Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut kualitas demokrasi Indonesia menurun setiap tahunnya. Hal ini dia katakan berdasarkan pada riset The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang indeks demokrasi. "Indonesia konsisten turun dua peringkat tiap tahun," ujar Titi saat menghadiri Pilkada Damai 2024 di Jakarta pada Rabu, 5 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) itu memaparkan, demokrasi Indonesia menempati peringkat ke-56 secara global pada 2023. Sebelumnya, pada 2022, Indonesia berada di peringkat ke-54 dan pada 2021 berada di peringkat ke-52. The Economist Intelligence Unit juga sempat merilis data indeks demokrasi pada 2019 di beberapa negara. Indonesia saat itu menempati peringkat 64 dari 167 negara di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai perbandingan, kualitas demokrasi di Malaysia menempati peringkat ke-40 dan India berada di peringkat ke-41 pada 2023. Dengan peringkat yang tertinggal jauh, menurut Titi, Indonesia masuk kategori flawed democracy atau demokrasi cacat. Secara teori, terdapat empat tipe rezim pemerintahan. Selain flawed democracy, ada demokrasi penuh (full democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime).
Titi juga memaparkan tingkat indeks korupsi Indonesia. Menurut dia, indeks persepsi korupsi yang masih rendah tidak berbanding lurus dengan tingginya partisipasi rakyat Indonesia dalam pemilu. "Kita suka akan pemilu tapi tidak aware dengan korupsi," ujarnya.
Titi menyebutkan, Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia pada 2023 berada di skor 34 dari 100 dan membuat Indonesia berada pada peringkat ke-115. Pada 2022, Indonesia berada di peringkat ke-110 dengan skor yang sama.
Secara rinci, Titi menjelaskan skor 34 dari 100 menunjukkan bahwa Indonesia disebut termasuk negara berdemokrasi cacat dan sedang menuju ke kategori non-democratic regime atau rezim tidak demokratis. Sebab, menurut Titi, ambang batas non-democratic regime berada di skor 32 dari 100.
Tak sampai di situ, Titi menegaskan, kemunduran demokrasi itu ditengarai terjadi karena kurangnya budaya politik dan kebebasan berpendapat masyarakat sipil. Dari segi proses elektoral, kata dia, partisipasi publik diperburuk dengan praktik politik uang. "Masyarakat suka pemilu sebagai proses mengganti pemimpin tapi tidak suka dengan demokrasi," ucapnya.
Pilihan Editor: