Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK telah mengumumkan putusan dengan menolak permohonan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta pasangan calon nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud Md.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan MK ini disampaikan oleh Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan dalam sidang sengketa Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada hari Senin, 22 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sidang penutup tersebut, MK memutuskan bahwa dalil tentang intervensi presiden dalam pencalonan Gibran tidak memiliki dasar hukum yang kuat. MK menilai bahwa perubahan dalam syarat calon yang diatur oleh KPU sesuai dengan keputusan MK Nomor 90. Selanjutnya, MK menyatakan bahwa dukungan Jokowi terhadap Prabowo-Gibran tidak melanggar hukum, namun, dapat menjadi permasalahan etika.
Menyikapi keputusan tersebut, Efatha Filomeno Borromeu Duarte, pakar politik dari Universitas Udayana (Unud), mengirim pesan tertulis kepada Tempo.co pada Senin, 22 April 2024, mengungkapkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan ini, MK mempertimbangkan beberapa aspek penting yang menjadi dasar penilaiannya.
Sebelumnya, Efatha telah membuat perkiraan terhadap lima kemungkinan putusan dalam sengketa PHPU atau sengketa Pilpres 2024 yang akan diumumkan. MK telah menyelesaikan sidang pemeriksaan dalam PHPU pada 5 April 2024. Sidang penutup PHPU melibatkan pemanggilan Kabinet Presiden Jokowi dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kemungkinana tersebut yang pertama pengesahan hasil pemilu jika bukti kecurangan tidak cukup substantif. Kedua, pembatalan hasil pemilu bberdasarkan bukti kuat atas pelanggaran yang luas pada Pemilu 2024. Ketiga, MK mungkin akan melakukan perintah investigasi lebih lanjut jika ada indikasi kuat namun belum ada cukup bukti konkret.
Keempat, diadakannya penyelenggaraan pemilu ulang di wilayah tertentu untuk mendukung prinsip keadilan dan kejujuran lokal tanpa mengganggu stabilitas politik negara secara keseluruhan. Terakhir, Efatha memprediksi kemungkinan penolakan seluruh gugatan jika argumentasi hukum dan bukti yang disampaikan tidak memenuhi standar hukum untuk membatalkan hasil pemilu.
Setelah putusan MK dikeluarkan, Efatha mengamati bahwa MK menerapkan standar evaluasi yang sangat ketat terhadap bukti-bukti yang diajukan. Menurutnya, bukti yang disajikan oleh pihak Anies-Muhaimin kemungkinan tidak memenuhi ambang batas yang diperlukan untuk membuktikan adanya ketidakadilan atau kesalahan prosedural yang signifikan.
“Dari sudut pandang ini, penolakan MK bisa diartikan sebagai bukti dari prosedur hukum yang robust, di mana hanya gugatan yang benar-benar didukung oleh bukti kuat dan relevan yang akan diterima,” ujar Efatha, Senin, 22 April 2024.
Efatha mencermati fokus MK pada aspek legalitas dan ketaatan terhadap regulasi, mengamati bahwa MK telah membuat keputusan yang berani di tengah-tengah konflik nilai etika dan moral yang menjadi dasar atas tuduhan kekacauan dalam pemilu 2024. Ini didasarkan pada interpretasi menyeluruh terhadap undang-undang pemilihan umum yang berlaku.
“Saya melihat MK mengacu pada Iura novit curia, Mahkamah Konstitusi diperlengkapi legitimasi dan pemahaman mendalam tentang undang-undang pemilihan umum yang digunakan untuk menilai keabsahan gugatan yang diajukan. Keputusan penolakan gugatan Ini menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran telah mematuhi semua persyaratan hukum yang ditetapkan, yang pada gilirannya mengukuhkan legitimasi dan keabsahan pencalonan mereka,” kata dia.
Efatha menjelaskan bahwa MK mungkin bermaksud untuk mempercepat proses rekonsiliasi nasional dan menghindari polarisasi yang lebih lanjut, yang akan menguntungkan semua pihak dalam jangka waktu yang lebih panjang.
“Saya membaca bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menolak gugatan hasil Pilpres 2024 mungkin diarahkan untuk mempercepat rekonsiliasi nasional dan menghindari polarisasi lebih lanjut yang bisa memecah belah masyarakat,” ujarnya.
SUKMA KANTHI NURANI I SAPTO YUNUS | NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI