Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Jalan Berliku Pemoles Batu

Hampir 60 persen penduduk di Kecamatan Besuki dan Campurdarat menggantungkan hidup dari marmer. Mulai penambang, perajin, hingga pedagang.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi Sulistiana tercenung di atas bongkahan batu. Pemilik ruang pamer dan pabrik pengolahan marmer PT Mustika Marmer itu lekat menatap dua pekerja yang tengah membelah batu sebesar anak gajah, Selasa dua pekan lalu. Setelah berserak menjadi kepingan, lembaran marmer itu dipotong kecil-kecil menjadi lantai dan dinding rumah. "Ini akan dikirim ke Bali," kata Andi kepada Tempo.

Seperti hari-hari sebelumnya, tak bosan ia menghabiskan waktu bersama bising deru mesin pembelah di bengkel pengolahan marmer miliknya di Dusun Cerme, Desa Gamping, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Ya, marmer memang telah menjadi bagian hidupnya. Sama halnya yang dirasakan sebagian masyarakat Tulungagung, terutama di wilayah selatan, di Kecamatan Besuki dan Campurdarat.

Hampir 60 persen penduduk dua wilayah ini menggantungkan hidup dari marmer. Mulai penambang, perajin, hingga pedagang. Lihat saja di sepanjang jalan dari Kecamatan Campurdarat sampai Pantai Popoh. Toko cendera mata dan bahan bangunan dari marmer berjajar di kanan-kiri jalan. Bahkan rumah-rumah kecil milik warga berfungsi sebagai etalase.

Tulungagung memang "Kota Marmer". Pertama kali ditambang di masa penjajahan Belanda pada 1890, marmer langsung menjadi ikon Tulungagung. Setelah Indonesia merdeka, produksi marmer terus meningkat dan pamornya semakin berkilau. Sejumlah bangunan megah di negeri ini menggunakan marmer asal Tulungagung, misalnya gedung MPR/DPR, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional.

Perkembangan sentra-sentra perajin marmer dirintis pada era Presiden Soeharto. Pemerintah tak hanya memperhatikan kepentingan pabrik besar PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung, eks perusahaan negara yang beroperasi sejak 1965. Masyarakat di sekitar pabrik juga dididik menjadi perajin. "Tak bisa dimungkiri bahwa Pak Harto adalah sosok di balik lahirnya kerajinan marmer Tulungagung," kata Andi.

Marmer Tulungagung, menurut dia, memiliki ciri khas dibanding marmer lain. Warnanya putih bersih atau krem dengan kualitas nomor wahid. Bongkahan batunya tidak mudah pecah sehingga sangat cocok menjadi lantai. Tapi, sejak empat tahun lalu, ekspor kerajinan marmer kabupaten ini semakin lesu akibat krisis keuangan global.

Kurang gencarnya promosi juga membuat pasar lesu. Pengusaha menuding pemerintah daerah tak serius. Meski marmer sering diklaim sebagai produk unggulan daerah, perajin mengaku berjuang sendiri mendapatkan modal dan memasarkannya. "Soal bantuan modal menjadi wewenang dinas UMKM," Kepala Bagian Penerangan Tulungagung Suyanto menjawab.

Selain persoalan pasar, kenaikan harga bahan baku marmer memangkas keuntungan. Karena terus-menerus ditambang, ketersediaan bahan baku marmer menipis di kawasan pertambangan Besole. Menurut perajin, harga bahan baku melonjak tajam dari Rp 1,5 juta per meter kubik menjadi Rp 4 juta per meter kubik pada 2012. Bicara kualitas juga tidak seprima dulu. "Lebih mudah pecah saat diolah," ujar Andi mengeluh.

Bupati Tulungagung Heru Tjahjono mengklaim deposit marmer di daerahnya sebenarnya masih cukup untuk ditambang hingga 20-25 tahun ke depan. Namun kewenangan penambangan hanya dikuasai PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung, yang mengolah marmer dalam skala besar di kawasan Besole, Kecamatan Besuki. Sedangkan para perajin cuma membeli bahan baku dari penambang-penambang kecil tradisional yang tersebar di luar wilayah tambang perseroan, yang jumlahnya semakin terbatas. Para perajin seperti Andi akhirnya mengambil marmer dari Kepulauan Bawean, Gresik, dan Bojonegoro.

Tulungagung juga harus bersiap menghadapi pesaing. Salah satunya Kabupaten Bojonegoro, yang memiliki bahan baku melimpah. Menurut data di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bojonegoro, luas tambang marmer di perbukitan Gunung Gajah dan Gunung Kramat, Kecamatan Gondang, Bojonegoro, mencapai 335,5 hektare dengan prediksi volume hingga 2,33 juta ton. Sejumlah pemuda dididik menjadi perajin dan ahli marmer. Pemasaran dibuka jaringan ke sejumlah daerah di Jawa dan luar Jawa.

Agus Supriyanto, Hari Tri Wasono (Tulungagung), Sujatmiko (Bojonegoro)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus