Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MUI Minta Pemerintah Tunda Kebijakan PPN 12 Persen

Wakil Ketua Umum MUI Anwar abbas meminta agar pemerintah menunda implementasi kebijakan PPN 12 persen

28 Desember 2024 | 05.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia menggelar demontrasi menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di Istana Negara, Jakarta, 27 Desember 2024. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar abbas meminta agar pemerintah menunda implementasi kebijakan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen yang bakal berlaku 1 Januari 2024. Dia menekankan, kenaikan pajak ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan perekonomian masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Untuk kebaikan semua pihak, sebaiknya pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen tersebut sampai keadaan dunia usaha dan ekonomi masyarakat mendukung untuk itu," katanya dalam keterangan tertulis, pada Jumat, 27 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan, kenaikan PPN 12 persen memang sudah jelas sudah tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, dia mempertanyakan apakah kebijakan tersebut sudah tepat atau belum untuk dilaksanakan di tengah kondisi perekonomian saat ini.

"Di sinilah letak masalah dan kontroversinya. Pihak pemerintah tampak bersikeras untuk memberlakukan ketentuan tersebut pada tanggal 1 Januari 2025," ujarnya.

Anwar menyebutkan ada dua alasannya yang sangat mengemuka. Pertama, karena kebijakan PPN 12 persen sudah merupakan tuntutan dari UU HPP. Jika tidak dilaksanakan, maka pemerintah akan dicap telah melanggar UU. 

Kedua, kata dia, pemerintah saat ini memang sedang memerlukan dana yang besar. Baik untuk membiayai semua pengeluaran pemerintah termasuk pengeluaran untuk pembangunan. 

Dia memahami bahwa pemerintah juga sudah menyiapkan berbagai langkah seperti mengecualikan kenaikan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan dan layanan pendidikan. 

Tetapi di sisi lain, menurut dia, masyarakat serta dunia usaha resah dan sangat keberatan, karena akan mendorong terjadinya kenaikan harga barang dan jasa. 

Bila hal itu yang terjadi, menurut Anwar, akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat menurun, maka tingkat keuntungan pengusaha dan kesejahteraan masyarakat juga akan menurun. 

"Hal demikian jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi, karena konstitusi mengharapkan semua tindakan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus diarahkan bagi terciptanya sebesar-besar kemakmuran rakyat," ujarnya.

Hal ini, kata Anwar, penting menjadi perhatian bersama, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa, Dia menyatakan, Presidan Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan telah berkali-kali menyampaikan sikapnya bahwa kebijakan yang akan dia buat adalah kebijakan yang memberdayakan dan pro rakyat, bukan sebaliknya. 

Dia menyoroti pernyataan para ahli dan masyarakat yang menilai bahwa kenaikan PPN yang terjadi di saat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah belum begitu kuat dan dunia usaha sedang lesu, jelas tindakan yang tidak tepat. 

"Oleh karena itu, jika pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan UU tersebut pada tanggal 1 Januari besok, maka hal demikian jelas menjadi tanda tanya," tutur Anwar.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus