Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

El supremo

Novel yo el supremo karya augusto roa basto, sebuah prosa tentang kediktaturan tanpa henti di paraguay. dalam kediktaturan hanya seorang yang dapat memberi makna dan definisi. pendapat yang ada, hanya benar paduka.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pintu katedral itu, pada suatu pagi buta, terpaku selembar maklumat gelap. Seregu patroli grenadir menemukannya. Mereka mencabutnya dan membawanya ke markas besar. Isi maklumat itu sebuah olok-olok subversif: "Aku, Diktatur Agung Republik, memerintahkan agar pada saat kematianku, mayatku dipancung pancangkan kepalaku pada sebuah paku besar selama tiga hari di tengah Plaza de la Republica, ke mana rakyat harus dipanggil dengan bunyi lonceng yang sekeras-kerasnya. Semua budakku, sipil dan militer, harus digantung. Tanamkan mayat mereka di padang rumput ...." Dengan segera Sang Diktatur Agung menerima laporan tentang itu dari sekretarisnya yang setia. Dan dengan itu, berangkatlah kisah ini, sebuah novel karya Augusto Roa Bastos, Yo el Supremo, satu prosa panjang tentang sebuah kediktaturan yang hampir tanpa henti, di abad silam Paraguay. Agaknya hanya negeri dengan pengalaman Amerika Latin yang bisa melahirkan novel seperti ini. Diktatur teramat banyak bertebar di sana. Bedil-bedil terhunus dan dendam bersiap, jalan-jalan terentan lemah dan orang tertindas di bawah matahari. Dalam bentuk aslinya, Yo ei Supremo terbit di Argentina di tahun 1974 melalui versi Inggrisnya, yang beredar 12 tahun kemudian, pengalaman Amerika Latin itu pun berbicara juga dengan dunia kita. Sebab, kita pun menemukan di dalamnya sebuah tamasya yang kita kenal: sebuah tamasya yang begitu luas, begitu menakutkan dan menakjubkan - sebuah tamasya kekuasaan. Yang luar biasa pada novel ini ialah bentuknya. Ia seakan-akan sebuah kumpulan dokumen, rekaman pembicaraan dan pikiran Sang Diktatur. Cerita tidak bergerak oleh peristiwa-peristiwa. Cerita hanya bergerak - atau setengah bergerak -- oleh rangkaian kata. Kalimat demi kalimat berbaris. Ungkapan-ungkapan berdesak. Selintas, seperti sebuah monolog yang panjang. Pada saat yang sama, kita tahu di dalamnya ada dialog. Dalam kediktaturan, di mana hanya ada satu orang yang berhak memberi makna dan definisi bagi sejumlah orang lain, adakah sebenarnya beda antara monolog dan dialog. Tak ada. Pendapat lain yang tinggal hanya, "Benar, Paduka." Selebihnya bungkam. "Bila orang biasa tak pernah berbicara kepada dirinya sendiri, maka Sang Diktatur Agung terus-menerus berbicara kepada orang lain," demikian tertulis dalam salah satu dokumen. Bahkan "kediamdiriannya pun mengandung titah." Di pihak lain, ada cerita yang suram tentang Tevego, koloni tempat orang-orang terhukum. Di sana tak ada suara. Bahkan tak ada bunyi angin yang bertiup. Tak ada desau. "Tak ada suara lelaki satu pun, tak juga wanita, tak ada tangis bayi, tak ada salak anjing, tak ada tanda." Di Tevego yang membisu itu orang-orang tak tahu apa yang terjadi dengan diri mereka. Mereka hanya ada di sana, tak mati tak hidup, tak menantikan apa-apa, tak mengharapkan apa-apa. Ketika dalam suatu inspeksi seorang pejabat distrik memasuki kancah itu, sesuatu yang mengerikan terjadi: hanya dalam sekejap mata ia berubah jadi tua, dan kemudian mati seperti kadal. Jika demikian, siapa gerangan yang menulis maklumat gelap yang ditemukan di pintu katedral pagi itu? Geledah rumah para antipatriot, titah El Supremo. Cari di bui bawah tanah. Para pembangkang yang di penjarakan itu memang telah disumpal tiap kemungkinannya untuk membuat statemen. "Saya telah memerintahkan," sang sekretaris melapor, "agar semua liang dan landasan semut, setiap urung-urung bagi jangkrik, semua celah tempat mendesah, semua itu disumbat rapat. Tak ada kegelapan yang lebih gelap, Tuan Hamba. Mereka tak punya apa-apa buat menulis." Tak punya apa-apa? Sang Diktatur tak percaya: "Mereka mungkin tak punya cahaya ataupun udara Tapi mereka punya ingatan". Mungkin ia benar. Tapi jika begitu, ia sendiri tahu paradoks sebuah kekuasaan yang ingin mutlak. Ia ternyata tak bisa menghilangkan ingatan orang-orang yang telah ditaklukkan dan dibungkamnya ia juga tak mampu membuat kolom yang tertindas seperti Tevego jadi tempat yang aman bagi para penguasa. Maka, si penguasa besar pun akan merasakan ketidakpastian yang besar tentang daya cengkeramnya sendiri -- dan terbitlah rasa syak dan curiga yang tak pernah habis. Juga terhadap siap hal yang kebetulan". Sang Diktatur memang mencoba mengendalikan "kebetulan jadi bagian dari rencananya. Tapi bagaimana mungkin? Pada suatu hari sebuah meteor jatuh dari langit, dan ditemukan nun jauh di pedalaman. Sang Supremo memerintahkan agar batu angkasa luar itu jadi tahanan, dan agar diseret ke IbuKota. Dengan susah payah, perintah itu dilaksanakan, tetapi beribu-ribu meteor, beribu-ribu kebetulan, akan tetap berhamburan di angkasa luar. Ketika 20 September 1840 El Supremo mangkat, bukan dia yang memilih hari. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus