Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Memburu haji akbar ?

Sejumlah pendapat tentang makna haji akbar. Dikabarkan akan jatuh pada 1988 yang wukufnya di arafah pada hari jumat. Malahan ada anggapan pahala 7 kali lipat dari "haji biasa".

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA disebut haji akbar? Padahal menunaikan rukun kelima itu memang ibadat yang cukup penting -- dan wajib bagi mereka yang sudah mampu. Tapi bila pelaksanaannya bersandar pada penafsiran yang berbeda, bisa membingungkan umat. Dengan penafsiran yang berbeda-beda, orang melaksanakan ibadat dengan niat dan tujuan yang berbeda pula seperti ada yang memburu untuk berhaji akbar - dikabarkan akan jatuh pada tahun ini - yang wukufnva di Arafah pada hari Jumat. Dan ada pendapat: jika berhasil melaksanakan ibadat haji tahun ini, pahala "haji akbar" itu akan tujuh kali atau bahkan 50 kali dari "haji biasa" - yang wukufnya bukan pada hari Jumat. Ketika mengumumkan kenaikan ONH, Menteri Agama Munawir Sjadzali menyatakan musim haji tahun ini merupakan haji akbar - seperti disiarkan TVRI beberapa waktu lalu. Kemudian ia memperkirakan, pada musim haji 1988 ini jemaah haji dari Indonesia bakal melimpah. Paling tidak, seperti dikutip dua media massa, Menteri menyatakan bahwa musim haji tahun ini merupakan haji akbar. Misalnya Pelita 23 Januari yang memuat artikel mengenai haji akbar, dan Kompas 20 Januari yang memuat sebuah surat pembaca. Bahkan majalah Panji Masyarakat, edisi 31 Januari, merasa perlu memuat kembali pendapat Buya Hamka mengenai haji akbar - yang disebut-sebut pula "telah disiarkan lewat pers" itu. Benarkah musim haji tahun ini haji akbar? Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Andi Lolotonang, musim haji tahun ini benar haji akbar. "Itu ditetapkan dalam kalender pemerintah Arab Saudi, yang menyebutkan wukuf di Arafah jatuh pada hari Jumat, 9 Zulhijah. Tahun jatuhnya haji akbar itu tidak pasti, bisa terjadi beberapa tahun sekali," katanya. Lain dengan penjelasan K.H. Hasan Basri, Ketua Umum MUI Pusat. "Haji akbar itu hanyalah anggapan sebagian masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Mesir," katanya kepada TEMPO. "Tidak benar pendapat bahwa haji akbar ialah yang wukufnya jatuh pada hari Jumat. Juga tidak benar anggapan bahwa pahala haji akbar tujuh kali dari haji lainnya," tambah Hasan Basri. MUI sendiri malah tak pernah berfatwa mengenai haji akbar. Pendapat itu didukung pula oleh Ketua PP Muhammadiyah, K.H. Abdur Roaq Fakhruddin. "Semua ibadat haji itu akbar (besar), karena ada wukuf di Arafah. Sedang haji ashghar (kecil), ialah ibadat umrah yang tidak berwukuf di Arafah," katanya. Seperti kata Nabi, "Al-hajju 'arafatun" - haji itu ya wukuf di Arafah. Ada hadis Nabi, dan sering diingat bagi mereka yang sudah ke Tanah Suci, "Pahala bagi haji mabrur, tiada lain ialah surga." Dan menurut Pak AR -- panggilan akrab Kiai Fakhruddin - Nabi tidak pernah mengatakan bahwa pahala surga itu untuk haji akbar atau bukan akbar. "Semua ibadat haji yang pakai wukuf adalah akbar, karena pahalanya sama-sama surga. Dan surga itu 'kan pahala paling tinggi. Yang penting ialah haji yang bersih dan benar. Yang mabrur. Dan itulah yang akbar," tambah Pak AR. Haji akbar itu terutama sangat dipentingkan oleh kalangan Suni, alias ahl al-sunnah wa al-jama'ah. Begitu dituturkan K.H. Muhammad As'ad Umar, 55 tahun, pimpinan pondok pesantren Darul Ulum, Jombang. Bahwa lantaran wukufnya jatuh pada hari Jumat lantas disebut haji akbar, kata As'ad Umar yang juga pengurus syuriah NU Jawa Timur ini, karena pada hari Jumat itu merupakan sayyid al-ayyam atau "hari yang paling mulia". Apalagi wukuf hari Jumat, itu memang sangat langka, karena tak mungkin tiap tahun ada. "Tapi soal fadhilah atau keutamaannya, saya tidak tahu," tambahnya. Namun, bagi K.H. Adhlan Ali, 87 tahun, semua hari itu sama baiknya. "Hari Jumat, kalau diisi dengan maksiat ya apalah artinya?" kata pimpinan pondok pesantren Cukir, di Jombang itu. Sesepuh tarekat muktabarah itu lantas mengutip ucapan Sayidina Ali: sebaik-baik hari ialah yang diisi dengan ibadat. "Jadi, haji akbar itu hanyalah sebatas nama saja. Tidak ada kelebihannya. Kalaupun kelebihannya ada, barangkali hanya sebagai perangsang agar orang tergerak menunaikan ibadat haji,"sahut Kiai As'ad. Para ulama tak berbeda pendapat. Dalam Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Buya Hamka menegaskan - setelah membaca dua-tiga kitab hadis, beberapa kitab fiqh dari berbagai mahab dan belasan kitab tafsir: " . . . belum juga bertemu tanda-tanda yang menerangkan bahwa ibadat haji yang wukufnya hari Jumat samalah dengan naik haji tujuh kali." Jika ada yang mengatakan ada haji akbar? Hamka menjawab, "Anggap saja itu dongeng yang bisa tumbuh pada orang-orang yang memang asyik dengan dongeng." Ulama besar yang juga sastrawan itu, rupanya, memiliki rasa humor yang tinggi. Katanya, "Sebagaimana di Jawa Tengah pun ada dongeng, bila ziarah ke Masjid Demak tujuh kali, sama dengan ke Mekah sekali. Dongeng seperti itu juga ada di Ulakan, Pariaman. Barang siapa ziarah ke kubur Syekh Burhanuddin tujuh kali, sama dengan ke Mekah satu kali. Dongeng tidaklah termasuk agama." Anggapan bahwa haji akbar ialah yang wukufnya jatuh pada hari Jumat bermula dari ketika Nabi berhaji - yang hanya sekali seumur hidup itu. Setahun sebelumnya, dalam tahun ke-9 Hijri, Nabi mengutus Abubakar memimpin 300 jemaah beribadat ke laitullah di Mekah. Di masa itu, mereka terpaksa berbaur dengan-jemaah dari agama dan kepercayaan lain, bahkan dengan kaum musyrik dan jahiliyah. Tetapi di masa itu sudah ada perjanjian bahwa Ka'bah memang bebas dikunjungi oleh penganut paham apa pun. Hanya Nabi yang tak sudi ke sana, lantaran masih ada jahiliyah yang tawaf (berkeliling Ka'bah) dengan telanjang. Mustahil kebenaran dan kebatilan bergabung secara damai di satu tempat yang suci. Bersamaan dengan itu, di Madinah, Nabi menerima wahyu Allah, Surah al-Tawbah. Pada ayat ketiga, Allah berseru, "Inilah permaklumam dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya lepas tangan dari kaum musyrik." Menurut Nabi, inilah saatnya menyampaikan perintah Allah kepada kaum musyrik untuk menghapus perjanjian bahwa semua orang - dari segala macam kepercayaan tadi - boleh mengunjungi Ka'bah. Lalu diutuslah Ali ibn Abi Thalib, menyusul Abubakar. Saat itu, ribuan jemaah haji tengah berkumpul di Mina. Ali berdiri di ketinggian, didampingi Abu Hurairah. Setelah menyampaikan seluruh Surah Tawbah, ia menambahkan, "Saudara-saudara, orang kafir tidak akan masuk surga. Sesudah tahun ini orang musyrik dilarang menunaikan ibadat haji. Tak boleh lagi tawaf dengan telanjang .... " Sejak itu, perjanjian sudah batal.Kaum musyrik diberi batas waktu empat bulan untuk meninggalkan kawasan sekitar Ka'bah. Dan setahun kemudian, tahun ke-10 Hijri, 24 Zulkaidah, Nabi berangkat ke Mekah menunaikan ibadat haji, diiringi 90 sampai 114 ribu kaum muslimin. Seluruh manasik (upacara) haji yang berlaku sampai sekarang ini me-napak-tilas - mencontoh tatacara - Nabi beribadat, sebagai tuntunan bagi para jemaah yang kala itu menyertai beliau. Dan pada hari ketika Nabi wukuf di Arafah itu jatuh pada hari Jumat. Hari Jumat itu adalah hari kesepuluh atau hari nahar bulan Zulhijah. Lembah Arafah sangat terik. Ketika matahari siang tergelincir dari atas ubun-ubun, Nabi menyetir untanya ke perut lembah di 'Urana, Desa Namira, sebclah timur Arafah. Di sana sudah dibangun sebuah kemah. Dari pelana untanya yang bernama al-Qashwa', Nabi berkhotbah, dan utuh - yang kemudian terkenal sebagai khotbah wada', perpisahan. Katanya, antara lain, "Wahai, sekalian manusia, perhatikanlah kata-kataku ini. Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi aku akan bertemu dengan kamu sekalian ...." Dalam khotbah itu, terjadi dialog antara Nabi dan para sahabat. "Hari apakah ini?" tanya Nabi. Para jemaah menjawab serempak, "Hari haji akbar." Usai asar, Nabi membacakan wahyu terakhir yang diterimanya ketika itu, dari pelana untanya: "Hari inilah Kusempurnakan agamamu ini untuk kamu sekalian, dengan Kucukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan yang kusukai Islam inilah menjadi agama kamu." Ayat (3) Surah al-Maidah tersebut sangat terkenal. Mendengar itu, Abubakar menangis. Ia merasa bahwa tugas Nabi selesai, dan sudah dekat saatnya Nabi menghadap Allah. Dan memang, pidato Nabi itu sempat menguras air mata para sahabat. Tak lama setelah itu, di Medinah, Nabi wafat. Khotbah Nabi di Arafah yang sangat terkenal itu kemudian dijadikan pedoman dalam musim haji yang wukufnya jatuh hari Jumat, lalu disebut haji akbar. Tetapi bukankah Allah dalam Surah al-Tawbah, di ayat tiga tadi, juga menyebut haji akbar itu ketika Abubakar naik haji? Padahal, wukufnya Abubakar ketika itu tak mungkin jatuh di hari Jumat. Wukuf yang jatuh pada hari Jumat tidak mungkin terjadi dua tahun berturut-turut. Dengan begitu, gugur sudah anggapan bahwa haji akbar ialah yang wukufnya jatuh pada hari Jumat. Sedangkan beberapa ulama, dalam kitab-kitab tafsir dan hadis, menyebutkan bahwa hari haji akbar ialah hari kesepuluh, hari nahar, karena pada saat itu seluruh upacara pokok ibadat haji sudah ditunaikan. Bahkan menurut Abu Abdullah Sufyan al-Tsaury (wafat pada 161 Hijri) dalam kitabnya al-Jami' al-Kabir (Ontologi Besar), seluruh hari mengerjakan haji itu adalah hari haji akbar, yang juga disebut yaum al-fath (hari kemenangan). Pendapat ini disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama yang terkenal, seperti al-Suhaili, al-Hasan, al-Tabari, Said ibn Jubair, al-Tirmidzi. Dalam Tafsir al-Jalalayn (Tafsir oleh Dua Jalal), yang sangat beken di kalangan para santri di sini, bahkan jelas disebutkan bahwa haji akbar ialah haji itu sendiri. Yang jadi soal sekarang, kalau semua ibadat haji sebagai haji akbar, mengapa lantas muncul "haji akbar" - yang seolah wukufnya jika tak jatuh pada hari Jumat maka bukan haji akbar? Sementara itu, ada anggapan bahwa fadhilah alias keutamaan haji akbar lebih dari yang lain? Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Fath al-Bari (Pembukaan Sang Pencipta) berusaha menjelaskan dengan menelusuri sejarah. Ketika itu - yaitu ketika Abubakar naik haji semua orang dari berbagai agama dan kepercayaan berkumpul di satu tempat. Lalu pertemuan besar itu kemudian disebut akbar. Tapi menurut Ibn Mardawaih, salah seorang ahli hadis yang dikutip Asqalani dalam Fath al-Bari (Pembukaan dari Pencipta), penamaan hari haji akbar itu lantaran pada saat Abubakar menunaikan ibadat haji, kebetulan pas jatuh pada bulan Zulhijah di "hari-hari haji" - menurut ajaran Islam. Padahal, ketika itu, para penganut agama dan kepercayaan lain masih boleh "beribadat haji" pula. Bahkan daur ulang seperti itu tidak terjadi setiap tahun. Malah di masa itu, menurut Ibn Mardawaih, para penganut agama dan kepercayaan yang berbeda itu melaksanakan haji pada bulan-bulan yang berbeda setelah ada kesepakatan dan perjanjian antar golongan. Dan ada pula yang menunaikan haji dua kali dalam sebulan, pada tahun yang sama. Karena pada masa itu ada anggapan bahwa berhaji itu sebagai ibadat musiman. Singkat kata, semua ibadat haji ya haji akbar. Tapi bila wukuf pada musim haji tahun ini jatuh pada hari Jumat, bagaimana para jemaah haji menunaikan sembahyang Jumat? Dalam kitab Tanwir al-Hawalik, Imam Suyuthi menulis, tidak perlu menunaikan sembahyang Jumat, melainkan cukup salat lohor saja dengan menyingkat jumlah rakaatnya - dari empat menjadi dua rakaat. Tapi imam hendaknya membaca khotbah. Salat qashar ini, karena para jemaah haji dianggap sebagai musafir. Pendapat ini disepakati Imam Maliki dan Syafi'i. Namun, kedua ahli fiqh ini masih menambah keterangan. Kata Maliki, boleh saja menyelenggarakan sembahyang Jumat, bila imamnya memang penduduk dan berdomisili di Arafah. Sedang menurut Syafi'i, sembahyang Jumat boleh diselenggarakan, bila jemaah haji yang punya KTP Arafah berjumlah sedikitnya 40 orang. Perbedaan pendapat para ahli ilmu fiqh seperti itu juga dijelaskan oleh Ibn Rusyd (1126 - 1198 Hijri), dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid (Pengantar bagi Ahli Ijtihad). Misalnya dalam hal "mengkorting" salat lohor tadi. Menurut Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), bila pimpinan rombongan haji tidak menyingkat salat lohor di Arafah dan di Mina, para jemaah haji harus menunaikan salat Jumat. Pendeknya, tergantung tokoh yang jadi panutan para jemaah haji. Pendapat ini yang berkaitan dengan faktor pimpinan hampir sama dengan Imam Ahmad ibn Hanbal. "Itu tergantung penguasa Kota Mekah," kata pencetus mazhab Hambali itu. Mau salat lohor? Ayo. Tapi bila penguasa Kota Mekah menganjurkan salat Jumat, ya oke juga. Budiman S. Hartoyo, Ahmadie Thaha, Wahyu Muryadi, I Made Suarjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus