Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASYARAKAT Kota Bajawa, Ngada, Nusa Tenggara Timur, heran melihat dua mobil dinas bernomor pelat sama: EB-1-N. Mereka sempat mengira ada bupati lain yang punya mobil sama. Wartawan Ngada Pos, yang juga tahu soal mobil itu, lantas menuliskannya. "Saya melihat sendiri kedua mobil itu beriringan," kata Pemimpin Redaksi Ngada Pos, Wens John Rumung.
Kedua mobil itu ternyata milik satu orang, yakni Bupati Ngada, Albert Nong Botha. Nah, dari sinilah cerita bermula. Ngada Pos, koran mingguan dengan oplah 2.000 eksemplar, mulai mengungkai kisah di balik sewa-beli mobil dinas di kalangan Pemerintah Daerah Ngada. Cerita ini diturunkan dalam empat edisi sejak Desember 2003 hingga Mei 2004.
Menurut tulisan Ngada Pos, Maret lalu, Bupati Botha mengeluarkan surat keputusan menyewa-belikan 23 kendaraan dinas roda empat dan 45 kendaraan roda dua. Artinya, para pemegang kendaraan, termasuk anggota DPRD, berhak memiliki tunggangannya itu dengan cara mencicil melalui pemotongan gaji bulanan.
Ngada Pos menemukan kejanggalan, yakni harga jual yang sangat murah. Mobil Nissan Terrano buatan 1996, misalnya, dijual cuma Rp 30 juta, padahal di Jakarta saja harganya di atas Rp 80 juta. Toyota Kijang 1996, yang harganya sekitar Rp 60-an juta, cuma dilepas Rp 30,6 juta. Malah sebelum dijual, mobil-mobil itu diperbaiki dengan dana anggaran daerah.
Akibatnya, bupati berikutnya bakal ketiban pulung membeli puluhan mobil dinas baru. "Itu kan menghamburkan anggaran negara," kata Wens. Apalagi, katanya, "Di tengah rakyat yang masih sangat miskin, bupati membeli sewa dua mobil mewah." Cara sewa-beli, menurut Wens, adalah usaha Botha menarik hati para anggota legislatif, agar ia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua.
Untuk memperkuat tulisannya, dalam edisi Mei 2004, Ngada Pos memasukkan pendapat masyarakat yang menyebut Botha salah satu bupati paling serakah di Indonesia. Kata "serakah" itulah yang kini membawa Wens dan seorang redakturnya, Gaby Pira, berurusan dengan polisi. Bupati menggugat mereka telah mencemarkan nama baiknya selaku pejabat negara. Berkas keduanya sudah di tangan jaksa penuntut umum Ngada, dan diperkirakan bulan ini maju ke persidangan.
Akan halnya artikel itu, Wens yakin sudah memenuhi kaidah jurnalistik, karena data itu diperolehnya dari salinan surat asli. Ngada Pos juga telah memuat wawancara dengan Bupati Botha dalam edisi Tahun Ke-2 Minggu IV, Desember 2003. Memang, dalam wawancara itu Botha lebih banyak mengatakan no comment.
Januari lalu, lagi-lagi Ngada Pos mewawancarai Botha di Bandara El Tari, Kupang, tetapi bupati tetap mengelak dan mengatakan no comment berulang-ulang. Wens mengakui kesulitan mereka mendapatkan wawancara dengan Bupati. Padahal, katanya, untuk sebuah koran lokal lain Bupati memberi kesempatan wawancara.
Majalah ini pun menemui kesulitan mewawancarai Bupati. "Bapak ke luar kota," kata seorang pembantu rumahnya, yang beberapa menit sebelumnya mengatakan Botha sedang menerima tamu.
Sejak Ngada Pos memuat tulisan yang dituduh "mencemarkan nama baik" itu, rencana mereka mendirikan kantor redaksi di Bajawa, ibu kota Ngada, juga batal. Pasalnya, tak seorang pun bersedia mengontrakkan rumahnya untuk koran itu. "Mereka diancam preman Bupati," kata Wens.
Ia sendiri mengaku sering mendapat teror, bahkan ada orang suruhan Bupati yang datang dan membentak wartawannya di kantor. Tapi, Wens yakin ia benar. "Berita itu apa adanya, tak ada yang mengada-ada," katanya. Buktinya, bupati tak menggugatnya soal kebenaran berita sewa-beli itu.
IGG Maha Adi, James D. Fortuna (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo