Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah melantik dua pendengung menjadi pejabat, salah satunya staf khusus di Kementerian Komunikasi dan Digital.
Pendengung disebut menjadi alat ampuh bagi elite politik dan ekonomi untuk mempertahankan kepentingannya.
Penggunaan pendengung dapat membahayakan demokrasi dan merugikan pers.
UPAYA pemerintah memoles citra menggunakan jasa buzzer atau pendengung berlanjut di pemerintahan Prabowo Subianto. Bukan serta-merta sebagai bentuk bagi-bagi kue kekuasaan, pendengung yang memiliki jumlah pengikut banyak di media sosial dianggap mampu menggiring opini, bahkan membiaskan fakta yang sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pendengung yang berkomunikasi dengan Tempo menjelaskan, jasa pendengung diperlukan oleh pemerintah untuk membuat narasi tandingan, khususnya mengenai isu negatif yang mengarah pada pemerintah. “Pemerintah sengaja memelihara para pendengung demi menjaga citra,” ujarnya, Senin 20 Januari 2025. “Terutama pada awal dan akhir periode pemerintahan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum lama ini, sosok pendengung menjadi sorotan setelah Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid melantik Rudi Sutanto alias Rudi Valinka sebagai Staf Khusus Menteri Bidang Strategis Komunikasi pada Senin, 13 Januari 2025. Rudi—pemilik akun media sosial X dengan nama pengguna @Kurawa—dikenal sebagai salah satu buzzer atau pendengung di era pemerintahan Jokowi. Pendengung tadi menyebutkan nama Rudi diusulkan menjadi staf khusus di kementerian oleh seseorang yang berada di lingkungan Istana.
Tangkapan layar ketika Rudi Sutanto alias Rudi Valinka mengikuti upacara pelantikan Staf Khusus Menteri Komdigi di Jakarta, 13 Januari 2025. TEMPO/Jati Mahatmaji
Denny Siregar, salah satu pendengung pada masa pemerintahan Jokowi, heran atas penunjukan Rudi. Ia tidak menyangka Rudi bakal ditunjuk menjadi pejabat di kementerian pada era Presiden Prabowo Subianto. Saat Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin dan bersaing melawan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno dalam pemilihan presiden 2019, Rudi beberapa kali mencuit kalimat bernada negatif di akun media sosialnya untuk menyerang Prabowo.
Bukan hanya figur Rudi Sutanto, Denny juga heran atas keputusan pemerintah melantik Kristia Budiyarto alias Dede Budhyarto. Menurut dia, pendengung pada masa pemerintahan Jokowi sekaligus pemilik akun X, @kangdede78, ini ditunjuk sebagai Komisaris PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Penunjukannya sebagai komisaris tertuang dalam Surat Keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara Nomor SK-354/MBU/11/2020.
Pada situs web PT Pelni, Dede tercatat sebagai lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Namun Direktur Kemahasiswaan dan Penyiapan Karier Universitas Hasanuddin Abdullah Sanusi mengatakan nama Kristia Budiyarto tidak tercatat dalam data alumni. Apalagi di Universitas Hasanuddin tidak ada Fakultas Ilmu Komunikasi. “Hanya ada Program Studi Ilmu Komunikasi di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,” kata Abdullah.
Tempo memperoleh data berkas riwayat hidup atau curriculum vitae (CV) Rudi Sutanto. Isinya tak mencerminkan Rudi sebagai ahli di bidang strategi komunikasi. Latar belakang pendidikannya, Rudi menyelesaikan studi sarjana S-1 akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STEI) Jakarta pada 1998. Latar belakang pengalaman kerja, Rudi berkiprah di beberapa perusahaan bidang perkebunan dan pengelolaan serta kegiatan operasional pelabuhan.
Rudi melanjutkan pendidikan program S-2 ilmu komunikasi di Institut Komunikasi dan Bisnis London School of Public Relations (LSPR) pada 2024. LSPR membenarkan Rudi merupakan mahasiswa di institusi tersebut dan baru menjalani kuliah semester pertama.
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menyampaikan sambutan saat pelantikan pejabat Kementerian Komdigi di kantor Kementerian Komunikasi dan Digital, Jakarta, 13 Januari 2025. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan penunjukan Rudi didasarkan pada keahlian figur, bahkan Kementerian Komdigi telah memeriksa CV Rudi. “Expertise di bidang komunikasi,” tutur Meutya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan tidak mengetahui rekam jejak Rudi sebagai pendengung. Meutya mengatakan tidak terlalu aktif menggunakan media sosial, terutama X yang menjadi medium bagi Rudi dalam menyampaikan pendapatnya. “Rudi Sutanto yang saya kenal, ya, Rudi Sutanto. Saya tidak mau berspekulasi mengenai siapa Rudi Sutanto,” ucap mantan Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pertahanan itu.
Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria menambahkan Rudi akan memimpin pegawai Kementerian Komdigi untuk mengelola media sosial. “Keterampilan untuk berkomunikasi di media sosial butuh tenaga yang cakap. Salah satunya Rudi Sutanto,” ujar Nezar.
Tempo belum mendapat konfirmasi dan tanggapan dari Istana Kepresidenan. Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi belum menjawab pesan permintaan konfirmasi yang dikirim Tempo melakui aplikasi perpesanan. Pesan pertanyaan ihwal figur di lingkungan Istana yang menjadi pengusul Rudi Sutanto belum direspons.
Begitu pula pesan yang dikirim melalui nomor telepon yang terkoneksi melalui aplikasi perpesanan WhatsApp kepada Kristia Budiyarto. Hingga tadi malam, pesan tersebut hanya menunjukkan notifikasi dua centang abu atau hanya terkirim.
Adapun Rudi Sutanto mulai kembali bercuit. Pada Sabtu, 18 Januari 2025, setelah menuai sorotan dari pelbagai pihak, Rudi melalui akun X, @Kurawa, menyampaikan ucapan terima kasih kepada pelbagai figur yang merundungnya. "Terima kasih atas ucapan dan perundungannya. Sudah selesai belum liputan khusus Stafsus?" kata Rudi. Ia mengklaim akan membuktikan pengabdiannya kepada publik. "Kita buktikan pengabdian buat bangsa semoga menghasilkan sesuatu yang berguna buat warga."
Istilah buzzer sebenarnya sudah akrab di telinga para pengguna media sosial. Istilah ini mengacu pada individu atau sekelompok orang yang diorganisasi untuk menyuarakan isu tertentu dan mempengaruhi opini publik. Istilah buzzer digunakan karena orang-orang yang bekerja dalam peran tersebut bertugas sebagai pendengung (buzzing) suatu isu. Istilah buzzer berasal dari bahasa Inggris, yang berarti lonceng, alarm, atau bel. Sementara itu, Kamus Oxford mendefinisikan kata tersebut sebagai alarm untuk mengumpulkan dan memberikan informasi di media sosial.
Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Centre for Innovation Policy and Governance, buzzer hadir di Indonesia pada 2009 bersamaan dengan diterimanya platform media sosial Twitter—kini X—oleh masyarakat. Senada dengan hal itu, mengacu pada Jurnal.kominfo.go.id, pengertian buzzer adalah seseorang yang mempunyai opini yang didengarkan, dipercaya, dan membuat orang lain bereaksi. Secara sederhana, buzzer merupakan pengguna media sosial yang dapat memberikan pengaruh kepada orang lain hanya melalui komentar atau unggahan.
Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Wijajanto dalam tulisannya di Tempo.co pada 25 November 2024 mengatakan pendengung merupakan alat ampuh bagi elite politik dan ekonomi di Indonesia untuk mempertahankan kepentingannya. Manipulasi opini publik oleh pendengung memungkinkan elite mendorong kebijakan yang dapat menguntungkan mereka, tapi merugikan kepentingan publik.
Penggunaan media sosial yang strategis serta terokestrasi, kata dia, membantu elite makin memperkuat dominasi pendengung. Dalam penelitiannya itu, Wijajanto mengatakan kerja pendengung dilakukan tidak serta-merta probono, tapi memiliki sumber pembiayaan untuk mendukung kegiatan operasional.
Sumber pembiayaan pertama berasal dari pemerintah atau pihak-pihak yang berhubungan dengan pemerintah. Sumber pembiayaan kedua bisa dari politikus yang ingin melambungkan namanya dalam kontestasi. Adapun sumber pembiayaan ketiga berasal dari partai politik yang tengah memiliki kepentingan.
Seorang pendengung sekaligus pendukung pemerintah mengatakan kerja operasional pendengung memang membutuhkan logistik. Pendengung yang menolak disebutkan namanya dalam penulisan ini mengatakan kadang kala lembaga penegak hukum dan militer turut serta membiayai pendengung untuk kepentingannya masing-masing. Dia mencontohkan, membuat narasi kontra saat ada yang berupaya mendiskreditkan lembaga itu. Selain itu, memoles citra lembaga supaya disukai publik.
Pekan lalu, TNI Angkatan Laut juga ditengarai menggelontorkan anggaran Rp 100 miliar untuk menggunakan jasa pendengung guna memoles citra matra tersebut. Hal ini diketahui setelah unggahan tangkapan layar situs web Sirup Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengenai paket pengadaan aplikasi Information Respond System yang mencuat di media sosial. Keterangan tersebut tercantum dalam situs web pengadaan https://sirup.lkpp.go.id/sirup/rekap/penyedia/K28.
Dalam foto tangkapan layar situs web Sirup LKPP yang beredar di media sosial, seperti dilansir dari Antara, dijelaskan nama paket tersebut, yakni pengadaan aplikasi Information Respond System dengan kode RUP-nya 53851132. Paket dengan kode tersebut menjelaskan uraian pekerjaan produk.
Isinya, "Dengan keterbatasan personel dalam proses pemantauan informasi saat ini memungkinkan terjadinya kemunculan dan menyebarnya berita dan komentar dengan sentimen negatif terkait dengan TNI Angkatan Laut maupun kegiatannya di luar pantauan Dispenal, sehingga perlu dilakukan counter opini oleh pihak Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut.”
Pada spesifikasi pekerjaan berisikan: “Penggiringan opini ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan akun sosial media dengan menciptakan fenomena word of mouth atau dari mulut ke mulut di media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secara berulang dengan tujuan untuk menjangkau dan menarik perhatian audiens yang lebih luas. Metode seperti ini juga dikenal dengan sebutan buzzer.”
Adapun Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama I Made Wira Hady Arsanta membantah kabar ihwal penggunaan pendengung oleh institusinya. Ia mengatakan matra laut tidak pernah menyiapkan anggaran bagi pendengung. Anggaran yang akan disiapkan pada sirup LKPP itu akan difungsikan untuk membuat aplikasi pengamanan data di lingkungan TNI Angkatan Laut. “Informasi itu tidak benar,” ujar Wira.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum menyampaikan catatan kritis atas RUU Polri di Gedung YLBHI, Jakarta, 2 Juni 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menanggapi fenomena penggunaan pendengung, Direktur Southeast Asia Freedom of Expression Network Nenden Sekar Arum mengatakan khawatir akan penggunaan pendengung oleh pemerintah. Menurut dia, penggunaan pendengung dapat membahayakan demokrasi. Sebab, hal yang mereka sampaikan bisa jadi merupakan manipulasi kebenaran yang mengakibatkan publik tidak dapat menangkap informasi dengan benar. Dalam jangka panjang, kata Nenden, dampak ini juga akan merugikan pers. “Fakta yang diungkapkan kawan-kawan pers bisa dibiaskan karena narasi pendengung ini,” tutur Nenden saat dihubungi pada Senin, 20 Januari 2025.
Dihubungi terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan hal senada dengan Nenden. Menurut Isnur, penggunaan pendengung oleh pemerintah berdampak amat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan kemerdekaan berpendapat. Alasannya, pendengung dapat memanipulasi suatu kebenaran untuk membuat citra pemerintah tetap baik di tengah menjamurnya tingkah laku yang negatif. “Apalagi tingkat literasi digital masyarakat kita juga masih rendah sehingga tidak sulit untuk pengengung menggiring opini,” kata Isnur. ●
Eka Yudha Saputra dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo