya kerap dijuluki si raja kecil itu terbukti korup atau tak becus mengurus daerahnya, para wakil rakyat setempat boleh memecat?sekali lagi, juga bebas dari cawe-cawe orang pusat. Hebat, bukan? Semangatnya memang begitu. DPRD bukan lagi alat perpanjangan tangan kepala daerah. Bahkan, sebaliknya, sang bupati, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, tidak lagi harus bertanggung jawab kepada gubernur, tapi kepada para wakil rakyat itu. "Pemilihan bupati benar-benar menjadi wewenang DPRD II," kata Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Ryaas Rasyid kepada TEMPO. Keputusan ini dikukuhkan ketika para wakil rakyat di DPR Pusat, di Senayan, Jakarta, sepakat mengesahkan RUU Pemerintahan Daerah menjadi UU, Rabu pekan lalu. Masalahnya, masih ada standar ganda di sini. Kepala daerah ternyata juga adalah wakil pemerintah pusat, sehingga mereka tetap bertanggung jawab secara administratif terhadap pusat. Selain itu, hak DPRD untuk menentukan kepala daerah juga masih berkesan dikebiri karena calon yang diajukan masih harus mendapat persetujuan presiden. Memang ada kemajuan, yaitu bila salah satu calon yang disetujui mendapat suara terbanyak, otomatis presiden tinggal meresmikan. Dulu, presiden punya hak prerogatif untuk menentukan kepala daerah, terlepas yang bersangkutan menjadi pecundang dalam pemilihan. Namun, kemajuan ini jadi menguap artinya bila kita melihat pasal 47. Di situ disebutkan bahwa kepala daerah bisa diberhentikan sementara ataupun tetap (setelah melalui keputusan pengadilan) oleh presiden tanpa melalui persetujuan DPRD. Menurut Ryaas Rasyid, pemberhentian ini dilakukan bila kepala daerah yang bersangkutan melakukan tindak pidana seperti korupsi atau, misalnya saja, membunuhi rakyatnya. Mengapa hal ini tak diserahkan saja kepada DPRD? "Bila bupati berasal dari partai mayoritas, akan sangat sulit bagi DPRD untuk memecatnya. Selain itu, dengan uang korupsinya, ia bisa membeli suara," ujar Ryaas. Masuk akal. Tapi, di sisi lain, hal ini mengisyaratkan pemerintah pusat belum sanggup menaruh kepercayaan bahwa anggota DPRD yang kelak terpilih lewat pemilu adalah orang yang punya integritas. Hal ini wajar dipertanyakan mengingat alasan yang bisa digunakan untuk memberhentikan sementara, sebagaimana tertera dalam aturan itu, adalah "dugaan melakukan tindakan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah." Pasal ini, salah-salah, bisa berkembang menjadi pasal karet di kemudian hari. Misalnya saja ada kepala daerah yang bersuara kritis dan pemerintah pusat terganggu, maka pasal ini bisa dipakai untuk menghajar. Tengok saja kasus yang melibatkan tuduhan makar kepada sejumlah tokoh dalam Barisan Nasional, setelah meletus tragedi Semanggi, tahun lalu. Tak pelak, pasal ini merupakan kelemahan utama aturan baru ini. Ironisnya, dalam UU lama produk Orde Baru saja hal semacam itu tidak muncul. "Tindakan pemecatan itu bertujuan untuk melindungi rakyat, dan tak dilakukan sewenang-wenang," Ryaas berdalih. Penegasan status daerah-daerah istimewa juga menjadi sesuatu yang menarik. Misalnya saja Daerah Istimewa Yogyakarta. Disebutkan, dengan mengacu kepada aturan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 (peraturan tentang pemerintah daerah yang lama), kepala daerah di wilayah Kerajaan Mataram itu dipertimbangkan berasal dari keturunan keluarga Sultan Hamengku Buwono dan wakilnya dari trah Paku Alam. Jadi, bila Anda politikus yang berdomisili di Yogya, jangan bermimpi bisa meraih jabatan kepala daerah walaupun Anda merasa lebih mumpuni dibandingkan dengan calon yang berdarah raja Jawa itu. Tentu saja ada kemajuan lumayan pada aturan ini. Dalam hal penyebutan saja sudah berbeda. Dulu namanya pemerintahan di daerah, kini pemerintahan daerah. Artinya, kewenangan yang diberikan kepada daerah cukup besar?kecuali pada empat bidang, yang masih dicengkeram pusat: pertahanan keamanan, pendidikan, moneter, dan agama. Aceh, sebagaimana Yogyakarta, karena latar belakang historisnya, juga tetap diistimewakan. Kehidupan beragama, adat, dan pendidikan sangat diperhatikan. Peran ulama juga menjadi bahan pertimbangan untuk pelbagai kebijakan. Kemajuan ini juga terlihat bila kita melongok saudara kembar UU ini, yaitu UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Secara umum, perimbangan pendapatan adalah 85 persen untuk pusat dan 15 persen untuk daerah. Detailnya akan diatur dalam peraturan pemerintah?diharapkan tak menyimpang dari induknya. "Ini adil karena provinsi yang miskin akan mendapat subsidi dari pusat," kata Bachtiar Chamsyah, juru bicara Fraksi Persatuan Pembangunan. Ahli ilmu pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Joseph Riwu Kaho, sepakat. "Kalau daerah mengambil peran terlalu banyak tapi tak bisa menjalankannya, ia bisa mati konyol," ujar Joseph. Yang jelas, pusat masih tetap ingin punya kendali atas rezeki provinsi. Yusi A. Pareanom, Wenseslaus Manggut, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus