MUSIM kemarau. Tapi banjir datang juga melanda Desa Tanjungtiram
di pantai timur Sumatera Utara.
Penduduk desa yang berjumlah sekitar 3.500 jiwa itu juga merasa
kian gelisah karena banjir itu tidak akan cepat reda.
Apa yang salah? "Kalau pasir kuara di pantai ini tidak dikeruk,
tentu tidak sampai begini," keluh Anwarkabi, Kepala Desa
Tanjungtiram pada TEMPO.
Pasir kuarsa itu memang membentuk semacam tanggul yang
melindungi perkampungan penduduk. Tapi sejak 1978, tanggul itu
dikeruk oleh sebuah perusahaan.
Di tahun 1979 penduduk Tanjungtiram mengadukan pengerukan pasir
itu kepada Bupati Asahan Bahmid Muhammad. Akibat pengerukan
pasir oleh PT Asima Standard itu memang cukup besar. 75% rumah
penduduk terlihat seperti berada di tengah laut kalau air lagi
pasang. "Hempasan ombak yang besar terasa seperti mau
menghanyutkan rumah kami," ujar Ujang, penduduk Tanjungtiram
yang rumahnya tergenang.
Rumah penduduk desa itu, sebagaimana umumnya perkampungan
nelayan, terbuat dari kayu dengan atap rumbia. Tinggi air asin
itu sampai satu jengkal di atas lantai. Tidak tahan terkurung
air, 35 orang memindahkan rumah ke "darat" yang masih aman.
Bupati Didatangi Rakyat
Bupati kemudian meninjau Tanjungtiram, kaget: bukan saja
perkampungan yang terendam, tapi juga kebun kelapa rakyat yang
ditaksir mencapai 10.000 ha. "Pohon kelapa itu akan mati
perlahan-lahan," ujar Ihrahim, Ketua KNPI Tanjungtiram yang ikut
mengadukan persoalan ini ke bupati.
Tapi sayangnya, Bahmid tidak berhak menyetop PT Asima. Sebab
izin penggalian dikeluarkan Departemen Pertambangan. Ia hanya
menjanjikan tidak memberi rekomendasi baru untuk perpanjangan
izin yang habis akhir tahun 1980.
Toh PT Asima tidak juga menghentikan kegiatan sampai akhir Juli
lalu. Penduduk khawatir bupati ingkar janji. Maka, 3 Agustus
lalu puluhan penduduk kembali naik bis ke Kisaran menemui
bupati.
Bahmid ternyata tidak ingkar janji. Bergegas ia ke Tanjungtiram
membuktikan pengaduan penduduk. Di pantai itu Bahmid melihat
sendiri masih ada dua tongkang yang sudah penuh pasir kuarsa.
Setelah diusut ketatuan: PT Asima punya rekomendasi dari Kepala
Pelabuhan Tanjungtiram.
Karena rekomertdai bukan surat izin, bupati memerintahka agar
du tongkang itu ditahan, dan pasirnya dikembalikan ke laut.
Perintah itu ternyata juga tidak mempan. Seminggu kemudian sang
tongkang sudah kabur bersama 1.500 ton pasir kuarsa.
Penduduk kembali mengadu ke bupati. Yang dilapori tidak menunda
persoalan lagi. Hari itu juga dilayarkan surat ke Kejaksaan
Negeri Kisaran mengadukan A.T. Simarmata (Dir-Ut PT Asima
Sundard), S.A. Hunthe Syahbandar Tanjungtiram), M. Akhir
Dalimunthe (agen kapal) dan Lian Nasution (petugas Bea Cukai)
yang diduga bekerjasama dalam meloloskan dua tongkang tadi.
Ramai juga kalau akhirnya sampai ke pengadilan. Tapi Simarmau
merasa tak bersalah. Rekomendasi tadi dianggap sudah bisa
dipakai untuk memulai pengerukan. "Itulah sebabnya saya berni
mengambil pasir di sana," ujar Simarmata.
Pejabat di Kantor Pemda Asahan juga heran mengapa Departemen
Pertambangan mengeluarkan izin untuk bahan galian "C" seperti
pasir kuarsa tadi. "Padahal itu wewenang gubernur," ujar Sumada
Astono, Kahumas Pemda Asahan.
Meski Gubernur Sum-Ut E.W.P. Tambunan sudah pula ikut melarang,
dengan mengirimkan nota dinas ke Camat ranjungtiram, Simarmata
belum juga mundur. Diajukannya surat permohonan untuk bisa
memperoleh rekomendasi dari Kanwil Perhubungan Laut I di Medan.
Instansi ini tentu tidak mau mengeluarkan rekomendasi karena
sudah diberitahu bahwa bupati Asahan mengadukan Dir-Ut PT Asima
Standard ke Kejaksaan.
Persoalannya belum diproses untuk ke mahkamah. Tapi penggalian,
syukur bagi rakyat Tanjungtiram, sudah berhenti. Setidaknya
untuk sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini