Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyi 'Omelette' di Pelat Besi

I Wayan Sadra mementaskan Daily, karya lamanya yang pernah mendapat penghargaan di Amerika.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bau telur dadar merebak ke seluruh ruang Gedung Kesenian Jakarta. Di panggung, Wayan Sadra duduk tenang di sebuah kursi, menghadap papan pelat besi seukuran 2,5 x 3,5 m. Pelat mengepul karena panas, dua tabung elpiji tampak memasok gas.

Krak…krak, Sadra melempar telur. Ada sekardus telur di sampingnya. Tiap-tiap telur menghantam pelat mendidih menimbulkan bunyi keras. Dan ketika pecahannya meleleh, terdengar letupan kresek..kresek…. "Scrambled egg", "omelette", atau telur urak-arik di besi hitam itu membentuk barik-barik abstrak kuning dan putih. Suka tidak suka, inilah gagasan radikal Sadra. Melibatkan unsur visual dan bau dalam musik. "Konsep saya, seluruh indra harus bereaksi, bukan hanya indra pendengaran tapi juga indra penglihatan dan penciuman," tuturnya.

Seksi musik Art Summit selalu punya kejutan. Orang mungkin ingat penampilan Alvin Lucier, komponis Amerika, pada Art Summit 1998. Seperti seorang fisikawan, ia melakukan eksperimen akustik. Karyanya, Music for Solo Performer, melibatkan Prof. Sumarsam—kini Dekan Departemen Musik Universitas Wesleyan, Amerika Serikat. Lucier memasang EEG (electro encephalo graphic), sebuah alat yang biasa dipakai mengetes mekanisme otak, pada dahi Sumarsam, kemudian alat itu disambungkan ke penabuh-penabuh kecil di gamelan. Sumarsam bermeditasi dan, ajaib, gelombang tenang pikirannya bisa membunyikan instrumen gamelan. Tampak ekstremitas Lucier bukan keaneh-anehan belaka, tapi memiliki dasar epistemologi yang kuat.

Karya Wayan Sadra tidak berpretensi demikian, meski karyanya ini pernah mendapat anugerah New Horizon Award dari International Society for the Arts, Science and Technology (Leonardo Award Program)—lembaga di Berkeley, California, yang sejak tahun 1982 memberi penghargaan kepada karya-karya yang melakukan inovasi seni bertolak dari eksperimen teknologi. Mereka terkesan menyaksikan penampilan Sadra dalam forum Composer Meet Composer di Colorado, 1990. "Saya main di depan John Cage dan Mychael Nyman," tutur Sadra mengenang.

Sumber inspirasi Sadra kali ini adat kemanten Jawa. Dalam perkawinan Jawa, setelah saling melakukan lempar sirih, si pengantin pria akan melepas selopnya untuk menginjak telur (sebagai lambang wiji dadi—benih) dan kemudian dibasuh kakinya oleh pengantin putri. "Biasanya orang yang menginjak tidak mendengar bunyi tapi merasakan getaran," kata Sadra, yang beristrikan orang Jawa. Justru itulah nilai lebih Sadra. Ia bisa menarik hal-hal "feodal" sekalipun ke hal tak terduga. Kita seperti diingatkan bahwa tradisi sehari-hari merupakan bahan dasar yang masih amat terbuka untuk musik kontemporer.

Tapi, sesungguhnya pertunjukan malam itu bisa lebih sempurna. Sadra sendiri mengakui efek bunyi lempar telur itu tak sedahsyat ketika di Amerika. "Di Amerika, jauh lebih 'surprise' karena bunyi pecahannya menimbulkan echo," ujarnya. Itu karena penata suaranya mengolah dengan komputer. Sedangkan di Jakarta kemarin hanya digunakan mixer yang menimbulkan efek pengerasan suara. Kekuatan tingkat panas pelat besi juga lain. "Di sini, kalau besi terlalu panas, speaker (yang ditempelkan di pelat besi) bisa pecah," ia menambahkan. Agaknya, itulah persoalan kita. Pertunjukan tak bisa maksimal hanya karena kendala teknis yang sebetulnya bisa diatasi.

Karya Sadra ini diawali dengan musik gergaji besi. Tiga gergaji besi yang biasa dipakai di desa-desa untuk memotong balok kayu besar diboyong ke atas panggung. Beberapa musisinya lalu mengkili-kili sisi-sisinya dengan penggesek rebab. Namun, ini hanya appetizer. Sama dengan Otot Kawat Balung Besi, karyanya yang bereksperimen dengan gong. Sudah terlalu sering, dan basi, tanpa komposisi yang utuh.

Adalah aneh bahwa Sadra merasa gong di Jawa masih dimaknakan sakral hanya lantaran di keraton masih banyak gong bernama kiai ini-itu. Dari situ, ia melakukan "perlawanan"—gong tidak diperlakukan semestinya, tapi ditangkupkan, dipukul dengan bogem, diseret ke sana-sini, seolah-olah Sadra ingin membongkar mistifikasi. Padahal siapa pun tahu, gong bagi kebanyakan publik sudah tak lagi kudus. Karya Sadra terasa anakronistik.

Berbeda dengan omelette itu. Begitu pertunjukan selesai, seorang penonton langsung berseloroh: "Lapar nih…."

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus