Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh bersama Partai Gelombang Rakyat Indonesia alias Partai Gelora mengajukan permohonan uji materiil Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi alias MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Tim Kuasa Hukum Partai Buruh dan Partai Gelora, Said Salahudin, usai menyerahkan berkas fisik uji materiil Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, aturan ini intinya menentukan hanya partai politik pemilik kursi DPRD kabupaten/kota dan provinsi yang bisa mengusulkan pasangan calon untuk berlaga di pemilihan kepala daerah.
"Nah, aturan ini tentu saja tidak adil karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan pemilu dan juga persamaan di antara partai-partai politik peserta pemilu 2024," ucap Said saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 Mei 2024.
Dia memaparkan, setidaknya ada enam prinsip UUD 1945 yang melarang aturan sedemikian itu, di antaranya ada prinsip negara hukum, persamaan di muka hukum, demokrasi dalam pilkada, kesamaan perlakuan, dan seterusnya. Selain itu, pihaknya mendalilkan sejumlah argumen dalam permohonan ini.
Pertama, kata dia, substansi permohonan ini sebetulnya sudah pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada 19 tahun lalu atau 2005. Kala itu, muncul putusan MK nomor 5 yang membatalkan aturan hanya partai politik yang punya kursi DPRD saja yang boleh mengajukan paslon. "Jadi ini bukan hal baru bagi MK," ujar Said.
Karena itu, Partai Buruh dan Gelora optimistis majelis hakim konstitusi akan mengabulkan permohonan mereka. Bahkan, kedua partai politik itu yakin MK akan lebih cepat memproses permohonan mereka.
"MK bisa memutus ini dalam waktu yang sangat cepat, dengan persidangan yang digelar dengan pemeriksaan acara cepat atau speedy trial," beber Said.
Sebab, kata dia, perkara ini sudah pernah diputus. "Maka MK enggak perlu mendengarkan pemerintah dan DPR karena sifatnya fakultatif, tidak wajib."