TIDAK hanya di bandar udara. Di stasiun kereta api orang-orang juga sibuk menjemput penumpang yang baru tiba. Ada yang menunggu, biasa, sambil melongok-longok. Ada yang berhalo-halo dengan pengeras suara. Ada pula yang menenten papan bertuliskan nama dari orang yang dijemput. Tersebutlah seseorang yang mondar-mandir di stasiun kereta api menenteng papan bertuliskan nama Mr. Robert. Setiap penumpang yang baru meloncat dari kereta ia sodori papan tersebut. Begitulah. Sampai orang itu seperti kesetanan. Menubruk ke sana, menubruk kemari, namun tak seorang pun menyambut papan nama itu. Habis, para penumpang merasa namanya bukan Robert. Bahkan si Penjemput tertendang-tendang, terguling-guling oleh terjangan para penumpang yang baru menghambur dari pintu kereta. Akhirnya, Penjemput ini jatuh terduduk. Ia amat kecapekan. Bengong. Berjam-jam orang ini mematung di sudut bangku di dekat loket. Sementara itu, seorang buta tersaruk-saruk dengan tongkatnya, duduk di bangku pada ujung yang lain. Demikianlah, keduanya bengong tercagak berhari-hari di atas bangku yang sama. Tiba-tiba si Penjemput bangkit dan berteriak kepada si Buta: "Mr. Robert! Mr. Robert!" Dan dijawab oleh si Buta: "Ya! Ya!" Lalu si Penjemput menubruk si Buta dan memeluknya, dan berlalulah keduanya dari stasiun. Nomor pertunjukan sepert ini adalah khas pertunjukan pantomim. Menyodok emosi kita secara tak disangka-sangka. Bahwa akhirnya pertunjukan ini mampu memancing ketawa kita, itu memang sebuah paket yang sudah dipersiapkan sebelumnya, dengan rapi. Pantomim memang sebuah paket ketawa. Namun, Sena & Didje Mime, sebuah grup kantung ketawa itu, tidak menjual eceran. Sena Utoyo dan Didi Petet sedang mengembangkan teater pantomim. Suatu teater yang dijiwai pantomim, untuk menyuguhkan drama yang mampu bersaing dengan pertunjukan teater-teater biasa. Pada April tahun lalu grup ini menyuguhkan Beca dan sukses, kali ini pada 16 s/d 18 April 1988, menampilkan Stasion. Panggung pertunjukan merupakan ruang besar stasiun seperti pada galibnya. Bangkubangku tempat menunggu, loket, jam dinding pada lengkungan pintu menuju rel, papan jadwal kereta api, dan sebagainya. Juga WC nongkrong di hidung para penonton. Segala macam orang berlalu-lalang datang dan pergi. Ada si Gagah dengan dua wanita mudanya, Bos Mafia dengan dua bodyguard-nya, suami-istri Johan Strauss, si Koboi Texas dengan dua jago tembaknya, seorang pejabat Jepang dengan dua sekretarisnya (semua berpakaian tradisional), para remaja pandai menari, sang Pemburu dengan kuli-kuli pribuminya yang masih primitif. Tentu saja Sena, sutradaranya, tidak lupa memasukkan tukang pel, penyemir sepatu, kepala stasiun, kuli, pengemis, dan para gelandangan yang pada berlomba kentut-kentutan. Namun, ada si Tokoh Stasion dengan kopor besarnya (hmm, dia itu misterius). Ia tidak datang dari mana, serta tak pergi ke mana. Ia seperti tumbuh dari fondasi bangunan stasiun. Dan itu dibawakan oleh Yayu Unru cukup kena. Pertunjukan ini lebih merupakan sketsa. Dan karena sebuah sketsa, maka ia melintas di panggung begitu spontan. Dengan sapuan-sapuan besar, ia tidak memerlukan detail. Satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, satu tokoh dengan tokoh lainnya, acap tidak ada hubungannya sama sekali. Tapi itulah stasiun. Ia persis kita. Ada yang unik dari selera bentuk sutradara dan penulis cerita ini. Ia tampak berselera "eropis". Ambil contoh para tokoh yang muncul: suami-istri Johan Strauss, Koboi Texas, Bos Mafia, Bos Jepang, Penari Balet, Sang Pemburu. Yang ada hubungannya dengan kita hanyalah Bos Jepang ketik di stasiun disambut pejabat kita. Lalu di lantai stasiun itulah diadakan upacara minum sake. Namun inilah simbol simbol yang dilemparkan oleh Sena kepada penonton. Agaknya, kita telah menjadi johan strauss-johan strauss baru - apa pun artinya. Diam-diam sebenarnya kita penentang-penentang macam Koboi Texas Atau berlagak sebagai bos macam godfather mafia. Boleh jadi, kita ini sedang meninda saudara-saudara kita sendiri yang masih primitif, seperti yang diperlihatkan oleh kegarangan sang Pemburu. Dan muda-mudi yang getol study tour, mungkinkah bis menghindar dari bercinta - seperti yang diperlihatkan oleh adegan dua kopor yan saling menindih? Apa pun suguhan Sena, sah saja adanya Sah pula segala macam penafsiran penonton Protes sosial Sena ini bagaimanapun enak ditonton. Lebih-lebih peran-peran dengan menarik ditampilkan oleh Fuad (Bos Mafia, Boyke Mulyana (sang Pemburu), Eko (si Latah), Broto (Koboi Texas), dan Rachman (Bos Jepang). Dimainkan oleh lebih dari 30 mahasisw IKJ dari berbagai disiplin ilmu, di Grah Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, pertunjuka ini berlangsung 11/2 jam. Harry Roesi sebagai penata musik, meski kurang banya suguhannya, terasa mampu mencaplok ruang dan memuntahkannya kembali. Lihatlah. Sungguh ada lokomotif yang melintas di panggung. Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini