USUL agar jumlah anggota DPR yang diangkat dikurangi bergema dari gedung DPR. Tepatnya dari Komisi II ketika mengadakan dengar pendapat dengan tiga pakar Rabu pekan lalu. Ahli politik Miriam Budiardjo, Arbi Sanit, dan pakar hukum tata negara Sri Sumantri mengusulkan agar jumlah anggota FABRI yang diangkat itu dikurangi. Menurut Miriam Budiardjo dari FISIP UI, anggota DPR yang diangkat sebanyak 20% itu sangat besar dan tak proporsional. Karena, katanya, untuk 400 anggota DPR yang dipilih mesti melalui pesta demokrasi yang melibatkan banyak massa dan biaya. "Kok, yang 100 anggota diangkat begitu saja," katanya kepada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Karena itu, untuk meningkatkan kehidupan demokrasi harus dibuat perimbangan yang proporsional. Pakar politik UI lainnya Arbi Sanit menambahkan semakinsedikit anggota parlemen yang diangkat, akan semakin baik kehidupan demokrasi. Para pakar itu menyadari bahwa pengangkatan anggota DPR merupakan konsensus nasional tahun 1969, antara Presiden Soeharto dan sembilan pimpinan partaipolitik dan Sekber Golkar. Isinya: ABRI tak ikut dalam pemilu, tapi diberi jatah 100 kursi di parlemen. Jatah tersebut digunakan mengamankan ideologi Pancasila. Miriam mengakui bahwa ancaman perubahan ideologi yang ditakutkan itu masih tetap ada, meski Pancasila sudah diterima sebagai asas tunggal. "Tapi, kemungkinan itu tipis sekali karena stabilitas politik kini jauh lebih baik," ujarnya. Namun, dalam wawancara dengan TEMPO kemudian, ia juga mengakui bahwa peran ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator di DPR tetap dibutuhkan. Ia mengambil contoh soal keterbukaan yang digulirkan oleh Samsudin, Rukmini, Syaiful Sulun, atau anggota lain yang vokal, kini dampaknya amat terasa. Keberanian suara FABRI lebih berani untuk "berdemokrasi" juga terlihat pada proses pencalonan wakil presiden pada SU MPR 1988 dan pembahasan RUU Keprajuritan. Bagi ABRI sendiri, soal jumlah tampaknya tak terlalu menjadi masalah. "Yang penting keikutsertaannya dalam menjelmakan hak kehidupan rakyat," kata Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letnan Jenderal Harsudiono Hartas. Namun, ia menolak pendapat bahwa makin banyaknya anggota yang diangkat berarti kurang demokratis. Memang anggota ABRI dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya. Tanpa wakilnya di DPR yang diangkat, ABRI bisa saja ikut pemilu atau mendukung secara terbuka salah satu OPP yang mungkin justru bisa "mengganggu" demokratisasi. Ketiga OPP pun ternyata masih menghendaki kehadiran FABRI yang diangkat itu. Ini dikemukakan Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, Ketua PPP Ismail Hasan Metareum, dan Sekjen PDI Nico Daryanto. Artinya, tak perlu ada konsensus baru. Masalah ini sebenarnya pernah pula dijawab Presiden Soeharto Februari lalu. Saat itu, ada usul dari bekas Gubernur Lemhanas Letjen. (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo agar kini tak perlu lagi ada anggota ABRI yang ditiadakan hak dan kewajibannya untuk memilih dan dipilih. "Terserah pada wakil rakyat di MPR. Mungkin mau diadakan perubahan, kenapa tidak mungkin ?" kata Pak Harto. Namun, diingatkannya pula bahwa tak mungkin dihilangkan fungsi sosial politik ABRI lewat keanggotaan di DPR. Sebab, ABRI perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan nasional. Diah Purnomowati, Bambang Sujatmoko, dan Wahyu Muryadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini