Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Doktor Bom dari Bilik-Bilik Gelap

Polisi menelusuri jejak Dr. Azahari dan Noordin M. Top dari tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Menguasai setengah ton bahan peledak, mereka mungkin beraksi lagi 8-12 bulan ke depan.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA hari setelah bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, perwira polisi itu masih terus mengaduk-aduk kubangan bekas ledakan. Setiap sudut, jengkal demi jengkal, dicermati dengan detail. Serakan puing aneka benda masih bercampur aduk dengan ceceran daging manusia. Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, akhirnya jejak penting itu ditemukan juga, Ahad dua pekan lalu. Satu "tanda tangan" khusus dari sang peracik bom: sekeping pecahan baterai 9 volt.

"Kita menduga kuat ini adalah karya Azahari," ujar perwira polisi itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Pecahan bangkai baterai bermerek Supercell itu rupanya membuat polisi yakin bom itu buatan Azahari bin Husin, yang dibantu Noordin M. Top, dua buron kakap bom Bali. Si polisi ternyata telah menelisik pola kerja para bomber itu sejak aksi mereka di Bali dan Hotel JW Marriott setahun lalu. "Kelompok Azahari suka menggunakan switching baterai sebesar kotak korek api," ujar perwira ahli bom dari Mabes Polri yang menolak disebut namanya itu.

Sampai pekan ini, polisi masih gencar memburu dua warga Malaysia itu. Seluruh Pulau Jawa diaduk-aduk dari barat sampai ke timur. Foto mereka disebar ke pelosok desa. Sayembara bagi warga pun dibuka. Bagi penunjuk batang hidung kelompok itu, polisi menawarkan hadiah Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Selain memburu Azahari dan Noordin, Mabes Polri juga mencari delapan orang lainnya. Mereka adalah Hasan, Abu Dujana, Dul Matin, Rois, Dzulkarnaen, Zuhroni alias Oni alias Nuaim, Ibrahim Nurdin, dan Umar alias Patek alias Zaki. Semuanya memang "pemain" lama alias masuk daftar buron bom Bali.

Sampai Sabtu lalu, Azahari dan Noordin masih berkeliaran bebas. Cuma, ada berita bagus disampaikan Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar. Polisi, kata Da'i, sudah menemukan jejak pelarian dua sekawan pengebom itu, termasuk dugaan dua lokasi di mana mereka berada sekarang. Dua tempat itu—disebut-sebut berkaitan dengan Cengkareng—titik singgah terakhir Azahari dan sohibnya.

Polisi, menurut Da'i, juga menangkap sejumlah orang yang turut bersama Azahari sebelum bom meledak di Kuningan. Tak banyak yang diucapkan Da'i ihwal penangkapan Jumat lalu itu. "Petugas kami sedang bergerak," ujarnya. Yang jelas, kata dia, mereka yang ditahan mengaku pernah membawa bahan peledak untuk menghajar Kedutaan Besar Australia. Mereka juga mengaku tinggal bersama Azahari sebelum bom Kuningan meletup.

Peran Azahari selaku "empu bom" mulai terkuak setelah bom Bali, Oktober dua tahun silam. Lelaki berumur 47 tahun itu menggondol gelar doktor statistik dari Universitas Reading, Inggris, pada 1990. Dia pernah mengajar di Universitas Teknologi Malaysia (UTM), sebelum terjun ke medan jihad di Afganistan. Sepulang dari Afganistan, dia menjadi pengurus di Pesantren Lukmanul Hakiem di Ulu Tiram, Johor Bahru.

Menurut sumber dekat Jamaah Islamiyah (JI), yang minta namanya ditulis Abu Azzam, Azahari pernah menggelar kursus bom di rumahnya di kawasan Taman Universiti, UTM, Malaysia, empat tahun silam. Kursus itu diberikan kepada Jamaah Islamiyah Singapura dan Malaysia. Fathur Rohman al-Ghozi (kampiun aksi bom JI yang tahun lalu ditembak mati tentara Filipina) menjadi pelatihnya. Azahari bertindak sebagai asisten Al-Ghozi. Sejak itu, petualangannya dengan bahan peledak pencabut nyawa itu kian dalam.

Mereka, misalnya, pernah memutuskan beraksi di Singapura. Tapi rencana itu gagal karena bocor ke aparat. Sejumlah anggota JI Singapura dan Malaysia tertangkap. Tapi Azahari dan sejumlah kawannya selamat. Mereka pun kabur ke Thailand. Di Bangkok, Februari 2002 lalu, satu pertemuan penting sempat digelar. Hadir di sana Hambali, Muchlas, Wan Min bin Wan Mat, Azahari, Noordin M. Top, dan Zulkifli Marzuki. "Salah satu keputusan, jihad melawan Amerika Serikat dan sekutunya terus berlanjut," ujar sumber tadi.

Dalam pertemuan itu, meski belum ada target jelas, mereka mengincar kantor kedutaan serta bangunan simbol kepentingan ekonomi dan militer Amerika Serikat dan sekutunya, yang disebutnya sebagai "musuh Islam". "Targetnya, bisa di Singapura atau Indonesia," ujar sumber itu. Tapi penangkapan gencar di Singapura membuat Azahari sulit bergerak.

Azahari dan Noordin pun bergerak ke Indonesia. Pada September 2002 mereka singgah di Lamongan, Jawa Timur. Kepada Muchlas, salah satu pelaku bom Bali, mereka melaporkan operasi Singapura yang gagal. Oleh Muchlas, Azahari akhirnya "dipinjam" untuk aksi bom Bali. "Dia disuruh membantu Dulmatin merakit bom," ujar Abu Azzam.

Pengakuan salah satu terpidana bom Bali, Ali Imron, di persidangan juga cocok dengan keterangan sumber tadi. Menurut Ali Imron, lima hari sebelum bom meledak di Kuta pada 12 Oktober 2002, Azahari alias Alan datang bersama Dulmatin ke rumah Amrozi di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Dari sana mereka bertiga menuju ke Bali.

Di Pulau Dewata itu Azahari meracik ramuan bom dari bahan-bahan yang dibeli Amrozi. Pada suatu sore, dua hari menjelang aksi, Azahari dan Dulmatin meninggalkan rumah kontrakan mereka setelah mengajari Ali Imron cara memicu bom yang telah dipasang pada rompi dan mobil Mitsubishi L-300. Lalu, selanjutnya petaka ledakan menghajar Kuta. Azahari pun menghilang.

Namanya muncul lagi setahun kemudian, ketika bom melalap Hotel JW Marriott. Dalam pelarian, Azahari dan Noordin rupanya terus berkoordinasi. Sejak awal tahun sampai April 2003, misalnya, Azahari bersama Idris alias Gembrot diketahui bersembunyi di lingkungan kampus Universitas Bengkulu. Mereka sempat membantu usaha fotokopi milik Asmar Latin Sani. Asmar belakangan diketahui tewas dalam aksi bom bunuh diri di Marriott.

Pengakuan Ismail, salah seorang pelaku bom Marriott, juga menarik disimak. Dia baru saja divonis 12 tahun penjara, Jumat silam. Kepada Tempo, Ismail mengaku bertemu Azahari dan Noordin di Bandar Lampung. Mereka bertiga berangkat ke Jakarta, kemudian merakit bom di satu kontrakan di daerah Pasar Minggu. Ismail mengaku ikut membantu Azahari merakit bom. Bahan bom sendiri diperoleh di Bandar Lampung, melalui Asmar Latin Sani dan Masrizal. Bahan seberat 120 kilogram ditampung dalam tiga setengah karung plastik dan dibungkus kardus rokok Gudang Garam.

Sebelum beraksi, Azahari rupanya turut memantau sasaran. Menurut Ismail, bersama Azahari, dia melakukan survei ke sasaran peledakan. Di antaranya Citibank, sekolah internasional di Pondok Indah, dan Hotel JW Marriott. Azahari bahkan naik motor mengantar mobil Kijang yang ditunggangi Asmar Latin Sani. Mobil inilah yang meledak di Hotel JW Marriott bersama pengemudinya. Setelah bom mobil meledak, Ismail dan Azahari lari ke Bandung menggunakan motor itu.

Lalu, apakah bom di Kedutaan Besar Australia bagian dari rencana Azahari? "Saya tidak tahu," kata Ismail. Bersama rekannya Tohir, Ismail dibekuk polisi di Cirebon, Oktober tahun lalu. Sejak itu, jejak Azahari pun menghilang. Dari pengakuan Ismail, polisi sempat mengendus tapak Azahari dan Noordin di Bandung. Selama dua bulan di Bandung, mereka menyiapkan empat paket bom siap ledak. Meski polisi berhasil menyita bom itu, kedua buron tersebut lolos juga dari Kota Kembang.

Jelas, melihat caranya bergerak, Azahari dan Noordin cukup lihai. Dia terampil memanfaatkan jalur bawah tanah. Untuk merekrut kader baru, Azahari menelisik jalur keluarga antar-aktivis JI. Dia pernah dilaporkan lari ke Yogyakarta lalu main petak umpet dengan aparat di seputar Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dua bulan lalu, misalnya, polisi sempat mendeteksi kehadiran "Doktor Bom" itu di Jawa Timur. Di sana dia sempat merekrut sejumlah orang. Salah satunya adalah Jabir, keponakan Fathur Rohman al-Ghozi. Polisi menduga pelaku bom bunuh diri di Kuningan, Jakarta Selatan, dilakukan oleh dua anak buah Azahari, yaitu Mohamad Hasan, pemuda Surabaya. Yang lainnya adalah Jabir alias Cabir alias Nanang alias Gempur Budi Angkoro. Bahkan belakangan muncul pula nama Sudadi, warga Kenteng, Kartosuro, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Soal Jabir, misalnya. Kehadiran Azahari tercium polisi karena Jabir pulang ke kampung halamannya di Madiun. Tapi Kepala Intelijen Polwil Madiun, Komisaris Polisi G.W. Thody, enggan buka mulut ihwal Jabir ini. "Demi kelancaran pencarian, hal ini masih kami rahasiakan," kata Thody. Polisi mendapat nama Jabir, Hasan, dan Sudadi ini dari sejumlah pelaku bom Marriott yang tertangkap. Mereka diduga sebagai kader baru yang siap melakukan serangan bom bunuh diri.

Menurut Rusman, ayah Jabir alias Gempur, anaknya pernah pulang ke Madiun dua bulan lalu. Lelaki berumur 61 tahun itu mengatakan Jabir cuma singgah sebentar di rumah. Lalu putranya itu pamit ke Pondok Darussyahadah, Boyolali, Jawa Tengah. "Saya sudah lupa berapa teman yang diajaknya," kata Rusman.

Jabir, menurut Rusman, sangat terpukul dengan kematian Ghozi. "Dia yang paling tidak terima atas matinya Rohman (Al-Ghozi). Rohman kan yang ngajak Gempur mondok," tutur Rusman. Ghozi pula, kata Rusman, orang yang mengajak keempat anaknya mondok di Pondok Ngruki, Jawa Tengah. Polisi, kata Rusman, sudah mengambil sampel darahnya untuk tes DNA dengan darah Jabir, yang diduga pelaku aksi bom Kuningan itu. Dia sendiri tak percaya Jabir turut dalam aksi bom bunuh diri itu.

Selain Jabir, Hasan dan Sudadi juga disebut-sebut sebagai kader baru Azahari. Hasan alias Mohammad Hasan, menurut dugaan polisi, salah satu pelaku bom yang tewas saat beraksi di Kuningan. Anak muda itu lahir di Surabaya 33 tahun lalu, dan tinggal di Banyu Urip Kidul Gang VI/6C, Kelurahan Banyu Urip, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Hasan, menurut pengakuan Syamsul, sang adik, adalah kepala cabang PT (Persero) Pertani di Blitar. Tak jelas apakah benar Hasan terlibat. Polisi masih melakukan tes darah terhadap keluarga nahas itu.

Di Jawa Tengah, akhir Juni lalu, polisi sempat menggelandang lima orang "binaan" Azahari dari sebuah rumah kecil di Kampung Ngadirejo, Kartosuro, Sukoharjo. Sebetulnya ada delapan orang yang hendak dicokok. Sialnya, tiga orang telanjur kabur, termasuk si pemilik rumah, Sudadi, 31 tahun. Lima orang yang dibawa dan kini mendekam di Mabes Polri termasuk Istri Sudadi, Mar'atus Sholikhah. Tapi belakangan perempuan itu dilepas. Dalam penangkapan itu, polisi menyita sepucuk pistol, 12 butir peluru, serta sejumlah dokumen.

Polisi tampaknya harus bekerja keras menangkap Azahari dan Noordin. Apalagi di tengah perburuan mereka mampu menyerang balik. Sumber di Mabes Polri menyatakan kelompok itu kini masih menguasai sekitar 500 kilogram bahan peledak. Diperkirakan, jika tak segera tertangkap, kelompok Azahari akan beraksi sekali dalam 8-12 bulan. Apalagi mereka lihai membangun jaringan sel bawah tanah yang hidup dan tersebar di banyak tempat. "Antara pasokan bahan dan perakitan bom terpisah. Tiap sel punya tugas khusus," ujar sumber tadi.

Itu sebabnya, sang doktor bisa bertahan di bilik-bilik gelap. Dan seterusnya, dia memberikan "tanda tangan" kepada kita dalam petaka bom.

Nezar Patria, Multazam (Jakarta), Imron Rosyid (Solo), Rochman Taufik (Madiun), Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus