ADA-ADA saja akal Menteri Keuangan J.B. Sumarlin untuk memenuhi sasaran, penerimaan cukai dalam APBN 1988-89, yang dipatok sampai Rp 1.331,5 milyar itu - atau meningkat 23,8% dibandingkan target tahun sebelumnya. Lewat SK Menkeu Nomr 390/KMK.01/1988, ia menjanjikan imbalan uang kepada pelapor atau informan tentang pelaku tindak pidana di bidang cukai. Apakah ini pertanda bahwa tugasnya sebagai menteri keuangan, Sumarlin ragu atas target yang ditetapkannya itu? "Kalau soal target, sih, pasti tercapai. Tapi apa salahnya kalau melebihi target?" ujar Sumarlin. Secara rinci, isi SK yang berlaku sejak 5 April itu mengatur besarnya imbalan, maksimal Rp 200 ribu bagi pelapor tindak pidana. Pembayaran insentif ini diberikan jika berkas perkara yang dilaporkan telah dilimpahkan ke pengadilan. Di samping itu, para informan jua dijanjikan "uang lelah" sampai 50 persen dari jumlah denda yang dapat dikenakan kepada si penyeleweng cukai. Tentu saja imbalan bakal diberikan jika uang denda dan uang syarat penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sudah disetor seluruhnya kepada Bendaharawan Ditjen Bea & Cukai. Langkah ini disambut gembira oleh Kakanwil VI Ditjen Bea & Cukai Surabaya, G. Soetjipto. "Dengan keluarnya SK baru itu, kami banyak dibantu," katanya. Ia tampaknya berharap mejanya bakal dipenuhi laporan para informan tentang penyelewengan cukai. Misalnya soal peredaran "rokok polos" (tanpa cukai) yang belakangan ramai dibicarakan. "Dalam hal seperti inilah justru masyarakat yang mengetahuinya pertama kali," tutur Soetjipto lagi. Tapi ada pula yang melihatnya dari sisi lain. Langkah Sumarlin untuk menangkal kebocoran uang negara dari sektor cukai itu justru diragukan keandalannya. Lahirnya SK Menkeu itu malah memperlihatkan bahwa aparat Ditjen Bea & Cukai selama ini belum beres dalam menjalankan tugasnya. "Kalau aparatnya sudah bekerja efektif, 'kan tidak perlu memberi imbalan kepada para informan segala," tutur Soemarso Slamet Rahardjo, 38 tahun, seorang ketua kelompok pengamat pajak dari Yayasan BinaPembangunan di Jakarta. Di samping itu, iklim pada masyarakat Indonesia masih belum bisa mendukung lahirnya para informan itu sendiri. "Di sini masih ada budaya takut," ujar Soemarso lagi. Padahal, seorang pelapor dituntut menyebutkan identitas dirinya secara lengkap. "Nah, apa ada orang yang mau melaporkan penyelewengan dengan identitas lengkap?" tanyanya ragu. Memang perasaan seperti itu juga muncul di kalangan anak buah Menteri Sumarlin yang berada di jajaran Ditjen Bea & Cukai Jawa Tengah. "Saya kira pelaksanaannya tak akan jalan," kata seorang petugas Bea & Cukai di Semarang. Sumber itu mengingatkan bahwa sebelum ini sudah ada SK Menkeu Nomor 265/KMK 01/1982, yang isinya kurang lebih sama dengan SK yang baru itu. Toh, sampai saat ini belum terdengar adanya hadiah uang yang mengalir untuk para informan. Hal senada juga diungkapkan oleh banyak pengusaha. Salah seorang direktur perusahaan ekspor-impor di Medan, misalnya, menuturkan kepada TEMPO, "Soal informan itu hanya akan merepotkan saja." Menurut dia, susah untuk melahirkan informan dengan berbekal SK Menkeu itu. Apalagi kalau itu diharapkan datang dari seorang pengusaha ekspor-impor macam dia. "Nanti bakal repot berurusan dengan Bea & Cukai," katanya lagi. Tentu saja akan lebih repot kalau penyelewengan cukai itu juga melibatkan aparat pemerintah. "Sudah biasa kalau ada yang memanfaatkan pejabat Bea & Cukai untuk melanggar peraturan," ujar seorang importir dari Semarang. Pengusaha tadi juga mengakui bahwa besarnya iming-iming yang maksimal Rp 200 ribu itu masih kurang menggiurkan bagi para pengusaha untuk diajak bekerja sama. "Risikonya akan jauh lebih banyak," kata sumber yang tak mau disebutkan namanya itu. A.K.S., Budiono Darsono (Jakarta), Z. Abidin (Surabaya), dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini