KANTOR Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja seakan menjadi lobi Kamboja pekan lalu. Bukan saja karena dua tokoh yang bersengketa tentang Kamboja datang ke Pejambon: menlu Vietnam Nguyen Co Thach dan PM Pemerintah Koalisi Kamboja Son Sann. Tapi Menlu Mochtar juga tukar pendapat lewat telepon dengan menlu Australia Bill Hayden dan menlu Singapura Supia Dhanabalan, sewaktu Co Thach berada di Canberra. Menlu Mochtar merasa kecewa karena katanya, "semua usul Indonesia telah ditolak Co Thach." Tapi agaknya Mochtar, 55, tidak patah semangat untuk menawarkan jalan keluar tentang kemelut Kamboja. Ia terbang ke Bankok, Selasa ini, bersamaan dengan kunjungan Menlu CoThach di sana. Mochtar yang kini menjadi ketua Komite Tetap ASEAN tak mengatakan akan bertemu muka dengan Co Thach di Bangkok. Tapi, yang pasti, ia akan menerima informasi paling pagi dari menlu Muangthai Siddhi Savetsila. Apakah Vietnam masih bisa diajak berunding? Menggulung sedikit lengan bajunya dan membiarkan dasinya agak longgar? Menlu Mochtar Kusumaatmadja, yang baru kembali dari makan siang di Hotel Sari Pacific bersama PM Son Sann, bercerita banyak pada Fikri Jufri dari TEMPO, Sabtu sore lalu. Beberapa petikan wawancara itu: "Saya memang kecewa. Kita sudah berusaha sebisa mungkin. Sehingga bisa menimbulkan risiko. Tapi toh telah ditolak oleh Menlu Co Thach. Di lapangan terbang, sewaktu hendak ke Canberra, dia seakan menyadari telah bertindak keliru. Dan mengatakan: Pintu Indonesia masih tertutup, dan saya belum mengetuknya. Dengan kata lain, ia datang kemari bukan untuk berunding tapi untuk menjajaki. Apa sebenarnya yang Anda tawarkan padanya? Ada dua hal. Pertama, Indonesia tidak keberatan Vietnam ikut serta dalam suatu pasukan multilateral yang mengawasi penarikan mundur pasukan Vietnam secara bertahap, dan tindakan penentuan nasib sendiri rakyat Kamboja. Kedua, Indonesia juga tidak keberatan jika pemerintah Heng Samrin merupakan bagian dari suatu pemenntahan baru yang diperluas di Kamboja. Kehadiran pasukan multilateral itu pun akan terdiri dari negara-negara yang bisa disetujui oleh Vietnam. Apakah tawaran baik ini akan disetujui anggota ASEAN yang lain? Itulah. Saya 'kan sudah bilang, tawaran itu mengandung risiko buat Indonesia. Kalau saja diterima oleh Vietnam, kita akan bekerja keras untuk meyakinkan rekan-rekan ASEAN. Tertutupkah kemungkinan itu setelah Menlu Co Thach tidak menyambut? Ya, kita lihat saja hasil pertemuan Co Thach dengan Siddhi di Bangkok. Tapi situasinya tampaknya masih akan tarik tambang terus. Ya, kelihatannya begitu. Kalau demikian, siapa yang akan lebih diuntungkan: Vietnam atau ASEAN? Susah. Bisa dua-duanya. Bisa dibilang waktu berada di pihak ASEAN, bisa juga dikatakan waktu berpihak pada sisi Vietnam. Tapi, yang jelas, yang paling diuntungkan adalah Uni Soviet. Pengaruh mereka makin besar di Vietnam, dan Kamboja. Masalah Kamboja ini sudah menginjak tahun kelima. Apakah selama itu Anda melihat ada kemajuan dari pihak Vietnam? Ada juga. Dulu mereka selalu mengelak kalau diajak bicara soal Kamboja. Mereka selalu lebih ingin bicara soal keamanan di Asia Tenggara umumnya. Sekarang mereka sudah mau memusatkan pembicaraan pada soal Kamboja. Itu juga yang dikemukakan Menlu Co Thach di Australia. Beberapa pengamat melihat Australia bisa tampil sebagai penengah. Sebab, yang dikemukakan Menlu Co Thach di Canberra, mirip dengan usul Jakarta. Maksud baik Australia bagaimanapun perlu disambut. Yang penting adalah kesediaan Vietnam untuk secara khusus membicarakan soal Kamboja dengan ASEAN. Ini suatu langkah maju. Apakah Anda keberatan melihat terbentuknya semacam federasi antara Vietnam, Kamboja, dan Laos dengan Hanoi sebagai sang kakak? Kalau itu didirikan lewat agresi, seperti dilakukan Vietnam sampai sekarang di Kamboja, dengan sendirinya keberatan. Kita tak pernah memprotes penempatan tentara Vietnam di Laos. Ada yang berpendapat, Indonesia terlalu mengikuti kehendak Muangthai dalam menilai persoalan Kamboja. Betulkah? Tidak betul itu. Tidak ada perbedaan pokok antara kita dan Muangthai dalam menilai kehadiran Vietnam di Kamboja. Perbedaannya hanya dalam cara pendekatan: kunjungan Jenderal Benny Moerdani ke sana, lalu seminar Indonesia-Vietnam yang diselenggarakan oleh CSIS di Hanoi akhir bulan lalu menunjukkan bahwa kita - dibandingkan Muangthai misalnya - mempunyai hubungan yang baik dengan Vietnam. Semua kunjungan itu, yang direstui oleh Presiden, adalah dalam rangka mencari penyelesalan, tanpa perlu merusakkan kekompakan ASEAN. Mana yang perlu didahulukan: ASEAN atau kepentingan nasional? ASEAN itu berarti juga nasional. Sebab, ASEAN itu didirikan untuk kepentingan naslonal. Kalau ASEAN kuat, maka Indonesia juga ikut kuat. Itu teorinya. Bayangkan kalau tiap-tiap anggota ASEAN jalan sendiri. Di mana kita? Bisa saja Muangthai mengundang Cina. Mereka punya hubungan baik. Bahaya Cina di mata Vietnam menurut Anda lain dengan bahaya Cina di mata Indonesia. Begini. Bagi Vietnam ancaman dari Cina itu dirasakan sebagai ancaman militer. Tapi kita perlu melihat persepsi ancaman itu secara lain sekarang. Cina yang sekarang adalah Cina yang lebih mengarahkan perhatiannya ke dalam. Bukan Cina yang dulu, yang suka mengacau ke luar. Jadi, ancamannya juga berubah: konsentrasinya pada pembangunan membuat Cina semakin kuat. Untuk menghadapinya, ekonomi ASEAN harus kuat. Dengan demikian, kita akan lebih mampu menghadapi subversi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini