NAMANYA juga aktivis LSM yang gemar demonstrasi. Sampai jadi mayat pun ia masih berdemonstrasi. Dialah M. Hasbi bin Achmad Lallo, 32 tahun, pengurus LSM Yayasan Pijar, salah seorang korban mati musibah adu bentur dua kereta rel listrik di Ratu Jaya, Citayam, Depok, pekan lalu. Pada hari nahas itu Hasbi, alumni Fakultas MIPA UGM 1991, punya jadwal acara yang padat. Dari markas Yayasan Pijar di bilangan Pramuka, Jakarta Timur, ia mau menemui Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Adnan Buyung Nasution, yang sedang berseminar di Universitas Pakuan, Bogor. Mereka merencanakan menggelar unjuk rasa ke kantor polisi Cibinong, menentang penangkapan rekan mereka yang dituduh mengompori massa petani Rancamaya, Bogor, yang terancam penggusuran. Siangnya Hasbi mestinya hadir di kantor LBH. Di situ ada pertemuan dengan para eks tahanan politik. Hasbi memang ditugasi menyusun konsep petisi mengenai tahanan dan narapidana politik. Hasbi, menurut teman-temannya, getol memperjuangkan hak asasi dan demokrasi. Untuk menjabarkan gagasannya, ia banyak terlibat dalam diskusi atau seminar di berbagai forum, seperti di Yayasan Pijar, YLBHI, Forum Indonesia Muda, ataupun Kelompok Petisi 50. Dan arena unjuk rasa, misalnya di DPR, sudah jadi langganannya. Toh Hasbi masih menyisakan sesuatu untuk kebutuhan hidupnya: 28 November nanti ia mau menikahi Nunung Fatma, gadis yang bekerja di YLBHI. Agenda penting Hasbi itu terhapus dengan terjadinya tragedi Citayam. Jenazah Hasbi, pada hari nahas itu juga, disemayamkan di markas Yayasan Pijar. Esoknya, Rabu pekan lalu, berkumpullah ratusan pelayat yang kebanyakan aktivis LSM dan tokoh masyarakat, seperti Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng, Hariman Siregar. Hasbi akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Namun, iring-iringan mobil jenazah yang diikuti puluhan mobil itu rupanya berjalan memutar, ke Merdeka Barat, lalu masuk ke halaman Departemen Perhubungan. Serombongan menerobos hingga ruang tunggu. Sebuah karangan bunga dionggokkan di patung garuda, dan mulailah mereka meneriakkan protes mereka, menuntut perbaikan sistem transportasi massal, pemberian santunan bagi keluarga korban, dan pertanggungjawaban Menteri Perhubungan. Sementara itu, mobil jenazah diparkir di halaman kantor Menteri Perhubungan. ''Sewaktu hidup saja Hasbi suka demonstrasi, apalagi sesudah meninggal,'' ujar temannya. Beberapa saat kemudian, iring-iringan jenazah itu berangkat ke kuburan. Unjuk rasa itu berlanjut dua hari kemudian, melibatkan sekitar 50 orang, tentu saja kali ini tak lagi mengikutkan Hasbi yang sudah dimakamkan. Petugas keamanan dengan sigap menutup pintu gerbang, sehingga para pengunjuk rasa hanya bisa bergerombol di trotoar. Mereka memancang spanduk dan poster, sembari meneriakkan sajak dan ungkapan lainnya, seperti ''Tragedi Ratu Jaya Cermin Ketidakpedulian Pemerintah Terhadap Rakyat Kecil'', ''Menteri Jangan Pengecut! Tanggung Jawab Bukan Hanya di Mulut! Mundur!''. Mereka melihat kecelakaan itu bukan hanya persoalan kelalaian manusia atau kesalahan teknis, tapi merupakan wujud ketidakberesan skala prioritas pembangunan nasional yang tak mengarah ke perbaikan fasilitas umum atau fasilitas hidup rakyat. Menteri Haryanto kebetulan siang itu membesuk keluarga korban musibah di Depok. Delegasi pengunjuk rasa ditemui oleh Inspektur Jenderal Muslim Massewa. Tapi, seperti biasa, pertemuan itu bubar tanpa titik temu. Dan tuntutan agar menteri mundur? Tampaknya, itu belum menjadi tradisi di sini. ATG, Nunik Iswardhani, Joewarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini