Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menaikkan Harkat Pelajaran Kesenian

Kurikulum alternatif pendidikan kesenian ditawarkan swasta. Lebih banyak praktek daripada teori.

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di manakah letak pelajaran kesenian pada kurikulum kita? Agak menjorok ke teras belakang. Artinya, matematika, bahasa Indonesia, dan seterusnyalah yang selalu dianggap sebagai pelajaran utama yang bertakhta di ”ruang utama” kurikulum. Mungkin itulah sebabnya Endo Suanda dan Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN) bekerja sama dengan Ford Foundation dan berbagai sekolah untuk ikut mendorong pelajaran kesenian maju ke ”ruang utama”.

Sejak 2004, suasana kelas dalam pelajaran kesenian berubah. Murid tidak hanya dijejali teori, tapi lebih banyak praktek. Suasana makin meriah saat guru memutarkan video yang menyertai buku pelajaran. Murid jadi tahu bagaimana bentuk rumah adat suku-suku di Nusantara, misalnya, atau murid menyadari bahwa gamelan bukan monopoli masyarakat Jawa atau Bali.

Di SMP Negeri 1 Manado, Sulawesi Utara, pelajaran kerajinan tangan meriah. Selasa siang pekan lalu itu, sekitar 40 murid sedang mengumpulkan hasil karya mereka berupa rumah-rumahan yang dibuat dari berbagai macam bahan. Ada yang dari kacang-kacangan, tusuk es krim, tripleks, dan entah apa lagi. Ada rumah-rumahan, topeng, keset, dan pernak-pernik kecil lain. Dinding kelas dan langit-langit itu penuh hiasan. Meriah.

”Saya senang dengan mata pelajaran kesenian sekarang ini karena banyak praktek,” kata Olleta Eugenie Mambu, siswa kelas IX. ”Kami belajar membuat topeng dari kertas koran, tas, patung, kipas, dan banyak lagi.”

”Murid jadi tahu apa yang diajarkan, bukan hanya membayangkannya,” kata Sri Ponijo, guru kelas IX SMP Negeri 239 Jakarta, yang juga memakai kurikulum LPSN.

Kurikulum ini bisa menambah luas wawasan murid. Di ruang kelas kesenian SMP 239, misalnya, terdapat beragam rumah-rumahan adat hasil karya siswa. Meski hidup di tengah budaya Betawi, sejumlah murid malah membuat bentuk rumah adat dari Minangkabau sampai Papua.

”Anak-anak seperti mendapat pelajaran tambahan. Anak yang semula tidak kenal musik daerah dari Sumatera, setelah melihat video, jadi tahu. Juga alat musik tradisional, mereka jadi lebih tahu,” kata Sri Ponijo.

Mince Limpus, guru mata pelajaran seni dan budaya SMP 1 Manado, juga menilai kelebihan kurikulum baru ini ada pada praktek. Ia mencontohkan, saat belajar tentang tekstil, siswa diajari membuat batik ikat celup dengan bahan seadanya. ”Bahannya bisa kain atau hanya kertas tisu,” katanya. Motif yang dihasilkan berupa gambar bunga cengkeh, yang memang banyak dijumpai di Manado. Perubahan ini juga mengubah cara pemberian nilai. Guru lebih banyak mengambil nilai murid dari hasil karyanya daripada teori. Kebetulan, ujian akhir kesenian juga berupa praktek.

Kurikulum swasta ini cukup unik. Pelajaran untuk murid kelas VII semester pertama, misalnya, mengambil tema tentang gong. Tapi yang dibahas bukan melulu tentang gong, melainkan juga gamelan dan semua jenis perkusi berikut sejarah, asal, dan penggunaannya. Bahkan dibicarakan pula bagaimana bunyi dihasilkan. Jadi sedikit berbau pelajaran fisika.

Untuk praktek, murid diajak memainkan gamelan. Tapi guru yang sekolahnya tidak punya alat musik ini bisa mengajari murid membuat gong, menggambar, atau menari. Ini yang membuat kurikulum LPSN berbeda dengan kurikulum nasional. Murid kelas X sebuah sekolah menengah umum di Jakarta yang memakai kurikulum standar, misalnya, dalam setahun hanya belajar tentang musik mulai tradisional sampai modern dengan praktek menyanyi dan memainkan alat musik tertentu.

Sedangkan di kurikulum LPSN, pelajaran itu diselesaikan dalam satu semester di kelas VIII (SMP). Murid diajak menjelajahi sejarah musik Indonesia dan dunia dengan kaset VCD, yang menghidangkan penampilan dari Rhoma Irama hingga Kenny G., atau dari musik tanjidor sampai metal. Prakteknya pun bisa nyeleneh: murid diajak membuat gitar dari alat sembarangan, seperti kaleng biskuit dan sebatang kayu.

Menurut Direktur Eksekutif LPSN Endo Suanda, kurikulum ini memang sangat terbuka untuk dieksplorasi. ”Tergantung latar belakang gurunya. Kalau gurunya berlatar belakang seni rupa, bisa mengajarkan cara membuatnya. Kalau gurunya dari seni tari, bisa mengajarkan tarian dengan iringan gamelan itu,” katanya.

Lembaga itu tergerak untuk menyiapkan kurikulum berbeda karena selama ini ada kesan kesenian dipandang sebagai sesuatu yang tunggal. ”Padahal kesenian itu kompleks, tidak bisa dilihat dari sisi teknis saja, karena selalu berkaitan dengan hal lain,” kata Endo.

Di samping itu, satu jenis kesenian kadang kala tidak muncul ke permukaan karena kalah bersaing dengan kesenian lain dalam memperebutkan posisi sebagai ciri khas daerah. Lembaga ini mencoba menghidupkan kesenian minoritas itu sehingga bisa sejajar dengan produk budaya lain melalui pendidikan.

Departemen Pendidikan Nasional memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengembangkan kurikulum beberapa mata pelajaran, termasuk kesenian. Maka Lembaga Pendidikan Seni Nusantara dengan dana dari Ford Foundation memperkenalkan kurikulum alternatif ini di beberapa daerah. Awalnya, hanya ada 30 sekolah yang dilibatkan saat kurikulum ini diperkenalkan pada 2003/2004, yaitu 10 di Sumatera Utara, 14 di Jakarta, dan 6 di Nusa Tenggara Timur.

Upaya ini ternyata tak mudah. ”Kurikulum ini semula dicurigai sebagai upaya kristenisasi, barbarisasi, jawanisasi, atau entah apa lagi, karena kami memperkenalkan kesenian desa, yang selama ini dianggap tidak berharga,” kata Endo. Setelah materi dan prakteknya dilihat, akhirnya muncul banyak dukungan. ”Ada seorang ulama di Sumatera Barat yang mengatakan bahwa setelah membaca bukunya, ia mengaku tidak melihat adanya kristenisasi atau jawanisasi,” katanya.

Endo dan timnya tidak perlu waktu terlalu lama untuk bisa diterima kalangan pendidik dan masyarakat. Buktinya, muncul sambutan luar biasa. Peserta terus bertambah dan lingkup sekolah meluas, termasuk di kalangan pesantren yang semula menolak.

Tahun ini, pemakai kurikulumnya sudah mencapai 869 sekolah dari 12 provinsi. Jumlah ini masih sangat kecil karena baru mencapai 3,2 persen dari semua sekolah yang ada. Tapi LPSN sudah mulai kewalahan karena terbatasnya dana dan tenaga.

Semula, tim monitoring LPSN bisa mendatangi sekolah dua kali dalam satu semester, tapi dengan bertambahnya sekolah hal itu tidak mungkin dilakukan lagi. Masalah kekurangan dana diatasi dengan bantuan pemerintah daerah masing-masing, misalnya biaya pelatihan guru atau pembelian buku.

Meski semakin banyak yang berminat menggunakannya, Endo pesimistis kurikulumnya bisa diadopsi oleh pemerintah. ”Kurikulum ini terus berkembang. Kami melakukan revisi dan penataran guru setiap tahun. Hal ini akan sulit dilakukan pemerintah. Metodologi yang dipakai pemerintah sangat berbeda,” katanya.

Saat ini, LPSN sudah menyelesaikan sepuluh buku untuk murid kelas VII (SMP) sampai kelas XII (SMA). Buku itu membahas antara lain tekstil, permukiman, tari komunal, alat musik dawai, musik populer, kaligrafi, dan teater.

Buku-buku ini ditulis para ahli. Sebut saja Putu Wijaya menulis teater, etnomusikolog Irwansyah Harahap menggarap buku alat musik dawai, atau pelukis Abay D. Subarna dan Herry Dim menyusun buku tentang kaligrafi.

Mungkin karena itu pula sejumlah guru menilai kurikulum ini terlalu berat. Guru SMP Negeri 235 Jakarta, Titin Supartini, mengaku tidak lagi menggunakan kurikulum LPSN karena terlalu berat. ”Saya merasa materinya lebih cocok untuk pelajaran PLKJ (pendidikan lingkungan dan kehidupan Jakarta),” kata guru kelas IX itu.

Buku untuk kelas IX itu membahas soal permukiman. Di dalam buku setebal hampir 200 halaman itu, dibahas banyak hal, dari rumah itu sendiri sampai lingkungan dan perubahannya. Walhasil, Titin kembali menggunakan kurikulum milik Departemen Pendidikan, meskipun saat mengajar kelas VII dan VIII tahun sebelumnya, ia menggunakan kurikulum LPSN. Menurut dia, pelajaran kesenian di sekolahnya sekarang kembali menggunakan kurikulum pemerintah karena guru yang sudah menjalani pelatihan LPSN beralih mengajar tata boga.

Dari pengalamannya, ia menilai kurikulum tentang gong agak sukar karena kesulitan mempraktekkannya. Itu berbeda dengan pelajaran tentang tekstil dan musik populer, yang lebih mudah dipraktekkan.

Namun sejumlah guru mengambil jalan tengah dengan membuat kombinasi kurikulum pemerintah dan LPSN. Sri Ponijo, misalnya, mengambil bahan dari LPSN untuk materi yang ada di dalam kurikulum Departemen Pendidikan. ”Di kurikulum Departemen dibahas tentang permukiman, maka saya ambil bahannya dari kurikulum LPSN,” katanya.

Yudono, Verrianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus