Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Paus dan domba-domba yang lain

Kunjungan paus yohanes paulus ii ke negeri belanda disambut ribuan demonstran dari umatnya yang bertradisi liberal. mereka tak setuju pengangkatan paus terhadap simonis & terschure yang konservatif. (ag)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA datang jugalah Paus di tanah Belanda. Di tengah berbagai protes yang mendahului kunjungan itu, ia melangkah turun dari pesawat, kemudian mencium tanah. Disambut oleh Uskup Besar Adrianus Simonis, iberjalan sepanjan karpet merah yang dihiasi berbagai bender dari gilda-gilda Katolik Belanda Abad Per tengahan. Para pengawal, terbungkus dalam pakaian Abac Pertengahan pula berlutut ketika Paus lewat. Sementara itu publik, yang dipisahkan agak jauh di belakang pembatas, bersorak dan menyerukan selamat datang. Adalah Yohane Paulus II - di banda udara Eindhoven Sabtu pekan lalu paus pertama yang menginjakkan kakinya diNegeri Belanda setelah sembilan abad. Dan ini satu kunjungan yang luar biasa. Seperti dikatakan para pejabat Vatikan sendiri, "salah satu yang paling sulit" - disebabkan oleh gencarnya kritik dari negeri ini terhadap kebijaksanaan umum Vatlkan, balk darl umat maupun kalangan rohaniwannya. Hanya tiga hari sebelumnya, Rabu, tak kurang dari 10.000 pengikut, termasuk para pastor dan teolog melancarkan seranan kepada Vatikan dalam suatu rapat raksasa di taman Malieveld, Den Haag. Mereka lepaskan pula 2.000 balon dengan, warna-warni bendera Belanda: merah, putih, dan biru, lengkap dengan tulisan yang - untuk ukuran kita -- tak bisa dikatakan sopan: "Ya Tuhan, berilah kami paus dengan lubang telina yan lebar." Sementara itu, organisa si yang mewakili 19.675 non dan 8.100 pastor memutuskan tidak akan menyambut Paus. Sebabnya? Pihak Hirarki Belanda, di bawah sang uskup besar menggagalkan acara pertemuan Bapa Suci dengan seorang teolog radikal wanita yang sebelumnya sudah dijadwalkan. Dan siapakah sang uskup besar? Ia adalah Adrianus Simonis yang konservatif, yang begitu saja diangkat Paus dengan menyingklrkan calon-calon lain yang diusulkan kalangan Gereja Belanda yang dikenal bertradisi liberal itu. Tahun 1970, Simonis dijadikan uskup. Tiga tahun kemudian, naik menjadi uskup besar. Dan tanggal 25 Mei ini bahkan Yohanes Paulus II akan melantiknya menjadi kardinal. Dan Simonis bukan satu-satunya. Februari lalu, Paus menunjuk Johannes Ter Schure ultrakonservatif, sebagai uskup Den Bosch - dan bangkitlah demonstrasi di luar katedral kota. "Orang- orang Gereja," kata Pater Edward Schillebeeckx tentang rohaniwan Belanda, "punya keinginan dan harapan-harapan (yang lain dari yang dipikirkan Paus - Red.). Sekarang mereka direndahkan dan mereka menderita." Schillebeeckx, pengarang buku Yesus: Sebuah Eksperimen lalam Kristologi, 1974, adalah teolog terkemuka Belanda yang, seperti halnya Hans Kung dari Swiss - yang juga sangat liberal - atau Leonardo Boff dari Amerika Latin, yang mengajarkan Teologi Pembebasan, harus menghadapi "pemeriksaan" Vatikan dl bawah paus yang sekaran ini. Entahlah, barangkali pemilihan Kardinal Wojtyla sebagai paus (Yohanes Paulus II) memang terutama didasarkan pada kebutuhan Vatikan untuk mengembalikan "wibawa". Hirarki menghadapi berbagai friksi yang lebih luas dari yang sudah disebut. Tentang Belanda sendiri, sebenarnya sudah sejak 1960-an, Paus (Paulus VI) menangkap kekhasan ini: kegemaran besar ekumenisme, dan evolusi ke arah bentuk gereja model Protestan. Pemikiran juga berkembang - berpusar di sekitar apa yang disebut Katekismus Baru. Berbagai pertemuan nasional pastoral, dalam pada itu, menantang perlawanan Vatikan terhadap keluarga berencana dan perkawinan para pastor. Nah, ke tengah suasana itulah Yohanes Paulus II datang dengan tenangnya. Dan berdiri dengan liatnya. Di Den Bosch, misalnya, Paus - berdiri di sebelah Uskup Ter Schure yang diprotes itu - dengan mantap menyebut orang pilihannya itu sebagai yang "paling cocok untuk jabatan itu". Sementara itu, gereJa-gereJa lokal, demikian Paus, haruslah meyakinkan diri, "Bahwa mereka tidak menjadi tertutup dalam diri mereka sendiri dan mengambil jarak dari pusat kesatuan." Itu berarti rekonsiliasi. Dan memang itulah maksud kedatangan Paus. Tapi tentang ini Schillebeeckx punya pandangan, seperti diucapkannya sehari sebelum kedatangan sang tamu bahwa "Hirarki (baca: Vatikan) tak luput dari kemungkinan salah (fallible) dalam sebagian besar keputusannya" berlawanan dengan kepercayaan resmi Vatikan sendiri, hal yang juga ditolak Hans Kung. Tentang rekonsiliasi, kata Schillebeeckx, "Tak ada model permanen untuk kesatuan- tak ada suatu resep abadi," seperti yang - tentunya--dipikirkan Paus. Schillebeeckx, seperti juga rekan-rekannya, praktis menginginkan Gereja Katolik yang "lain"-dan itu bukan perkara kecil. Kemudian keluarlah unek-unek itu. Di dalam gedung konperensi di Utrecht, di seberang Katedral, dua wanita yang ditunjuk berbicara kepada Paus, dalam pertemuan silaturahmi itu, secara langsung mempertanyakan berbagai pandangan konservatif Bapa Suci. Hedwig Wasser, misionaris, menyerang sikap Vatikan terhadap pasangan yang bercerai terhadap pastor dan biarawati yang kawin tapi juga, yang bisa membuat kita turut risi mendengarnya, terhadap pasangan yang kumpul kebo dan orang-orang homoseks. Kalimat-kalimatnya mendapat sambutan riuh dari grup misionaris - kendati terdengar juga beberapa suitan bernada mengejek. Marita Verhorst, dalam pada itu, menuduh Gereja tidak memperhatikan pengikutnya yang perempuan - termasuk kemungkinan bagi imam wanita - sementara Henk Ten Have, seorang dokter, mempertanyakan sikap Paus kepada masalah hak untuk mati dan aborsi. Dan, di luar gedung tempat tukar pikiran itu berlangsung sekitar 5.000 demonstran, menurut TV (menurut polisi: kira-kira 1.500) bergelombang di sekitar Katedral, berusaha mencapai taman di hadapan gedung kongres, dan sebagian berteriak, "Bunuh, bunuh, bunuh Paus !" Mereka sampai di situ sesudah bergerak menembus pusat kota, dan membuat beberapa kerusakan. Ketika Paus lewat di jalan antara dua gedung, sebuah botol dan kaleng yang sudah diremukkan dilemparkan ke mobil Paus yang tertutup dan antipeluru. Untung, tak sampai. Di Den Haag, dalam pada itu, polisi menahan dua orang yang melemparkan bom asap ke dekat mobil Paus waktu mendekati kantor Perdana Menteri untuk pertemuan hari Senin lalu. Di sini pula sebuah bom diletakkan di luar kantor polisi, tapi sempat dijinakkan, tiga jam sebelum Paus tiba. Dan di sini juga, di luar gedung Mahkamah Internasional tempat Paus kemudian berbicara, parapemuda menyambut Paus dengan melambai-lambaikan . . . kondom. Di Den Haag pula radio liar memutar nyanyian ejekan kepada Paus, yang dikatakannya,"Suka keliling-keliling dengan bungah. Begitu turun pesawat, mencium tanah." Sedangkan di Amsterdam, disebarkan poster yang menjanjikan upah Rp 15.000 gulden untuk siapa saja yang membunuh Paus. Dan akhirnya, sepi. Belum pernah kunjungan Paus, yang kali ini terhitung untuk ke-26 kalinya, mendapat sambutan sedingin ini. Hanya sekitar 10%, atau paling banter-di satu dua tempat 40% - target penyambut terpenuhi. Sampai laporan ini diturunkan, belum jadi diadakan pertemuan dengan pemimpin Protestan, sementara kalangan Yahudi sudah menolak. Tetapi penjagaan bukan main ketat. Sejumlah 10.000 personil dikerahkan, termasuk 80 orang yang menjadi pengawal Paus, 42 ahli bom yang mengecek gedung-gedung, khususnya di Jalan-Jalan sempit yang akan dilalui, dan pengerahan helikopter dengan kamera TV. Untuk sekuriti saja dihabiskan tak kurang dari Rp 3 milyar. Toh semua itu tidak menjadi pikiran benar bagi Paus, yang akan menyelesaikan kunjungan 11 harinya itu di Belgia dan Luksemburg, dan akan menghadapi problem yang di sana-sini sama. Seperti dikatakannya sebelum bertolak dari Roma, yang diprihatinkannya adalah "arah yang ditempuh Gereja Katolik Belanda" - yang kira-kira berimbang umatnya dengan umat Protestan - dan bukan keselamatan dirinya. Schillebeeckx, yang menyatakan "tak punya harapan apa-apa" dari kunjungan Paus tentu bukan tak punya keprihatinan pula dan demikian seluruh rohaniwan liberal itu. Masalahnya, hanya, bagaimana cara memandang perubahan itu, meski, tentunya, bukan keprihatinan kepada Gereja sebagai warisan, melainkan Gereja sebagai yang hidup aktual di tengah umat. Bila pergeseran nilai yang sekarang melanda, yang, misalnya saJa, menumbuhkan pasangan-pasangan sebangsa homoseksual atau yang kumpul kebo atau lainnya, punya tendensi makin meningkat dan bila Gereja tetap berkukuh dalam warisannya yang lama, sampai-sampai dalam bentuk-bentuknya, bisa dibayangkan alienasi apa yang bakal terjadi. Tapi apakah arti agama, tanpa konservatisme? Dan sampai berapa jauh? "Rasul Paulus, juga Kristus, pun menghadapi oposisi," kata Paus, yang konservatif. Dan di bandar Eindhoven, sesudah pidato, ia tenang saja melangkah ke luar dari lingkungan para penjaga untuk menyalami para penyambut. Ketika menghadapi serangan kaum wanita di Utrecht itu, wajah Paus memang kelihatan tegang, tanpa reaksi. Tapi sesudah itu ia menjabat tangan sang pendekar. Kemudian sebentar melongok para reporter, dan berseloroh, "Wah, maaf, kalian terpaksa bekerja keras di hari Minggu. Tapi Paus juga." Memang. Syu'bah A Bahan: Reuter, dokumentasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus