Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara Gus Dur—panggilan mantan presiden Abdurrahman Wahid—yang berat menggema dari toa di Masjid Rahmatullah, Pulo Wonokromo, Surabaya. Diawali dengan pembacaan istigfar, selawat, kemudian petuah dalam bahasa Jawa, syiir, suaranya akrab di telinga warga Kota Buaya menjelang azan dikumandangkan.
Hampir semua masjid di Surabaya kompak memperdengarkan syiir berjudul Tanpo Waton itu pada saat bersamaan. Zamroji, takmir Masjid Rahmatullah, misalnya. Kamis sore pekan lalu itu ia tiba-tiba bergegas mengambil radio, menyetelnya, dan memasang mik di depan pengeras suara. Maka suara sang Kiai pun menggema di seantero gang sempit selatan Terminal Joyoboyo tersebut.
"Untung baru mulai (syiir-nya)," katanya sambil melihat jam di dinding masjid yang menunjukkan pukul 17 lewat sedikit.
Zamroji dan pengurus masjid lainnya merelay siaran itu dari Radio Yasmara. Ia tidak tahu sejak kapan masjidnya mengikuti siaran radio itu dalam menentukan saat azan. "Sudah dari dulu," katanya. Stasiun milik Yayasan Masjid Rahmat di Kembang Kuning, Surabaya, itu sejak dulu dikenal sebagai panduan waktu salat bagi masjid di kota tersebut. Takmir masjid umumnya tidak lagi memakai jadwal waktu salat abadi. Bahkan radio ini lebih banyak diikuti dibanding TVRI dan RRI.
Siaran ini biasanya dipandu Muhammad Mustar, 38 tahun, salah seorang muazin Masjid Rahmat, 30 menit sebelum waktu azan. Tapi jangan bayangkan Mustar membacakan request dari para pendengar karena tugasnya adalah membaca ayat-ayat suci Al-Quran dan mengumandangkan azan.
Kini, setelah syiir Tanpo Waton terkenal, tugas Mustar agak berkurang. Ayat yang dulu dibacanya sebelum azan kini tergantikan oleh suara Gus Dur itu.
Begitu pukul 17.25, Mustar pun mempersiapkan diri menyuarakan azan magrib. Ia masuk ke sebuah ruang berukuran empat meter persegi di selatan masjid. Di dalamnya, aneka sound system dan peralatan siaran radio yang terlihat usang berjubel. Ruangan lembap itu makin terasa sempit dengan hadirnya sebuah kentungan dan beduk, yang biasa dipukul Mustar sebelum azan.
Umumnya, masjid menghentikan siaran live dari radio begitu azan siap dikumandangkan. Panggilan salat pun disuarakan muazin tiap masjid.
Saat pertama mengudara, radio tersebut bernama Radio Yasmara CA 27. Nama itu merupakan singkatan Yayasan Masjid Rahmat, sedangkan CA 27 merujuk pada Jalan Chairil Anwar Nomor 27, alamat studionya. Awalnya, radio ini berstatus eksperimen dan baru pada 1968 memiliki gelombang resmi pada 260,4 AM, tepatnya frekuensi 1152 KHz.
Yasmara didirikan Ali Muchsin, kiai di masjid ini. "Saat itu, masjid sedang dibongkar. Untuk menyebarluaskan dakwah, para pemuda, termasuk Kiai Ali, lantas mendirikan radio," ujar Winarto, pengurus masjid.
Pemancar ini banyak menyiarkan ceramah dan azan. Kebetulan Masjid Rahmat dijadikan tempat berkumpul para kiai se-Surabaya untuk merumuskan waktu salat. Tradisi itu masih berlangsung sampai sekarang. Maka azan yang dipancarkan menjadi panutan. "Dulu sering ada perbedaan antara Masjid Rahmat dan TVRI ataupun RRI, biasanya ada selisih 40 detik, tapi sekarang sudah tidak lagi," kata Winarto.
Meski banyak jam digital dengan akurasi yang baik, pengurus masjid masih mengandalkan jam kuno merek Big Ben London sebagai patokan. "Jam ini lebih akurat dibanding jam model baru," katanya.
Menurut pengajar studi pengembangan masyarakat Islam dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Habib Mustofa, masjid ini dikenal sebagai peninggalan Sunan Ampel. Awalnya, masjid tersebut didirikan untuk tempat beristirahat dan beribadah sepulang dari perjalanan ke Majapahit. "Dulu bangunan masjid hanya cungkup kecil," kata Habib.
Yudono Y Akhmadi, Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo