Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan atau PSKP mengungkapkan bahwa siswa laki-laki rentan menjadi korban kekerasan seksual. Temuan ini didasarkan oleh data Asesmen Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemdikbud sepanjang 2022 dan hasil analisis PSKP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak anak laki-laki yang mengaku demikian,” kata Kepala PSKP Kemendikbudristek Irsyad Zamjani kepada peserta diskusi, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, 27 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irsyad menuturkan, hal itu terungkap saat murid laki-laki mengaku pernah disentuh di area tubuh privat oleh orang lain, seperti guru atau teman. Adapun rujukan bagian tubuh tersebut didasarkan oleh pedoman Asesmen Nasional. “Sebenarnya secara konsep itu sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual,” ujarnya.
Menurut Irsyad, kasus kekerasan dan atau pelecehan seksual terhadap laki-laki cenderung dianggap sebelah mata karena dinilai tidak separah yang dialami perempuan. “Kita anggap bukan kasus kekerasan atau pelecehan seksual, tapi bagi yang mengalami itu dianggap pelecehan seksual,” kata dia.
Irsyad mengatakan kekerasan seksual di sektor pendidikan menjadi kasus yang mendominasi. Sebanyak 10 hingga 15 persen murid di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Ia menyimpulkan angka tersebut bukanlah jumlah yang kecil apabila dikali dengan jumlah sekolah di Indonesia.
“Meskipun tidak semua siswa mengalami, tapi ada murid yang mengalami di sekolah-sekolah tertentu,” ucap Irsyad.
Irsyad mengatakan kasus kekerasan seksual juga berimplikasi terhadap kualitas hasil belajar peserta didik. “Anak-anak yang lebih aman dari kekerasan itu hasil belajarnya lebih baik,” kata dia.
Irsyad mengatakan kekerasan seksual terhadap perempuan maupun laki-laki menjadi catatan bersama. Ia juga mendorong agar sekolah-sekolah dapat memiliki program penanganan kekerasan seksual yang mumpuni. “Sudah ada tapi yang baik itu masih cukup sedikit gitu ya,” ujar dia.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai budaya patriarki berperan dalam melanggengkan tindak kekerasan seksual di sektor pendidikan. “Patriarki atau relasi kuasa yang timpang sangat berkontribusi terhadap maraknya kasus kekerasan,” kata dia.
Sepanjang 2024, kata Ubaid, terdapat sekitar 42 persen laporan kekerasan seksual yang masuk dalam kanal aduan yang difasilitasi JPPI. Angka itu menjadikan kekerasan seksual sebagai kasus yang paling mendominasi di sektor pendidikan.
Korban dari kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dengan jumlah mencapai 97 persen, sedangkan laki-laki sebesar 3 persen. Ubaid menilai maraknya kasus kekerasan seksual disebabkan oleh budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai kaum yang tak berdaya dan takut melapor. Ia menilai kasus kekerasan seksual akan sulit menurun karena budaya patriarki masih melekat. "Kultur patriarki masih cukup kental maka 2025 nggak ada perubahan data kasus kekerasan seksual," kata dia.