KARENA demokrasi tanpa keikutsertaanku rasanya bagaikan daun
telinga tanpa anting, maka saya berketetapan hati terjun jadi
calon dalam pemilu yang akan datang. Keputusan ini pasti
membesarkan hati John Stuart rill atau Jacques Maritain atau
siapapun orang sejenis yang terpanggilan ganjil-ganjil.
Ketahuilah, orang yang tak sekali pun seumur hidupnya berniatan
jadi demokrat di dewan perwakilan tak ubahnya seperti seekor
anjing. Ada meman pernah keliru besar tatkala demokrasi
mengangkat Issac Newton masuk gedung parlemen Inggris hingga
yang bersangkutan merasakannya seperti kena musibah, tapi ini
kekecualian yang tak perlu jadi pikiran benar. Dari seribu
pisang ada saja satu yang dempet.
Kesulitan pertamaku adalah menghadapi keengganan para anggota
dewan perwakilan yang sudah duduk belasan tahun - janganjangan
sebelum gedungnya berdiri - tapi tidak punya maksud beranjak
dari sana seperti laimnya pasangan remaja di taman-taman. Apa
lebih dulu melempar mereka ke luar jendela atau menghalaunya
dengan cemeti? Ini tidak mungkin karena belum pernah ada contoh
sebelumnya. Lagi pula tidak ada peraturan dibuat orang yang
memperbolehkan cara-cara macam itu. Atau barangkali saya mesti
siap duduk bertumpuk berdua atau bertiga seperti halnya setan
jambu. Bila tidak juga, barangkali harus ada gempa besar -banjir
bandang yang mampu menyelesaikan kemelut ini. saya mulai
menciut, tapi harapan masih tetap ada. Jika meredup, bara pun
jadilah.
Kesulitan kedua adalah teramat banyaknya calon ya-punya hasrat
hingga tak sanggup jari menghitung pada tempat -- dan ini sudah
bukan rahasia--amatlah terbatas, Rasanya hampir semua makhluk
berkaki dua merasa cocok-syarat jadi demokrat, dan demokrat
resmi adalah mereka-yang punya kursi di dalam dewan. Kita
mungkin menghada-sedikit kesulitan mencari seorang tukang duco,
tapi tidak orang demokrat. Lebih jauh dari itu, sistem
demokrasi yang baik senantiasa membuka kesempatan
selebar-lebarnya buat para peminat meniarap di dalam pelukannya.
Bagaimal-mungkin saya bisa lolos dari saringan yang musykil itu.
Kesulitan ketiga--sudah bisa diterka--bergulat menl , hadapi
penempatan urutan calon. Ini berarti saya mesti siap mental dan
siap fisik dalam makna yang seluas-luasnya, karena demokrasi
tidak menyukai hambanya yang sempoyongan. Saya mesti datang
sungkem ke bawah duli pemimpin kantor kontestan yang kuasanya di
atas kertas sejauh-jauh mata memandang. Makin kecil nomor urutan
makin besar kemungkinan duduk. Saya mesti pelajari teknik
senyum-bersenyum, teknik merendah-rendah diri seakan saya ini
tak lebih dari seekor kecoak. Berbarengan dengan itu saya mesti
pandai menjunjung yang bersangkutan, begitu tingginya hingga
jauh melampaui gumpalan awan kumulus. Pandaipandai meyakinkan ke
lubuk kalbunya bahwa tanpa urutan nomor kecil saya akan
terpelanting ke neraka jahanam dan lebih parah lagi demokrasi
akan rusuh hati kehilangan putranya yang terbaik. Sebaliknya,
kalau tahap ini lolos, saya punya hak penuh bersorak-sorai
sehabis suara dan sekaligus nencium bumi sambil menggerogoti
tanahnya.
Sepele
Kesulitan keempat--dan mudah-mudahan kesulitan tel akhir--saya
mesti siap-siap merangkak ke atas podium melakukan kampanye.
Jika toko perlu etalasi, Pemilu perlu kampanye. Kelihatan
sepele, tapi bikin kepala saya pening. Apa gerangan ucap saya ke
hadapan khalayak ramai? Paling mudah tentu memberi janji. Tapi
karena di lemari mereka masih penuh tersimpan janji Pemilu
lampau, dengan mudah mereka akan terpingkal-pingkal dan menaruh
iba kepada saya. Atau mengobar semangat hingga lupa daratan?
Atau tunjukkan kreasi yang mampu membikin mereka bisa hidul
sampai sekarang? Ada terlintas niatan melawak karena acara lawak
paling digemari orang. Rasanya yang belakangan ini ada
mengandung harapan.
Ketika para calon termasuk saya mesti menjalankan psikotes,
ternyata kesimpulannya saya mesti--kalau mau sehat wal afiat --
menyetop semua keinginan jadi calon. Jangan sampai hersisa
sedikit pun. Soalnya, lewat selukbeluk ilmu yang saya tidak
paham, saya disodorkan hasil penelitian yang menggemparkan: kamu
orang memang bukan dungu, apalagi gila, namun tidaklah
selayaknya kamu orang duduk di dewan perwakilan. Begitulah kata
ilmu dan begitu pula kata kebenaran! Pekerjaan yang paling cocok
buat kamu dan juga demi keluarga kamu adalah menjadi makelar.
Makelar? Ya, makelar. Tentang jadi makelar apa tidak jadi
masalah karena ilmu pengetahuan tidak biasa mencampuri urusan
pribadi. Ini suatu keberuntungan buatmu, karena cakrawala
kemakelaran hampir-hampir tak ada ujung batasnya. Bahkan -
kalau karnu mau tahu - as dunia ini berputar lebih banyak
ditentukan oleh tangan makelar dari tangan siapa pun juga.
Selamat !
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini