PEMILU 1992 bak kenduri besar bagi Partai Demokrasi Indonesia. Sebagai partai gurem yang hanya punya 40 kursi di DPR, dalam Pemilu kali ini PDI bisa menyabet 56 kursi, bertaut sedikit dari PPP yang punya 62 kursi. Hasil pemilu seperti ini tentu mengundang rasa keingintahuan para pemerhati politik. Sebut saja CSIS, Kamis pekan lalu, membeber diskusi tentang "Membaca Pemilihan Umum 1992". Dari pembicara macam Harry Tjan Silalahi, Amir Santosa, Riswandha Imawan, dan tiga wakil peserta pemilu, berkembang diskusi soal muntahan suara Golkar, yang kehilangan 17 kursi (tinggal 282 kursi), ditampung PDI dan PPP. Memang perubahan imbangan suara itu belum berarti banyak dalam konstelasi politik Indonesia, karena Golkar masih mayoritas mutlak. Toh pergeseran suara di perkotaan maupun di pedesaan menjadi menarik, karena gejala massa mengapung (floating mass) semakin tampak. Menurut Riswandha, orang desa mulai sadar akan hak-hak politiknya. Pola hubungan patronclient, misalnya antara kiai dan santrinya, mulai melemah seiring dengan menguatnya anggapan bahwa masalah politik adalah urusan duniawi. "Orang desa mulai sulit dimobilisir untuk mendukung OPP tertentu," kata Riswandha. Sementara itu, di perkotaan terutama di Jawa, mulai tumbuh kelas menengah baru, sebagai hasil kemajuan pembangunan ekonomi. Golongan ini berciri mandiri dalam menetapkan pilihan politiknya. "Ketika melihat kebijakan pemerintah kurang adil, terutama buat mereka sendiri, mereka mengalihkan pilihannya ke partai lain," kata Amir Santosa. Meskipun Amir memperkirakan kelas menengah baru ini cuma ada sekitar sejuta orang, tapi penting peranannya karena mampu menjadi kelompok penekan (pressure group). Ini bisa dilihat dalam kalangan bisnis dan cendekiawan di Jakarta. "Jatuh bangunnya kelas menengah di Jakarta tergantung kedekatan mereka pada birokrasi. Yang di daerah lebih mandiri," ujar Amir. Ini satu faktor yang menjelaskan kenapa di Jakarta justru konstituen Golkar meningkat. "Mereka memilih Golkar dengan alasan logis: hanya Golkar yang mampu menjamin kelangsungan posisi dan bisnis mereka," lanjut Amir. Selain faktor makro, peralihan suara bisa diamati karena sebab-sebab mikro yang langsung berdampak di daerah-daerah. Misalnya, soal jatuhnya PPP di Sumatera, antara lain disebabkan kurang dekatnya pemimpin partai dengan massa. Atau, soal turunnya suara Golkar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, karena merebaknya isu penggusuran, berbaliknya dukungan para pensiunan lurah, dan sebagainya. Yang tak dapat dielakkan adalah sikap ABRI yang netral. Lima tahun lalu, orang masih ragu kenetralan ABRI, tapi kini orang mulai yakin. Maka, "Terjadilah geliatangeliatan politik, melalui kampanye lebih berani, protes terhadap kejujuran proses pemungutan suara, dan protes terhadap proses perhitungan suara," kata Amir. Sayang, para pengamat itu tak mempersoalkan bahwa langkah ABRI perlu diikuti birokrasi. Seperti diulas pengamat politik Indonesia Profesor Benedict Anderson, mahaguru dari Universitas Cornell, AS, yang sehari sebelumnya mengadakan diskusi pemilu Indonesia, Muangthai, dan Filipina di Universitas Melbourne. "Pemilu kali ini masih banyak disetir," katanya. Ini, katanya, beda dengan Pemilu 1955. Waktu itu pemerintah belum punya dana melimpah seperti sekarang sehingga harus puas dengan apa adanya," ujar Anderson kepada Dewi Anggraini dari TEMPO. Ardian Taufik Gesuri dan Dwi Setyo Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini