SISA-SISA rasa takut dan ngeri masih melanda penduduk yang
tinggi di desa-desa Gunung Merapi Sumatera Barat sampai pekan
lalu, setelah bencana besar melanda 20 desa di sana 30 April
malam lalu. Tidak kurang dari 79 penduduk tewas, 46 luka-luka
berat, 139 rumah rata dengan tanah ketika pinggiran sebelah
timur Gunung Merapi roboh membawa lumpur dan batu-batu.
Ketakutan penduduk begitu disebabkan Merapi masih diliputi
kabut, hujan masih turun.
Selain menimbulkan korban jiwa, 616 Ha sawah penduduk yang siap
dipanen ditimbuni lumpur dan pasir. Tidak satu tangkai padi pun
bisa dipetik lagi. Juni nanti semestinya panen.
Bangunan-bangunan pasar juga hancur, berikut 2 gedung sekolah,
SD Inpres dan PGA, satu BKIA, 72 irigasi hancur dan 82 ekor sapi
dan kerbau ditemukan mati. Jumlah kerugian seluruhnya masih
dihitung, tapi sementara diperkirakan menelan Rp 3 milyar.
Tidak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa Merapi yang masih aktif
itu akan mengirimkan bencana macam itu. Selama ini kekuatiran
justru jika Merapi meletus dan mengirimkan lahar panas. Kejadian
30 April itu diawali dua ledakan besar yang disusul bunyi deru
yang menakutkan seperti satu skwadron pesawat yang akan lewat.
Hujan turun rintik-rintik setelah sorenya agak lebat. Penduduk
masih dalam keadaan kaget ketika tiba-tiba air besar membawa
lumpur dan batu melanda rumah-rumah mereka. Jeritan minta tolong
hampir tidak bisa didengar, hilang ditelan gemuruh air membawa
batu dan lumpur.
Menolak Pindah
Ketika pagi hari dilakukan perhitungan di antara 20 desa dalam 6
kecamatan yang terkena, Desa Pasir Lawas dan Salimpaung di
Kabupaten Tanah Datar paling parah.
Gunung Merapi membatasi Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah
Datar. Desa-desa yang terkena musibah terletak di sebelah timur.
Aliran lumpur dan batu tadinya akan lewat di Sungai Lasi dan
Batang Jabur. Karena terlalu besar terjadi penyimpangan, yang
dari Batang Jabur di daerah Tanah Datar menabrak 11 desa,
sedangkan yang dari Sungai Lasi melanda 9 desa. Ketika Selasa 1
Mei siang cuaca agak cerah terlihat 3 bekas runtuhan di timur
gunung itu. Juga ada dua air terjun baru di hekas runtuhan.
"Dataran Merapi adalah daerah yang paling subur," kata Bupati
Tanah Datal Sulaiman Zulhudi. Desa-desa yang kini mendapat
musibah dikenal sebagai penghasil padi utama kabupaten itu.
Begitu pula desa-desa di Kabupaten Agam di sekitar Merapi.
Bahkan beras IV Angkat Candung yang kesohor di Sum-Bar berasal
dari daerah bencana.
Dua tahun silam ketika Merapi mengirimkan kepulan asap yang
membentuk jamur raksasa di udara, kecemasan memang telah melanda
penduduk di sekitar gunung itu. Tim DPRD Sum-Bar yang menjenguk
desa-desa bersama beberapa pejabat propinsi menawarkan penduduk
di sana untuk pindah. Desadesa yang dianggap kritis antara lain
Sungaipuar di Kabupaten Agam yang persis ada di pinggang Merapi.
Tapi mereka menolak. Penduduk justru beranggapan kepulan asap
yang menebarkan bau belerang itu adalah rahmat untuk petani.
Betul juga tanah di sekitar daerah itu makin subur. Tapi di luar
dugaan, Merapi mengirimkan bencana dalam bentuk lain. Yang
mengalir bukan lahar panas, tapl lahar dingin.
Di tengah-tengah suasana berduka, ketika penguburan massal di
beberapa desa pejabat-pejabat yang datang meninJau dan
memberikan bantuan juga memperdebatkan sebab-sebab bencana.
Petugas Gunung Merapi Dt. Rajo Imbang mengemukakan bahwa sumber
bencana berada di luar kawasan berbahaya. "Bukan dari kawah dan
tidak juga dari Telaga Bongkahan," katanya kepada pembantu
TEMPO.
Sebagai Bencana Nasional
Menurut Rajo Imbang, bencana datang dari endapan kantong-kantong
air, yang longgar akibat gempa sehari sebelumnya. Gempa memang
terasa bergetar di daerah Sum-Bar dengan pusat gempa di Pinang
Sori (Tapanuli), 250 Km di utara daerah bencana. Getaran gempa
dengan kekuatan 4 skala richter seperti yang tercatat di Padang
Panjang, menyebabkan kantong air pecah dan merobohkan dinding
gunung dan batu-batuan. Lalu mengalir dan membawa lumpur
bencana.
Menyaksikan penderitaan penduduk yang terkena musibah, banyak
pejabat daerah mengusulkan agar dinyatakan sebagai bencana
nasional. "Tidak mungkin," kata Suparjo, Menteri Sosial kepada
TEMPO Rabu pekan lalu. Tapi ia menjanjikan akan menanggulangi
bencana itu secara nasional. Alasan tidak dinyatakan sebagai
bencana nasional menurut Suparjo "sepanjang kita masih bisa
menanggulangi sendiri, belum bisa disebut sebagai bencana
nasional." Disehut bencana nasional apabila untuk
penanggulangannya diperlukan bantuan dunia luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini