Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memperebutkan bekas tambak

Dwi setyo wahyudi, dirut pt puri sakti co. digugat rp 25 miylar oleh bekas rekan usahanya, edhy setiawan w. dari pt pondok hijau indah dalam sengketa tanah real estate. dwi anak gubernur ismail.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEIRING tak selalu berarti sejalan. Itulah yang terjadi dengan Edhy Setiawan Wiroatmojo, Direktur Utama PT Pondok Hijau Indah (PHI), dan Dwi Sety Wahyudi, Direktur Utama PT Puri Sakti Co. (PSC). Dua pengusaha muda yang sama-sama bergerak di bidang real estate itu kini harus berhadapan di meja hijau. Dua pekan lalu Edhy menggugat Dwi Rp 25 milyar gara-gara sengketa tanah. Padahal, mereka berdua pernah bekerja sama dalam mengurus perizinan lokasi pembangunan perumahan di atas tanahseluas 25 hektar di Desa Tawang Rejosari, Semarang Barat. Senin pagi pekan ini berlangsung sidang kedua di Pengadilan Negeri Semarang. Tak lebih dari setengah jam, majelis hakim yang dipimpin Ny. P. Sidjabat, S.H., mendengarkan jawaban pihak tergugat yang tak hadri dalam persidangan. Dwi dan perusahaannya yang diwakili pengacaranya, Wirjolukito, S.H., menolak semua maksud dan dalil gugatan yang diajukan lawannya itu. Silang sengketa itu bermula ketika PHI, sekitar April 1983, membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Tawang Rejosari, Semarang Barat. Tanah yang semula tambak itu akan disulap menjadi perumahan di bawah bendera PHI. Namun, rencana itu tak bisa diwujudkan dengan segera karena perizinannya macet di tangan aparat pemda. Untuk mengurus perizinan yang tak kunjung turun itu, pihak PHI menghubungi PSC. Seperti diakui Edhy, ia memang sudah kenal secara pribadi dengan Dwi yang sama-sama bergerak di bidang real estate itu. Dwi, biasa dipanggil dengan nama akrabnya Ganang, juga dikenal sebagai putra kedua Gubernur Jawa Tengah, Ismail. Menurut Edhy, PSC semula meminta imbalan jasa pengurusan sebesar Rp 500/m2, atau sekitar Rp 125 juta. Entah mengapa, di akhir 1983 ketika proses kerja sama sedang berlangsung, PSC mengubah besarnya komisi itu hingga membengkak menjadi Rp 1,7 milyar. "Mana kuat saya bayar," keluh Edhy. Sejak itulah benih-benih sengketa di antara mereka berdua mulai bersemai. "Nah,anak gubernur itu mulai aneh," tuding pengacara PHI, Hanan Gilik, S.H.. Dwi ternyata berhasil menggolkan soal izin lokasi pembuatan perumahan di Tawang Rejosari itu atas nama PSC. Pihak agraria setempat pun membatalkan surat-surat pemilikan tanah di kawasan itu yang sebelumnya sudah dipegang PHI. Hampir bersamaan dengan itu, pada 23 Juni 1984 keluar Surat izin Lokasi dan Surat izin Pembebasan Tanah di kawasan Desa Tawang Rejosari dari Gubernur Ismail untuk PSC. Tentu saja kubu PHI tak tinggal diam. Perihal sengketa tanah ini segera diadukan kepada Mendagri dan Dirjen Agraria. Hasilnya pun ada. Pada 25 Mei 1985 Dirjen Agraria mengirimkan surat kawat kepada Wali Kota Semarang. Isinya berupa perintah Mendagri - yang ketika itu masih dijabat oleh Soepardjo Rustam - agar tanah yang sedang diributkan itu dinyatakan status quo, sampai ada penyelesaian lebih lanjut. Juli 1985 terjadi pertemuan antara pihak-pihak yang bersengketa, yang juga disaksikan Opstib, Wali Kota Semarang, dan Agraria. Dari situ keluar pernyataan dari pihak Agraria yang berjanji tak akan mengeluarkan Sertifikat Induk sebelum ada perdamaian antara kedua belah pihak. Tapi upaya perdamaian itu kandas dan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Akhirnya pihak Agraria menerbitkan Sertifikat Induk yang diberikan kepada PSC pada 12 Mei 1987. Tak lama kemudian Dwi, yang merasa berada di atas angin itu, segera membangun perumahan di kawasan yang dipersengketakan itu. Kini terlihat sudah ada sekitar 100 rumah yang masing-masing bernilai Rp 1 5-25 juta. Bagi Edhy tampaknya tak ada jalan lain. Lewat pengacara Hanan Gilik, pada 23 Februari silam ia menyeret Dwi, PSC, dan Kantor Agraria Ja-Teng-- masing-masing sebagai tergugat I, II, dan III--ke pengadilan. Dalam gugatannya, Dwi dan perusahaannya diminta mengembalikan tanah milik PHI atau ganti rugi Rp 100.000,00/m2 atau senilai Rp 25 milyar. Sedangkan Kantor Agraria Ja-Teng digugat karena mencabut sertifikat pemilikan tanah yang dipunyai PHI dengan jalan tidak sah. Tapi Iwi menangkis gugatan itu. "Semua itu fitnah. Selama ini saya tak pernah berhubungan dengan orang yang namanya Edhy Setiawan. Dia hanya mencari popularitas murahan saja. Kerugian materi, sih, bagi saya nggak seberapa, tapi image saya di mata masyarakat jadi rusak," jawabnya. Perusahaan Dwi memang sedang berkibar. Setidaknya ia sudah mengantungi tanah seluas 90 hektar di sekitar Semarang. Hebatnya lagi, ia punya rencana membangun sampai 4.000 rumah di atas tanah itu. Dalam soal tanah senketa itu, pihak PSC memang pernah berhubungan dengan seseorang yang identitasnya tak mau disebutkan oleh Dwi. "Nah, dia inilah yang majikannya. Sedangkan Edhy hanya seorang pekerja lapangan," tutur Dwi. Waktu dilakukan pengurukan, majikan Edhy itu mengaku ada beberapa hektar tanahnya yang berada di sekitar kawasan itu. Sekitar 20 hektar dijual kepada PSC. "Sudah saya selesaikan dengan sah dan saya bayar tanah itu," kata Dwi sambil memperlihatkan surat bermeterai tanda penyerahan tanah dari majikan Edhy. Dalam jual beli itu, menurut Dwi, tak pernah disebut-sebut soal PHI. Sementara itu, Gubernur Ja-Teng Ismail - yang pertengahan tahun ini akan berakhir masa baktinya - tak banyak berkomentar tentang kasus yang menimpa anaknya itu. "Saya memandang masalah ini secara lugas dan zakelijk. Waktu saya memberi izin lokasi tanah, saya tak melihat dia sebagai anak saya. Jadi, hubungan pribadi antara ayah dan anak tak perlu dikait-kaitkan," katanya. Ia juga sudah melakukan pengecekan terhadap PSC. "Semua surat-suratnya lengkap dan sah" kata Ismail lagi. Pihak Depdagri tampaknya berhati-hati menanggapi soal ini. "Penyelesaiannya harus secara intern. Karena perlu dijaga wibawa lembaga gubernur. Jangan karena kesalahan manusiawi, lembaga gubernur sampai dikorbankan," tutur Menteri Rudini. Adakah ini pertanda bahwa gugatan Edhy akan berakhir di luar persidangan? Kini majelis hakim sedang mempersiapkan sidang ketiga untuk mendengarkan replik penggugat - yang dijadwalkan berlangsung dua minggu mendatang. A.K.S., riyono B.S., Bambang Harymurti (Jakarta), dan Nanik Ismaini (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus