SEORANG gadis SMA dari Cilacap mengeluh kepada Ali Sadikin. Ia takut tak mendapat pekerjaan atau suami gara-gara masalah ''bersih lingkungan'', orang tuanya tercatat sebagai tahanan politik. ''Bagaimana saya bisa menemukan calon suami?'' kata Ali Sadikin menceritakan isi surat gadis berusia 16 tahun yang ditujukan kepadanya, yang kemudian diteruskannya ke Presiden Soeharto. Ini diungkap Ali Sadikin, Ketua Pokja Petisi 50, pada acara syukuran atas pembebasan para narapidana politik kasus Tanjungpriok dan pengeboman BCA di rumahnya, Kamis pekan lalu. Dalam kesempatan itu, Ali Sadikin mengajak semua pihak merenungkan betapa berat penderitaan keluarga dan keturunan narapidana dan tahanan politik. ''Jangan sampai mereka menjadi warga negara yang dibekali dendam dan keputusasaan,'' katanya. Untuk itu, ia mengimbau agar ketentuan pencantuman tanda ET (eks tahanan politik) atau OT (organisasi terlarang) pada kartu tanda penduduk (KTP) dicabut. Hadir dalam acara reuni dan syukuran itu para bekas tahanan politik kasus Tanjungpriok dan pengeboman BCA seperti Mawardi Noor, Rachmat Basoeki, Tashrif Tuasikal, Tonny Ardie, A.M. Fatwa, H.R. Dharsono. Juga A.H. Nasution, pengacara Adnan Buyung Nasution, H.M. Dault, dan para tokoh Petisi 50 sendiri. Pernyataan itu tentu bukan cuma untuk mereka yang hadir, tapi juga mantan tahanan politik yang terlibat G30S-PKI dan keluarganya. Mereka, katanya, umumnya sulit mendapat pekerjaan karena cap itu. Pekan sebelumnya, YLBHI juga menyelenggarakan seminar soal ''narapidana dan tahanan politik dari perspektif konstitusi''. Salah satu kesimpulan, ada imbauan agar tanda ET pada KTP dihapus. Diperkirakan, masih ada 1,4 juta lebih eks tapol G30S-PKI yang dipantau Pemerintah. Dalam catatan Departemen Dalam Negeri tahun 1990, yang masuk golongan A (terlibat dan pernah diadili) 426 orang, golongan B (terlibat tapi tak pernah diadili) 34.500 orang, dan 1,3 juta lebih masuk golongan C (ikut-ikutan). Sejak pembebasan pertengahan tahun 1970-an, pengawasan masih saja ketat. Tahun 1975, misalnya, sekitar 500 ribu golongan C masih diwajibkan lapor. Dan sejak 1981, berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri, KTP mereka ditandai dengan ET. Dan pada tahun 1990, yang belum boleh ikut pemilu masih 41 ribu orang. Ketentuan yang diberlakukan adalah ''bersih diri'' untuk yang bersangkutan, ''bersih lingkungan'' dan ''keterpengaruhan'' untuk keluarga mereka. Sebagai contoh, Suradi, bekas pegawai Departemen Tenaga Kerja di Semarang. Ia menggugat Lurah Jangli, Yusuf Soejitno, ke PTUN karena menandai ET pada KTP-nya. Gara- gara tanda itu, anak Suradi tak bisa masuk polisi. Ia gagal di pengadilan karena, menurut hakim Siti Djuariah yang menyidangkan, yang berhak menyatakannya terlibat organisasi terlarang atau tidak hanya Bakorstanas (TEMPO, 24 April 1993). Dan menurut sumber TEMPO di Mabes ABRI, ketentuan ET itu masih dipertahankan, mengingat ketetapan mengenai larangan bagi penyebaran komunisme, Leninisme, dan sebagainya masih menjadi acuan. Juga ketentuan yang berkaitan dengan PKI sebagai organisasi terlarang. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung sendiri, dalam beberapa kesempatan, juga menegaskan bahwa ideologi terlarang itu masih tetap menjadi ancaman yang harus diwaspadai. Agus Basri, Wahyu Muryadi, dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini