Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH koleganya mengenal Bambang Hendarso Danuri sebagai sosok yang tegas tanpa kompromi. Pernah suatu ketika, seseorang hendak mempertemukan dia, sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, dengan Adelin Lis, tersangka kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. ”Pertemuan itu saya tolak,” katanya.
Baru setahun menjabat di Sumatera Utara, pada 2006 Bambang dipromosikan menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Indonesia. Penggemar film action ini mengaku tak punya ambisi muluk-muluk, apalagi membayangkan menjadi Kepala Kepolisian.
Lahir di Bogor, Jawa Barat, 10 Oktober 1952, putra seorang anggota Corps Polisi Militer ini memang bercita-cita menjadi polisi. ”Saya pilih polisi, karena ingin berbeda dari saudara-saudara saya yang telah menjadi tentara,” ujar anak bungsu dari empat bersaudara itu.
Karier kakek dua cucu ini semakin moncer setelah Sutanto menjadi Kepala Kepolisian Indonesia. Dalam waktu singkat, dia yang semula berpangkat komisaris besar sudah menjadi komisaris jenderal polisi. Jika lolos fit and proper test di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, lengkap sudah empat bintang di pundaknya—dalam waktu hanya tiga tahun.
”Ini belum pernah terjadi dalam sejarah kepolisian,” kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane. Padahal, menurut Neta, prestasi Bambang terbilang biasa-biasa saja.
Tapi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Usman Hamid, berpandangan lain. Menurut Usman, ”BHD”—begitu Usman biasa menyapa lulusan Akademi Kepolisian 1974 itu—punya banyak catatan prestasi.
Di antaranya keberhasilan menyeret Pollycarpus Budihari Priyanto ke majelis peninjauan kembali Mahkamah Agung dan mengungkap keterlibatan mantan Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara Muchdi Pr. dalam kasus pembunuhan Munir.
Bambanglah, kata Usman, yang berhasil mengumpulkan serpihan informasi dan membangun kembali mozaik kasus Munir yang hampir mustahil dibuka lagi. ”Keberhasilan Sutanto memberantas terorisme, illegal logging, dan narkoba juga tidak lepas dari peran BHD.”
Anak buahnya mengenal Bambang sebagai pekerja keras. Setiap hari dia sudah muncul di kantor sebelum pukul 07.00 dan pulang jauh setelah matahari tenggelam. Di mata Hamidin, seorang penyidik di Detasemen Khusus Antiteror, Bambang memiliki watak penyidik perfeksionis.
Tak aneh, kata Hamidin, setengah tahun lalu dibentuk Pengawas Penyidik di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Indonesia. ”Artinya, bagi Pak Bambang, tidak boleh ada kekeliruan apa pun dalam tiap penyidikan.”
Empat kali menjadi Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah—Nusa Tenggara Barat (1997-1999), Bali (1999-2000), Jawa Timur (2000-2001), dan Metro Jaya (2001-2005)—memang mematangkannya.
Suami Nanny Hartiningsih ini tak bisa lepas dari masakan rumah. Menu favoritnya nasi rawon dan tahu-tempe bacem. ”Lidah saya ini enggak bisa lepas dari masakan Jawa,” ujar ayah dua anak, Hani Kuncoro dan Bayu Huda Wicaksono, itu.
Agus Supriyanto, Yugha Erlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo