Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Penyesalan Bidadari si Mahul

Dicari: 60 santriwati "calon bidadari". Praktek sesat tarekat palsu di Lombok Barat.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasulullah saw bersabda, "Al-jannatu tahta aqdamil ummahat" (Surga di bawah telapak kaki ibu): anak yang berbakti kepada ibundanya akan masuk surga. Tapi jalan ke sono tentu tak mudah. Toh, Amaq Satriadi alias Mahul menjanjikan tiket gratis. Mengaku sebagai guru Tarekat Naqsyabandiyah, warga Desa Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat itu bahkan memberikan iming-iming: para santriwati bisa jadi "bidadari".

Janji gombal itu syaratnya pun gombal: "calon bidadari" mesti dibaiat, dan itu berarti "nikah batin" dengan sang guru. Selanjutnya bisa diduga: sang guru boleh bersebadan dengan mereka. Meski ajaran itu ngibul dan bahlul (gendeng), dalam tempo tiga tahun si Mahul berhasil merayu sekitar 300 jemaah. Pada hari-hari tertentu mereka menggelar pengajian di musala dekat rumah Mahul yang berhiaskan bendera hijau berlambang bumi bertuliskan huruf Arab: Tarekat Naqsyabandiyah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lombok Barat segera memanggilnya. Setelah ditunggu-tunggu tak kunjung datang, Selasa pekan lalu utusan para ulama menjemput Mahul ke rumahnya. Tapi ia sudah minggat meninggalkan tiga istri dan enam anaknya. Maka jadilah ia buron polisi.

Ajaran itu terbongkar setelah dua santriwati, Mahaniah, 19 tahun, dan Zakiah, 30 tahun, mengadu ke MUI. Menurut Zakiah, dalam berzikir jemaah dianjurkan membayangkan wajah sang guru—yang belakangan selalu menghantuinya. "Heran. Jangankan melihat orangnya, mendengar suaranya saja sudah jatuh hati," katanya tanpa bermaksud bercanda.

Usai membaiat Zakiah, sang guru bilang, "Sekarang saya sudah 'nikah batin' dengan kamu, saksinya wali Allah. Nanti kamu jadi bidadari di surga." Begitu mendengar janji gombal gurunya itu, Zakiah tertunduk lemas. Ia mengaku selama setahun terakhir berkali-kali dipaksa melayani nafsu sang guru. Dan ketika ia hamil, si Mahul memerintahkan menggugurkan janinnya.

Nasib serupa dialami Mahaniah. "Saya jadi lemas seperti kena sihir," tutur kemenakan Zakiah yang ternyata masih istri Ahmad Safianus itu—yang ternyata juga murid setia si Mahul. Tapi, ketika aib itu ia ungkapkan, suaminya cuma menanggapinya dengan enteng, "Kamu beruntung. Memangnya cuma kamu yang dibegitukan? Perempuan lain juga digauli." Belakangan Safianus menceraikannya.

Meski baru dua orang yang melaporkan ulah si Mahul, diduga korban lain cukup banyak. Sebab, suatu kali si Mahul bilang baru mendapat 16 orang "calon bidadari"—dari 60 calon yang ditargetkannya.

Meski begitu, Ahmad Zaenal, salah seorang pengikut setia Mahlul, memberikan argumentasi lain. Katanya, banyak jemaah salah mengerti tentang makna "nikah batin". Yang dimaksud ialah "santapan rohani" buat para istri yang suaminya tak mampu memberikan nafkah batin. Lho, bagaimana dengan Zakiah dan Mahaniah, yang "disantap" mentah-mentah oleh si Mahul? Zaenal mengelak. "Oh, itu soal pribadi. Saya tak ikut campur," jawabnya seringan kapas diterbangkan angin.

Sulit menerima anggapan bahwa ajaran si Mahul tak menyalahi syariat Islam. "Tak pernah ada tarekat yang membenarkan seorang guru langsung menjadikan santriwati sebagai istri," ujar Dr. Ali Mustafa Ya'kub, anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI Pusat.

Tarekat Naqsyabandiyah—belakangan disebut Qadiriyah wa Naqsyabandiyah—awalnya berkembang di Asia Tengah, didirikan Syekh Abdul Qadir Jaelani dari Tibristan (1078-1168) dan Syekh Bahauddinsyah al-Bukhari dari Bukhara (1314-1391). Pengikut aliran tarekat yang paling besar ini tersebar di seluruh dunia, termasuk warga Nahdlatul Ulama di Indonesia. Adalah Haji Muhammad Ali (wafat 1891) dari Sakra, Lombok Timur, mursyid (guru) yang menyebarkan tarekat ini di Lombok dan sekitarnya. Ritualnya: berzikir khusyuk hingga Allah terbayang dalam kalbu.

Dan pastilah zikir tarekat yang sudah dianggap mu'tabarah (baku) oleh para ulama NU itu sangat bertolak belakang dengan ajaran si Mahul, guru tarekat palsu itu. MUI Lombok Barat mencatat, dalam 10 tahun terakhir di kabupaten ini terdapat 18 aliran yang melenceng dari syariat. Untuk membentengi umat, MUI menerjunkan para santri lulusan pondok pesantren untuk berdakwah di pedesaan di lereng Gunung Rinjani itu. Agar tak ada lagi santriwati yang terbius jadi bidadari.

Agung Rulianto, Supriyantho Khafid, dan Sujatmiko (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus