Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidoarjo
Musim Hujan, Tanggul Lumpur Lapindo Kritis
MEMASUKI musim hujan, tanggul lumpur Lapindo kembali kritis. Salah satunya yang berada di sisi barat patok (P)71-10d, berbatasan langsung dengan jalan raya Porong dan rel kereta api. Berdasarkan pantauan Tempo, ketinggian gunung lumpur nyaris sepadan dengan tinggi tanggul penahannya. Tidak tertutup kemungkinan tanggul setinggi delapan meter itu akan jebol bila terkena gerusan air hujan dan tekanan dari gunung lumpur.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak menampik kemungkinan itu. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak lantaran area yang kritis merupakan daerah yang kini dalam penguasaan blokade warga. Mereka masih menuntut ganti rugi yang tak kunjung diselesaikan PT Minarak Lapindo Jaya. "Saya berharap pemerintah membujuk warga korban lumpur agar BPLS bisa bekerja," kata juru bicara BPLS, Hengki Listria Adi, Senin pekan lalu.
Namun warga malah bereaksi keras. Mereka enggan hengkang dari lokasi berbahaya itu sebelum perusahaan membayar tuntas ganti rugi yang dijanjikan. "Biar sekalian jebol saja, realisasi ganti rugi tak pernah dipenuhi," ujar Anwar, salah satu warga yang memblokade jalan tanggul.
Menyikapi ancaman warga, anggota Panitia Khusus Lumpur Sidoarjo, I Wayan Dendra, mendesak Minarak Lapindo Jaya segera melunasi ganti rugi bagi korban di peta area terkena dampak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Solusi yang paling cepat, ia menyarankan agar sementara ditalangi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Uang APBN itu nanti dibayar oleh MLJ (Minarak Lapindo Jaya) dengan cara dicicil," katanya.
Diananta P. Sumedi
Jawa Timur
Ramai-ramai Menolak Ide Pemekaran
IDE pemekaran Provinsi Jawa Timur sepertinya bakal layu sebelum mekar. Banyak pihak tidak sepaham karena alasannya tak bisa dipertanggungjawabkan.
Awalnya, ide ini meluncur dari Bupati Jember M.Z.A. Djalal, Rabu dua pekan lalu. Dalam Rapat Paripurna dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jember, ia mengusulkan agar Jawa Timur dibelah dua, barat dan timur, sesuai dengan rencana pembentukan kawasan ekonomi khusus Jawa Timur bagian timur, yang meliputi Jember-Situbondo-Lumajang-Bondowoso-Banyuwangi (Bertulodowangi).
Usul Djalal ini lantas menyebar dan memancing reaksi banyak kalangan. Kementerian Dalam Negeri menilai tidak ada urgensi memekarkan Provinsi Jawa Timur karena tak ada dalam desain besar peta rencana pemekaran daerah. "Saat ini juga dalam moratorium pemekaran daerah."
Menurut pakar politik Universitas Airlangga, Haryadi, usul pemekaran ini hanya gagasan sempit, tidak bermutu, dan pragmatis. "Sebanyak 80 persen wilayah pemekaran yang sudah ada biasanya mengalami defisit dan bangkrut setelah tujuh tahun," dia memaparkan hasil studinya.
Mahbub Djunaidy, Subkhan, Agita Sukma Listyanti
Jawa Timur
4,4 Juta Penduduk Jawa Timur Hilang
Proses perekaman data elektronik untuk kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) membawa persoalan pelik bagi pemerintah Jawa Timur. Sekitar 4,4 juta penduduknya dinyatakan hilang lantaran belum jua mendaftar. Penduduk yang "hilang" kebanyakan berasal dari Bangkalan. "Sampai batas akhir penyerahan data e-KTP, masih banyak penduduk yang belum mendaftarkan diri. Kami terus terang kesulitan menyisirnya," kata Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jawa Timur Hary Soegiri, Senin pekan lalu.
Beberapa spekulasi lantas meruap. Salah satunya dugaan penggelembungan data penduduk di Jawa Timur terkait dengan pemilihan kepala daerah 2008. Sebab, data yang dijadikan patokan untuk perekaman e-KTP Jawa Timur merupakan data 2008, yang merupakan data final jumlah pemilih pemilihan gubernur 2008.
Namun isu itu cepat dibantah Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Menurut dia, kesalahan terjadi di Kementerian Dalam Negeri. "Ini data dari pusat, tidak ada kaitannya dengan pilgub," ujarnya. Meski begitu, Soekarwo tetap meminta Dinas Kependudukan menyisir ulang, memastikan jumlah penduduk yang telah melakukan perekaman data elektronik KTP.
Hary Soegiri membenarkan ucapan Gubernur. Data dari Kementerian Dalam Negeri, yang dijadikan patokan, mencapai 41 juta jiwa. Padahal Badan Pusat Statistik hanya mencatat jumlah penduduk wajib KTP sebanyak 37,5 juta jiwa sehingga ada selisih sekitar 4 juta jiwa.
Fatkhurrohman Taufiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo