DARI balai desa di tepi hamparan tebu itu terdengar sorak-sorai. Sekitar 300 orang warga Desa Ploso, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memenuhi balai desa seluas 48 m2 itu. Banyak yang berdiri di halaman. Pengeras suara dipasang di atas pohon - sehingga penduduk yang tak datang ke sana juga mendengar apa yang diperdebatkan. Perdebatan? Memang, bahkan lebih mirip "pengadilan umum". Selasa malam dua pekan lalu itu, Kepala Desa Ploso, Mochamad Fathony, 31 tahun, diadili oleh warganya. "Silakan pertanyaan dikemukakan. Bila perlu acara pertemuan ini kita langsungkan sampai tengah malam," kata Drs. Ariyono, Camat Wonoayu. Warga desa serempak menjawab, "Bagus ... bagus ...." Lalu tepuk tangan. Sejumlah pejabat pemerintah Kabupaten Sidoarjo juga datang - duduk di meja terdepan yang berhadapan dengan hadirin. Polisi berjaga-jaga. Maklumlah, walau udara malam itu dingin, pertemuan itu sendiri panas. Fathony, kepala desa sejak 1983, dituduh menyeleweng. Ternak bantuan pemerintah dijualnya. Ia menggelapkan uang pembelian pasir dan batu untuk pengerasan jalan desa. Sebagai kepala desa ia menekan anggota LMD (Lembaga Musyawarah Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) agar membubuhkan tanda tangan di blanko kosong untuk memperkuat laporannya ke pemerintah daerah. Kecurangan lainnya, Fathony mengakumenjual tanah tangkis desa sebanyak 2 ribu truk lebih untuk membiayai proyek pengerasan jalan desa. Padahal, dana itu sudah turun, berasal dari Daftar Usulan Proyek tahun anggaran 1986/87. "Lantas ke mana uang itu Pertanggungjawaban itulah yang kami minta," kata seorang warga desa. Penyelewengan Fathony ditotal ada Rp 10 Juta. Tapi semua ini memang baru tuduhan. Desa Ploso berstatus swakarsa - setingkat di bawah swasembada. Letak desa ini agak di dalam dan tidak ada angkutan umum ke sana. Kendati listrik sudah masuk desa jalan menuju desa itu nyaris tertutup hamparan tebu dan gelap. Penduduknya kebanyakan petani. Sejumlah warga desa yang mengaku resah melaporkan "penyelewengan" Fathony ke Wakil Gubernur Jawa Timur, Drs. Soeparmanto. "Pak Parmanto lalu menelepon kami," kata Bupati Sidoarjo, Soegondo. Bupati lantas mengirim Inspektur Wilayah Kabupaten Sidoarjo untuk memeriksa pengaduan warga Ploso. Mochamad Fathony diusut. Hasilnya: Fathony bersih. Tak ada apa-apa yang diselewengkannya. Namun, karena sebagian warga tidak puas, Bupati Soegondo menganjurkan agar Fathony bertatap muka dengan warganya. Kepala desa ini menyanggupinya. Dan "pengadilan umum" itu pun berlangsung di malam hari. Semua pertanyaan warganya dijawab Fathony dengan gamblang. Soalmenjual ternak itu, misalnya, ia mengakui terus terang. Tapi uangnya dipakai untuk melunasi tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ditunggak warganya. "Sampeyan-sampeyan janji bayar PBB, tapi terus terlambat. Maka, ya, saya usahakan dengan cara saya," ujar lulusan STM Wnocolo Surabaya ini. Setelah tagihan PBB dilunasi warganya, ternak itu dibelinya lagi. "Sekarang sapinya sudah ada," kata Fathony keras-keras. "Sebagai manusia biasa saya tak bisa selalu benar, jadi kalau ada yang salah saya mohon maaf." Pertemuan itu usai hampir tengah malam. Tak semua warga desa puas, memang. Tapi jumlah yang resah semakin kecil. Maklum, di desa, apalagi ada orang yang terang-terangan meminta agar kepala desa diganti - dengan sebab yang tak jelas. Dan Fathony ternyata menyukai pertemuan itu, yang ia sebut "demokrasi ala desa"."Daripada saya diam tapi terus digerogoti lebih baik terbuka. Saya katakan apa adanya sebab tak ada yang perlu saya tutup-tutupi," katanya. Mengapa tak dari dulu? Jalil Hakim dan Toriq Hadad (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini