Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Musibah ratu jaya

Tabrakan kereta api menyebabkan 20 orang tewas dan 100 lebih luka-luka. alat komunikasi antar-stasiun dan kereta api minim. siapa salah?

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERETA api sering dianggap sebagai angkutan umum paling aman ketimbang bus atau pesawat terbang. Tapi lain yang terjadi Selasa pagi pekan lalu di jalur JakartaBogor. Dua kereta rel listrik (KRL) beradu kepala di Desa Ratu Jaya, Depok. Kerasnya benturan membuat kedua kepala KRL itu ''benjol'' ke atas, hampir tiga meter tingginya. Yang terdengar kemudian jerit dan rintihan penumpang. Dan yang terlihat, selain darah tercecer di mana-mana, sekitar 20 penumpang tewas dan 100 orang lebih luka-luka. Sebagian penumpang yang luka-luka kini masih dirawat di rumah sakit di Depok, Bogor, dan Jakarta. Yang meninggal termasuk dua masinis KRL yang nahas itu. Adi Purnomo mengemudikan kereta dari arah Jakarta menuju Bogor, dan Mohammad Junaedi dari arah berlawanan. Sialnya, Siti Rudiyati, istri Adi, ikut tewas di gerbong KRL yang dikemudikan Junaedi. Ia dalam perjalanan ke tempat kerjanya, pabrik konveksi di Tebet, Jakarta. Tentu, berita tabrakan itu segera sampai ke ruang sidang kabinet, Rabu pekan lalu. Presiden Soeharto sempat menanyai Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto perihal musibah itu. ''Itu kesalahan siapa? Manusia atau alat?'' begitu kata Pak Harto seperti ditirukan oleh seorang pejabat. ''Kesalahan manusia, Pak,'' jawab Haryanto. ''Manusia yang mana?'' kata Pak Harto lagi dengan nada tinggi. Menteri B.J. Habibie, yang hadir di situ, segera menyela, ''Pak Harto... saya rasa kita harus punya double track, agar kecelakaan itu tak terjadi lagi.'' Siapa yang salah belum sempat dijelaskan oleh Menteri Haryanto sampai sidang kabinet usai, ketika Pak Harto kemudian mengunjungi korban musibah itu di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok. Sebelumnya, dua KRL nahas itu memang sempat berhenti di Stasiun Depok Lama dan Citayam, Bogor. Dua stasiun kecil itu dihubungkan dengan rel tunggal (single track). Pagi itu, sekitar pukul 07.30, hampir bersamaan, dua ular besi itu dilepas oleh pimpinan perjalanan kereta api (PPKA) di dua stasiun tadi. Ada yang ganjil memang. Saat itu seharusnya KRL dari Jakarta menunggu di Stasiun Depok Lama sampai kereta yang dari Citayam berjarak sekitar 6 km itu tiba. Salahkah masinis? ''Masinis Adi sudah senior. Dia tak mungkin berangkat tanpa perintah PPKA,'' kata seorang masinis. Memang, sampai akhir pekan lalu, dua pejabat PPKA di Stasiun Depok Lama dan Citayam masih diperiksa polisi. Dari hasil pemeriksaan sementara, menurut polisi, mereka berdua dianggap punya andil dalam tabrakan itu sekalipun, kabarnya, perlengkapan elektronik untuk mendeteksi kereta yang melintas mendadak rusak. Slamet, PPKA Depok Lama, sempat memberi kabar keberangkatan kereta dari stasiunnya. Namun, pesannya tak diterima dengan jelas oleh Djamaludin, PPKA Citayam. Kabarnya, telepon antarstasiun itu terputus. Di tengah ketidakjelasan itulah mereka berdua memberangkatkan kereta. Konon, Djamaludin masih sempat mengejar kereta yang sudah telanjur dilepasnya, dengan menggunakan ojek. Tapi upayanya sia-sia. Sebelum kereta tersusul, tabrakan sudah terjadi. Alat komunikasi antarstasiun, antarkereta api, atau kereta api ke stasiun, seperti halnya radio pada taksi, tak dimiliki oleh kereta api. Sehingga, kalau misalnya hubungan dua stasiun macet seperti itu, dua kereta yang meluncur di satu jalur tak bisa berkomunikasi. Bahkan, seperti cerita seorang masinis lainnya yang sudah menjalani jalur itu selama 15 tahun, interkom yang menghubungkan masinis di lokomotif depan dan di lokomotif belakang pun dicopot oleh Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dua tahun lalu. Faktor perlengkapan keselamatan kereta api mungkin sedikit terabaikan. Kata seorang masinis, ''Ada kereta yang speedometer-nya tak jalan. Dan kipas angin di ruang masinis juga dicopot.'' Belum lagi susunan kursi di gerbong penumpang. Sebelumnya, setiap gerbong hanya bisa diisi 86 orang. Namun, sejak dua tahun lalu, bangku cuma di pinggir sehingga tiap gerbong bisa dijejali sampai 500 penumpang. Jalur JakartaBogor terbilang paling padat. Setiap hari, menurut Menteri Haryanto, tercatat sekitar 70 ribu sampai 100 ribu penumpang yang menggunakan jasa KRL itu. Mereka dilayani dengan 80 keberangkatan kereta dari Jakarta maupun Bogor. Penumpangnya sebagian besar adalah pedagang, pegawai rendahan, dan mahasiswa. Maklum, harga karcis KRL memang lebih miring ketimbang bus, cuma Rp 500 untuk BogorJakarta. Sekalipun tercatat sebagai trayek gemuk, toh jalur Jakarta-Bogor ini belum dibuat ganda. Tentu dibutuhkan keterampilan khusus untuk mengatur penggunaan rel pada saat frekuensi kereta meningkat. Sebab, manajemen rel yang semrawut akan menyebabkan bencana. Enam bulan lalu, misalnya, menurut seorang masinis, kecelakaan serupa nyaris terjadi di antara Stasiun Citayam dan Depok Lama. Ketika itu kereta Pakuan Express dari Bogor hampir berlaga dengan KRL dari Jakarta. Untung, kedua masinisnya sama- sama melihat dan sempat mengerem hingga jarak kedua moncong kereta tinggal lima meter. Kereta Pakuan mengalah, mundur ke Stasiun Citayam. Dua puluh lima tahun silam juga terjadi tabrakan dahsyat di tempat itu. ''Korbannya lebih banyak, mungkin 200-an orang tewas,'' kenang seorang ibu setengah baya yang tinggal di sana. Begitu banyak yang mati hingga daun pisang di kebun sekitar itu habis untuk menutupi mayat. Peristiwa serupa terjadi tahun 1987 di jalur Bintaro. Ada 139 korban yang tewas waktu itu, dan ratusan lainnya luka-luka. Peristiwa ini disimpulkan, di samping soal kelalaian, juga akibat faktor alat komunikasi yang tak memadai. Siapa tahu, sebuah radio komunikasi bisa menyelamatkan ratusan nyawa manusia. Ahmed K. Soeriawidjaja, Indrawan, dan Linda Djalil (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus