Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggulung karpet,mencari dubes

Gedung untuk kedubes cina di jakarta sudah disiapkan. banyak syarat untuk calon dubes ri di cina. kunjungan li peng padat dengan acara. cina tak mengakui dwikewarganegaraan. ada skrining bagi yang ke rrc.

18 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA Senin sore pekan ini, kesibukan masih juga berlangsung di gedung tua itu. Karpet digulung, gorden diturunkan, dan bermacam dokumen dimasukkan ke kotak. "Kami diberi tahu bahwa tempat ini akan digunakan untuk kantor Kedutaan Besar Cina," ujar seorang pegawai di sana. Gedung yang terletak di pojok Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu dulu pernah sangat terkenal karena menjadi kantor Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Sejak markas Bakin pindah ke Pejaten, Pasar Minggu, beberapa tahun silam, gedung di Senopati itu tampak kusam dan sepi. Tapi masih ada kesibukan di sana karena sebagian ruangan digunakan kantor Yayasan Dharma Bakti -- sebuah yayasan yang dipimpin oleh mantan Kepala Bakin Jenderal (purn.) Yoga Sugomo. Kini Jenderal Yoga tampaknya harus rela tergusur. Agaknya, yayasan yang dipimpinnyalah yang pertama terkena dampak normalisasi hubungan RI-RRC, yang dimulai 8 Agustus silam. Sebagai buntut pencairan hubungan diplomatik itu, tentulah kedua negara akan membuka kantor perwakilan masing-masing. Meski Menlu Alatas pernah mengatakan bahwa kantor Kedubes Cina akan ditempatkan di sekitar Kuningan, tentu membangun gedung baru akan makan waktu. Menyewa ruangan di gedung perkantoran yang banyak tersebar di kawasan Kuningan juga bukan soal mudah, karena kantor perwakilan sebuah negara seperti RRC tentu punya persyaratan tertentu, soal keamanan dan komunikasi, misalnya. Alhasil, gedung di Senopati itu tampaknya memang alternatif yang cocok: menyendiri dan strategis. Sementara itu, sebuah tim khusus dari Departemen Luar Negeri RI (Deplu) juga akan berangkat ke Beijing September mendatang. Mereka menjajaki lokasi kantor Kedutaan Besar RI di sana. Boleh jadi ini suatu gelagat bahwa tak lama lagi RI dan RRC akan segera menempatkan duta besarnya. Itu sebabnya banyak yang bertanya-tanya siapa yang bakal ditunjuk menjadi duta besar di Beijing nanti. Dua pekan lalu, Menlu Alatas pernah mengungkapkan kepada TEMPO, calon dubes RI di Cina nanti sebaiknya orang yang menguasai masalah Cina dan bisa berbahasa Mandarin. Berdasarkan itulah kini muncul sejumlah nama yang dihubung-hubungkan dengan kriteria tersebut. Misalnya Abdurachman Gunadirdja yang pernah menjadi Duta Besar RI di Afghanistan dan Irak. Dia dianggap sebagai pakar Cina yang paling senior di jajaran Deplu. Jabatan dia sekarang adalah Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu). Nama lain yang juga sempat beredar adalah Roestandi yang kini masih menjabat sebagai Konsul Jenderal RI di Hong Kong. Atau Mayjen. (purn.) Soenarso yang pernah memimpin Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) -- sebuah lembaga yang berada di bawah Bakin. Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu J.B. Soedarmanto Kadarisman berkomentar pendek, "Itu kan dugaan orang-orang. Memang, ketiga orang itu pandai berbahasa Cina. Tapi itu belum tentu, masih banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak faktor yang harus diperhitungkan. Yang penting jangan terlalu berpegang pada ketiga nama yang disebut tadi," katanya. Roda sejarah berputar cepat. Permusuhan selama 23 tahun antara RI dan RRC itu sudah terkubur. Kunjungan PM Li Peng ke Indonesia selama enam hari (6-11 Agustus 1990) itu serasa obat penawar luka. Memang, seperti kata Presiden Soeharto tatkala menjamu tamunya Selasa malam pekan silam di Istana Negara. "Tak ada luka yang tak tersembuhkan," katanya. Esoknya, Rabu pekan silam, Presiden Soeharto dan PM Li Peng menyaksikan sebuah peristiwa bersejarah: Menlu Ali Alatas dan Menlu Qian Qichen menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) di Istana Merdeka. Itulah simbol dicairkannya kembali hubungan diplomatik antara kedua negara. Jadwal Li Peng di Indonesia sangat padat. Seperti Rabu pekan silam seusai menyaksikan penandatanganan MOU. Siangnya pukul 15.00, Li Peng bergegas ke Flores Room di Hotel Borobudur. Di sana ia menyampaikan pidatonya di depan sekitar 500 undangan yang disebarkan oleh Deplu dan Sekretariat Negara. Tampak hadir tokoh seperti Menko Ekuin Radius Prawiro, Sutan Takdir Alisjahbana, bekas Menlu Mochtar Kusumaatmadja, pengusaha Liem Sioe Liong, Mochtar Riady, Eka Tjipta Widjaja, dan Aburizal Bakrie. Dalam pidatonya, Li Peng juga menyinggung soal hubungan perdagangan RI-Cina. Sejak dibukanya hubungan dagang secara langsung pada tahun 1985 volume dagang kedua negara tahun lalu melejit sampai US$ 800 juta. Banyak yang menduga, angka itu akan melonjak cepat setelah normalisasi hubungan terjadi. "Saya belum tahu dagang apa dengan Cina. Belum bisa jawab," kata Liem Sioe Liong kepada TEMPO. Lain halnya Eka Tjipta Widjaja. Bos kelompok Bimoli itu menggebu-gebu menyambut soal prospek dagang dengan Cina setelah normalisasi. "Banyak yang mereka butuhkan, misalnya kelapa sawit atau pulp yang sudah saya ekspor lewat Hong Kong," katanya. Setelah normalisasi, ia berharap bisa mendapat keringanan bea masuk seperti yang dijanjikan oleh pemerintah Cina yang memberikan keringanan pajak buat komoditi dari negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing. Sejam kemudian, Li Peng secara khusus beramah-tamah dengan 30 orang tokoh Indonesia di Timor Room, Hotel Borobudur. Yang hadir tak jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Jusuf Wanandi, Jenderal (purn.) Sumitro mantan Menlu Soenario, Lie Tek Tjeng, dan Roeslan Abdulgani. Dalam kesempatan itu Li Peng kembali menegaskan beleid pemerintah Cina yang tak lagi mengakui dwi kewarganegaraan. Soal yang satu ini memang perlu ditegaskan olehnya. Maklum, pertanyaan seperti inilah yang sering terdengar di kupingnya, sejak ia tiba di Indonesia. Bukan rahasia lagi, masih banyak kalangan di Indonesia yang waswas terhadap normalisasi hubungan RI-RRC ini. Mereka khawatir kalau-kalau Beijing memanfaatkan warga keturunan Cina di sini untuk kepentingannya. Penegasan Li Peng bahwa "Pemerintah Cina selalu menganjurkan agar orang-orang Cina menjadi warga negara yang baik", dan "Kami tak lagi mengakui dwikewarganegaraan," rupanya belum meyakinkan mereka. Sikap waspada itu tampak juga dari beberapa kebijaksanaan yang masih belum berubah. "Skrining untuk mereka yang akan berkunjung ke RRC masih akan tetap diberlakukan," ujar Kepala Puspen ABRI Brigjen. Nurhadi pekan silam. "Kalau dulu huruf Cina dilarang untuk dipublikasikan, ketentuan itu sampai sekarang masih berlaku," kata Mensesneg Moerdiono. Moerdiono tampak geram ketika mengomentari adanya pendapat yang menganggap normalisasi hubungan dengan RRC ini terlalu dini. "Selama 25 tahun kita takut dengan Cina. Siapa yang takut, itu kerdil. Masa bangsa Indonesia yang 180 juta tidak punya hubungan diplomatik dengan bangsa yang 1 milyar lebih. Di mana politik luar negeri kita ya-ng bebas aktif? Kita sudah bikin ketahanan nasional, penataran, apa yang kita takuti?" Kamis pagi, Li Peng terbang ke Bandung. Sebelum ke IPTN, ia mengunjungi museum Asia Afrika dan sempat menyaksikan foto Zhou Enlai, PM Cina yang pertama yang juga ayah angkatnya. Sorenya rombongan PM Cina itu sudah menclok di Denpasar, Bali. Di sana Li Peng sempat diwawancarai sejumlah wartawan Indonesia meski sebagian acaranya dibatalkan karena konon ia kurang sehat. Namun, ia sempat bertemu dengan "Raja Kayu" Bob Hasan -- yang juga banyak bergerak dalam bidang olahraga. Selain soal bisnis kayu, konon Bob membicarakan kemungkinan dukungan Cina terhadap upaya Indonesia yang menginginkan agar Jakarta ditunjuk sebagai sekretariat sementara Komite Olimpiade Asia (OCA). Sekretariat OCA selama ini berada di Kuwait yang masih dilanda perang. Sedangkan Presiden OCA Sheikh Fadh Al-Ahmad Al-Sabah yang juga berasal dari negeri itu pekan lalu tewas terbunuh dalam serbuan tentara Irak. Bob, yang juga menjabat Wakil Presiden OCA, tampaknya ingin memanfaatkan kehadiran Li Peng untuk mengegolkan niatnya itu. Sidang OCA dijadwalkan akan berlangsung 20 Agustus 1990 di Hong Kong. Ahmed K. Soeriawidjaja, Linda Djalil dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus