Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjadi Calon

Kesulitan untuk menjadi calon dewan perwakilan adalah: anggota dewan yang sudah duduk enggan beranjak, terlalu banyak ingin jadi calon, dan bergulat untuk urusan calon. harus siap mental dan fisik.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARENA demokrasi tanpa keikutsertaanku rasanya bagaikan daun telinga tanpa anting, maka saya berketetapan hati terjun jadi calon dalam pemilu yang akan datang. Keputusan ini pasti membesarkan hati John Stuart rill atau Jacques Maritain atau siapapun orang sejenis yang terpanggilan ganjil-ganjil. Ketahuilah, orang yang tak sekali pun seumur hidupnya berniatan jadi demokrat di dewan perwakilan tak ubahnya seperti seekor anjing. Ada meman pernah keliru besar tatkala demokrasi mengangkat Issac Newton masuk gedung parlemen Inggris hingga yang bersangkutan merasakannya seperti kena musibah, tapi ini kekecualian yang tak perlu jadi pikiran benar. Dari seribu pisang ada saja satu yang dempet. Kesulitan pertamaku adalah menghadapi keengganan para anggota dewan perwakilan yang sudah duduk belasan tahun - janganjangan sebelum gedungnya berdiri - tapi tidak punya maksud beranjak dari sana seperti laimnya pasangan remaja di taman-taman. Apa lebih dulu melempar mereka ke luar jendela atau menghalaunya dengan cemeti? Ini tidak mungkin karena belum pernah ada contoh sebelumnya. Lagi pula tidak ada peraturan dibuat orang yang memperbolehkan cara-cara macam itu. Atau barangkali saya mesti siap duduk bertumpuk berdua atau bertiga seperti halnya setan jambu. Bila tidak juga, barangkali harus ada gempa besar -banjir bandang yang mampu menyelesaikan kemelut ini. saya mulai menciut, tapi harapan masih tetap ada. Jika meredup, bara pun jadilah. Kesulitan kedua adalah teramat banyaknya calon ya-punya hasrat hingga tak sanggup jari menghitung pada tempat -- dan ini sudah bukan rahasia--amatlah terbatas, Rasanya hampir semua makhluk berkaki dua merasa cocok-syarat jadi demokrat, dan demokrat resmi adalah mereka-yang punya kursi di dalam dewan. Kita mungkin menghada-sedikit kesulitan mencari seorang tukang duco, tapi tidak orang demokrat. Lebih jauh dari itu, sistem demokrasi yang baik senantiasa membuka kesempatan selebar-lebarnya buat para peminat meniarap di dalam pelukannya. Bagaimal-mungkin saya bisa lolos dari saringan yang musykil itu. Kesulitan ketiga--sudah bisa diterka--bergulat menl , hadapi penempatan urutan calon. Ini berarti saya mesti siap mental dan siap fisik dalam makna yang seluas-luasnya, karena demokrasi tidak menyukai hambanya yang sempoyongan. Saya mesti datang sungkem ke bawah duli pemimpin kantor kontestan yang kuasanya di atas kertas sejauh-jauh mata memandang. Makin kecil nomor urutan makin besar kemungkinan duduk. Saya mesti pelajari teknik senyum-bersenyum, teknik merendah-rendah diri seakan saya ini tak lebih dari seekor kecoak. Berbarengan dengan itu saya mesti pandai menjunjung yang bersangkutan, begitu tingginya hingga jauh melampaui gumpalan awan kumulus. Pandaipandai meyakinkan ke lubuk kalbunya bahwa tanpa urutan nomor kecil saya akan terpelanting ke neraka jahanam dan lebih parah lagi demokrasi akan rusuh hati kehilangan putranya yang terbaik. Sebaliknya, kalau tahap ini lolos, saya punya hak penuh bersorak-sorai sehabis suara dan sekaligus nencium bumi sambil menggerogoti tanahnya. Sepele Kesulitan keempat--dan mudah-mudahan kesulitan tel akhir--saya mesti siap-siap merangkak ke atas podium melakukan kampanye. Jika toko perlu etalasi, Pemilu perlu kampanye. Kelihatan sepele, tapi bikin kepala saya pening. Apa gerangan ucap saya ke hadapan khalayak ramai? Paling mudah tentu memberi janji. Tapi karena di lemari mereka masih penuh tersimpan janji Pemilu lampau, dengan mudah mereka akan terpingkal-pingkal dan menaruh iba kepada saya. Atau mengobar semangat hingga lupa daratan? Atau tunjukkan kreasi yang mampu membikin mereka bisa hidul sampai sekarang? Ada terlintas niatan melawak karena acara lawak paling digemari orang. Rasanya yang belakangan ini ada mengandung harapan. Ketika para calon termasuk saya mesti menjalankan psikotes, ternyata kesimpulannya saya mesti--kalau mau sehat wal afiat -- menyetop semua keinginan jadi calon. Jangan sampai hersisa sedikit pun. Soalnya, lewat selukbeluk ilmu yang saya tidak paham, saya disodorkan hasil penelitian yang menggemparkan: kamu orang memang bukan dungu, apalagi gila, namun tidaklah selayaknya kamu orang duduk di dewan perwakilan. Begitulah kata ilmu dan begitu pula kata kebenaran! Pekerjaan yang paling cocok buat kamu dan juga demi keluarga kamu adalah menjadi makelar. Makelar? Ya, makelar. Tentang jadi makelar apa tidak jadi masalah karena ilmu pengetahuan tidak biasa mencampuri urusan pribadi. Ini suatu keberuntungan buatmu, karena cakrawala kemakelaran hampir-hampir tak ada ujung batasnya. Bahkan - kalau karnu mau tahu - as dunia ini berputar lebih banyak ditentukan oleh tangan makelar dari tangan siapa pun juga. Selamat !

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus