Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT pembahasan rekomendasi hasil simposium nasional tragedi 1965 lewat satu hari dari tenggat. Mematok target dua hari sejak Rabu pekan lalu, 15 anggota tim perumus baru bisa menyelesaikan rekomendasi simposium pada Jumat pekan lalu. "Pembahasan paling alot saat merumuskan penyelesaian peristiwa itu," ujar Nur Kholis, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu anggota tim perumus.
Fokus pembahasan solusi penyelesaian dikebut pada hari kedua dan ketiga di ruangan rapat lantai dua kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Tim perumus terbelah. Ketua Panitia Simposium Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Agus Widjojo berkukuh bahwa penyelesaian tragedi 1965 hanya menyinggung solusi non-yudisial, yakni rekonsiliasi.
Di kubu lain, misalnya, ada Komnas HAM dan perwakilan korban, yang menghendaki solusi penyelesaian rekonsiliasi harus sejalan dengan penyelesaian hukum peristiwa tersebut. Karena tak kunjung sepakat, akhirnya ditempuh jalan tengah, penyelesaian non-yudisial menjadi prioritas utama. Rekomendasi ini akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo pada awal Mei nanti.
Digelar pada Senin dan Selasa pekan lalu di Hotel Aryaduta, kawasan Tugu Tani, Jakarta, simposium nasional bertajuk "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" itu merupakan forum pertama dan terbuka yang mempertemukan korban dan pihak yang dituding pelaku. Sekitar seratus korban dan keluarga korban hadir di acara ini. Ada juga, antara lain, sejarawan, pegiat hak asasi, keluarga Pahlawan Revolusi, tokoh Nahdlatul Ulama, dan putri Presiden Sukarno, Sukmawati Soekarnoputri. Acara disokong Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan.
Saat pembukaan simposium, hadir sejumlah menteri, jenderal, dan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia. Misalnya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Tampak juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto. Dari pihak purnawirawan TNI, hadir Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan, yang memimpin operasi "pembersihan" simpatisan PKI di sejumlah daerah di Jawa Tengah.
Pengamanan simposium cukup ketat. Ratusan polisi berjaga di depan Hotel Aryaduta. Belasan lainnya di depan pintu masuk. Di arena simposium, di ruang aula lantai satu, sejumlah polisi tak berseragam membaur dengan peserta. Sempat ada demo puluhan orang dari Front Pancasila, yang hendak membubarkan simposium. Polisi langsung membubarkan paksa demo itu.
Menurut Bejo Untung, salah satu korban yang juga Ketua Yayasan Penelitian Korban 1965, hari pertama simposium dianggap mengecewakan. Ini karena pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan saat membuka simposium memicu kontroversi di antara para korban. "Kami awalnya kecewa dan merasa tidak yakin simposium ini hasilnya sesuai dengan harapan korban," katanya.
Saat itu Luhut mengatakan bahwa pemerintah serius menuntaskan kasus 1965, tapi tidak ada rencana meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Pernyataan ini yang membuat para korban risau. "Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran pemerintah akan minta maaf," ujar Luhut.
Pada hari pertama, sejumlah korban menuturkan kesaksiannya. Termasuk anak tokoh Partai Komunis Indonesia, Ilham Aidit dan Svetlana Njoto. Ilham adalah putra Dipa Nusantara Aidit dan Svetlana putri Njoto. Mereka mengaku masih kerap menerima teror dan perlakuan diskriminatif. "Jika mau rekonsiliasi, sifatnya harus ada pengakuan atas tragedi tersebut, permintaan maaf, dan rehabilitasi," kata Ilham.
Para korban baru bernapas lega pada hari kedua. Ini, misalnya, karena kesaksian sejumlah pihak yang diduga sebagai pelaku mulai terang. Tokoh NU, Imam Aziz, misalnya. Ia mengatakan pembunuhan massal saat itu terjadi karena adanya rantai komando dari aparat keamanan yang merekrut orang-orang NU. "Kalau yang dilakukan NU itu menyakitkan, kami mohon maaf," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Harapan korban melambung mendengar pidato Sidarto Danusubroto membacakan refleksinya pada akhir simposium. Menurut mantan ajudan Presiden Sukarno ini, negara harus mengakui terlibat dalam tragedi itu. Ia juga berharap stigma negatif kepada para korban dihentikan. Pidato Sidarto disambut tepuk tangan meriah peserta. Tak sedikit yang meneteskan air mata. Penutupan semakin mengharu-biru saat para peserta bersalaman dan berpelukan. Dengan suara tercekat, mereka menyanyikan lagi Padamu Negeri di akhir acara.
UNTUK mengejar waktu, Sidarto Danusubroto memilih menunggang ojek dari kantor Wantimpres di Jalan Veteran menuju kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di Jalan Diponegoro, 6 April lalu. Keluar pukul 5 sore, Sidarto baru sampai setengah jam ke kantor LBH. Karena macet, ia tak punya banyak waktu karena pukul 6 sore harus membuka sebuah acara lain. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu diminta para aktivis Internasional Peoples' Tribunal (IPT) 1965 meyakinkan para korban untuk hadir di simposium.
Selain para aktivis IPT 1965, seperti Bonnie Setiawan dan Dolorosa Sinaga, saat itu ada delapan korban yang datang ke kantor LBH. Menurut Bejo, salah satu yang hadir, korban awalnya menolak hadir di simposium karena mendapat informasi acara itu hanya upaya melegitimasi penyelesaian non-yudisial tragedi 1965.
Setelah dibujuk Sidarto, mereka luluh. Sidarto menjamin akan ada rehabilitasi umum di simposium. Isak tangis pecah saat Sidarto mengatakan simposium ini kesempatan untuk menghilangkan stigma negatif dan teror yang selama ini menghantui para korban. "Saya tidak tega setiap kali mereka mengadakan kegiatan digerebek," kata Sidarto.
Kekhawatiran para korban ini cukup beralasan. Ini karena adanya perdebatan alot di panitia perancang simposium. Tim Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan tidak setuju dengan konsep tragedi 1965 yang akan dibawa ke simposium adalah pembunuhan massal. Mereka meminta itu diganti dengan konflik horizontal, yang memberi implikasi negara tak perlu meminta maaf atas peristiwa itu.
Dalam beberapa kali rapat di kantor Wantimpres, Agus Widjojo dan tim dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan meminta simposium tidak membahas semua yang merujuk pada tanggung jawab negara dan implikasi jangka panjang peristiwa 1965. Agus menyebutkan konsepnya ini adalah pendekatan kesejarahan yang paling obyektif dan faktual. "Simposium ini eksperimen," katanya.
Empat hari sebelum simposium, sekitar 80 korban yang usianya di atas 50 tahun datang berkumpul di Wisma Coolibah, kawasan Cisarua, Bogor. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sehari sebelum acara itu, mereka menyampaikan izin ke ketua rukun warga dan meminta perlindungan kepolisian setempat. "Ini untuk merumuskan suara korban di simposium," ujar Bejo.
Kamis malam itu, saat sebagian baru tiba di wisma, ratusan anggota organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan di wilayah itu datang menumpang bus, mobil, dan sepeda motor. Untung ada anggota polisi dan TNI yang datang ke wisma. Dengan mengancam tidak bisa menjamin keselamatan para korban 1965, kelompok kepemudaan dan ormas itu meminta acara dibubarkan. "Malam itu juga kami akhirnya mengungsi ke kantor LBH Jakarta," kata Bejo.
Keesokan harinya, para korban melaporkan kejadian Cisarua itu ke Komnas HAM. Peristiwa Cisarua itu kembali membuat mereka berpikir untuk tidak hadir di simposium. Namun, karena sejumlah komisioner Komnas HAM menjamin keamanan mereka, para korban akhirnya bersedia datang.
Anton Aprianto, Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo