Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Linggis ke kepala kiai Ali

Bekas rais aam nu, k.h. ali mashum diserang ahmad sudirman dengan linggis di rembang. ia cedera dan warga nu gempar. sebelumnya ia memberikan ceramah pengajian dihadiri 10.000 orang. (nas)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURATAN takdir tak bisa ditolak. Dan Kiai Haji Ali Mashum, 70, Rais Am (Syuriah) NU periode 1981 1984, pun tak berdaya menolak bala. Ia harus dirawat di rumah sakit, karena cedera gara-gara diserang seorang pemuda kalap, bersenjata linggis, selesai memberikan ceramah. Insiden yang agaknya baru pertama kali buat keluarga NU itu terjadi dua pekan lalu di sebuah pesantren di Rembang, Jawa Tengah. Korban pemukulan itu bukan orang sembarangan: salah seorang ulama terkemuka di NU, pemimpin Pondok Pesantren Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Kiai Ali, begitu orang tua itu biasa dipanggil, Jumat malam lalu memang berada di Desa Leteh, Kecamatan Rembang, Jawa Tengah. Didampingi sejumlah murid, Pak Kiai datang ke desa itu untuk memberikan ceramah dalam pengajian akbar memperingati hari wafatnya (khol) Kiai Haji Bisri Mustafa Komar, salah seorang pendiri NU, dan juga bekas pemimpin Pondok Pesantren Rodhatul Tholibin di desa itu. Pengajian yang dihadiri sekitar 10.000 orang itu baru saja selesai. Bersama sekitar 20 orang kiai dan santri, Kiai Ali tengah beristirahat di rumah Kiai Cholil Bisri, 44, pemimpin Pondok Pesantren Rodhatul Tholibin. Tak berapa lama, Kiai pamit. Ia, didampingi dua santrinya, Faholi dan Nafiah, sudah sampai di halaman luar Pesantren Rodhatul Tholibin ketika serangan itu terjadi. Seorang pemuda yang belakangan diketahui bernama Ahmad Sudirman, 24, muncul dari belakang rumah. Di tangannya ada sebatang linggis, panjang 2 meter dan diameter 3 cm. Dan dengan besi itu Ahmad, mengamuk menyerang Kiai Ali. Pukulan pertama dari arah belakang orang tua itu tepat mengenai kepala. Darah mengucur deras, dan Pak Kiai terhuyung-huyung ketika penyerang kalap tadi melancarkan pukulan kedua ke arah muka korbannya. Pukulan ini mengenai kening di samping atas di bagian atas alis mata kiri. Orang pun menjerit. Mereka hampir saja menghajar Ahmad Sudirman habis-habisan, jika tak segera dicegah oleh Kiai Cholil Bisri, pimpinan Pondok Pesantren Tholibin. Jerit lemas terdengar riuh dan beberapa santri malah sempat pingsan menahan emosi. Pelaku pemukulan itu diringkus ramai-ramai. Lalu diamankan dengan mobil Colt meninggalkan perguruan Tholibin. Keluarga korban dan banyak warga NU, terutama santri Pondok Pesantren Al Munawir, berdatangan ketika berita itu tersebar luas. Menurut Atabik Ali, putra Kiai Ali keadaan ayahnya tak begitu mengkhawatirkan. Dan Senin pekan ini sudah diboyong ke RSUP Yogyakarta. Kiai ini malam kejadian itu memang serius berceramah di -- acara pengajian itu. Topik yang dibahasnya soal hubungan antara umaro dan ulama. Tak begitu jelas mengapa dia diserang Ahmad Sudirman begitu usai memberikan ceramah. Yang jelas, pelaku penganiayaan ini, pemuda asal Desa Sodetan, Lasem, Jawa Tengah, sekampung dengan Kiai Ali. Ia pernah kuliah di Fisipol UGM, 1983, tapi kemudian putus kuliah sampai tahun ketiga. Bujangan ini kemudian menjadi santri. Menurut Kiai Cholil, Ahmad Sudirman, seorang anak muda yang tampaknya punya cita-cita tinggi dan kemauan keras untuk jadi orang. Namun, ekonomi keluarganya tak mencukupi. "Karena itu, dia mengidap depresi, dan membuatnya kena gangguan kejiwaan. Ia pernah membakar rumah sendiri ketika gangguan itu kumat," tutur Kiai Cholil. Yang pernah tercatat anak muda ini, selepas keluar dari UGM, memang masuk jadi santri di Pondok Pesantren Al Munawir. Disini ia sempat belajar selama tiga bulan. "Tabiatnya selama jadi santri memang agak aneh," tutur Wandy, keponakan Kiai Ali. Misalnya suka menyendiri. Anak ini memang kurang suka bergaul. Dan kaaupun sedang kumpul dengan teman-temannya, cerita Wandy lagi, tak begitu suka terlibat dalam pembicaraan soal agama. Dia lebih suka berbicara mengenai masalah sosial yang menyrempet soal-soal politik, misalnya pemerintahan dan kekuasaan umat Islam di pelbagai negara. Atau terkadang bicara soal yang tak tentu ujung pangkalnya. "Kawan-kawannya di sini malah sering menyebut dia sinting," ujar Wandy lagi. Tak ada latar belakang lain atas penyerangan Kiai Ali? "Kami belum tahu, karena pemeriksaan masih berlangsung," kata Letkol Ady Suryadi, Dandim Rembang. Untuk sementara, kasus ini dianggapnya kriminalitas murni. Ahmad Sudirman sendiri sudah mengakui terus terang tindakannya. Tapi, katanya kepada pemeriksa, ia dalam keadaan tak sadar ketika melakukan pemukulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus