SEPERTI di tempat lain, masyarakat Tionghoa Medan umumnya juga
dikenal sebagai pedagang. Tapi pertengahan Desember lalu
sebagian dari kelompok ini muncul dengan pernyataan politik yang
cukup berani. Menamakan diri sebagai "bekas pengurus Panitia
Appel Besar Masyarakat Tionghoa Anti RRC Sumatera Utara", mereka
menemui Gubernur EWP Tambunan di kantorna Jalan Diponegoro.
Pernyataan yang ditandatangani oleh Chang Hsuan, Nyam Mun Fok,
Bun Kian Nung dan Hiu Chie Pen itu antara lain minta agar
Pemerintah RI memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC.
Alasannya: Selain RRC pernah membantu G-30-S, juga mau
mencampuri urusan dalam negeri negara tetangga di Asia Tenggara,
dengan mempermasalahkan soal hoa kiau (Tionghoa perantauan).
Pernyataan itu jelas merupakan reaksi terhadap ucapan Wakil PM
RRC Teng Hsiao-p'ing beberapa waktu sebelumnya ketika berkunjung
ke Malaysia. Ketika itu Teng menyatakan tetap akan membantu
gerilya komunis di suatu negara dan menganggap warga Tionghoa di
perantauan yang tidak memilih kewarga-negaraan sesuatu negara
sebagai warga RRC.
Jelasnya orang-orang Tionghoa di Medan itu menolak disebut
sebagai warga RRC. Bahkan meskipun selama ini berstatus
stateless (tak berkewarga-negaraan) orang-orang itu minta
kembali agar Pemerintah RI mau menerima sebagai WNI. Mereka ini
12 tahun lalu, 1966, juga pernah muncul dengan permintaan sama
menjadi WNI. Dan ketika itu selain mengganyang RRC juga Baperki
-- organisasi WNI keturunan Tionghoa yang dekat dengan PKI.
Di Medan, mereka dikenal sebagai kelompok Tionghoa Taiwan.
Sementara kelompok Tionghoa yang sudah WNI, pada saat yang
bersamaan, juga membentuk organisasi semacam dengan nama lampuk
singkatan Kesatuan Aksi Massa Pengganyangan Antek-antek Komunis.
Yang ini dipimpin oleh Tindo, Tan Hock Jin dan Anthony Teng
alias Kartanegara.
Ada tak kurang dari 20.000 orang Taiwan di Medan. Semuanya
berstatus stateless. Sejak dulu mereka menghendaki agar RI
mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat dan utuh. Tapi
lantaran RI belum mengakui Taiwan dan belum membuka hubungan
diplomatik (kecuali hubungan Konsulat, mereka memilih
stateless. Anehnya, bila berada di luar negeri dalam paspor
mereka tertulis "Warganegara Taiwan". Kabarnya mereka
mengurusnya di perwakilan Taiwan di Jakarta.
Curiga
Menurut sebuah sumber di Medan, orang-orang Taiwan itu lebih
suka bila hubungan RI-RRC tetap beku seperti sekarang. Sebab
kalau cair, ada dua hal yang menghantui mereka. Mungkin bisa
diusir dari Indonesia atau dianggap sebagai warga RRC oleh pihak
RRC -seperti dinyatakan oleh Teng itu. Lepas dari itu,
keberanian mereka barangkali lantaran lobby Taiwan di sini,
terutama dalam bisnis, cukup kuat.
Tapi pekan lalu, kepada TEMPO Menlu Mochtar Kusumaatmadja
membantah hal itu. "Ah, itu hanya dugaan saja. Soal lobby itu
bagi saya tidak menjadi soal," ujarnya. Akan halnya kemungkinan
pencairan hubungan RI-RRC, bagi Mochtar sekarang ini "justru
mundur". Hal itu antara lain disebabkan misalnya ucapan Teng
berkali-kali bahwa RRC akan tetap membantu subversi komunis di
Asia Tenggara. Juga sikap RRC tentang masalah hoa-kiau seperti
yang diperlihatkan terhadap hoa-kiau di Vietnam (lihat Kita
Agak Terganggu)
"Belum lagi soal-soal kecil seperti pemunculan bekas tokoh PKI
Yusuf Adjitorop pada saat rombongan KADIN berkunjung ke sana,"
tutur Mochtar. "Buat apa hal itu dilakukan kalau RRC benar-benar
bermaksud membina hubungan baik?" tambahnya. Ucapan Teng lainnya
yang menyatakan bahwa hoa-kiau yang stateless dianggap warga RRC
tentu juga menimbulkan kekhawatiran lain, misalnya kemungkinan
digunakannya orang-orang Tionghoa dalam kegiatan subversi.
Sementara itu, meskipun Pemerintah RI begitu getol menganjurkan
asimilasi alias pembauran di kalangan masyarakat keturunan
Tionghoa, toh adanya kesan curiga terhadap mereka masih sulit
dihilangkan. Kesan seperti itu tampaknya juga tampil sebagai
sikap resmi Pemerintah. Sebagai contoh kegiatan Tim Peneliti
Data Kependudukan DKI. yang memanggil WNI keturunan asing untuk
diteliti kembali surat-surat kewargaan negaranya.
Asal-Usul
Penelitian itu sudah dilakukan sejak 7 Nopember lalu, selama 3
bulan, yang antara lain juga mencatat penduduk berusia di bawah
17 tahun. Tim itu dibentuk berdasarkan SK Gubernur DKI No. 424
tanggal 21 Juni 1977. Banyak warga DKI keturunan Tionghoa yang
gelisah menerima panggilan Kejaksaan Tinggi.
Yang agak janggal kewajiban memiliki formulir KI
(Kewarganegaraan Indonesia) bagi WNI keturunan asing di bawah
umur. Padahal seharusnya anak-anak itu sudah menjadi WNI karena
lahir dari orang yang WNI pula. Maka bisa dimaklumi pula bila
hal itu banyak memancing reaksi. Juga dari pihak Badan
Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Pusat.
"Pendaftaran sih boleh saja. Tapi tidak perlu menyebutkan WNI
keturunan asing atau tidak," kata K. Sindhunata, 45 tahun, Ketua
Umum Bakom-PKB. Maksudnya: seseorang, biar keturunan asli atau
asing, kalau sudah menjadi warganegara Indonesia hendaknya tidak
lagi dipersoalkan asal-usul keturunannya.
Ia juga menyesalkan adanya ketentuan KTP yang lain bagi WNI
keturunan asing, yang dibedakan dari WNI pribumi. Bagi
Sindhunata, ini bertentangan dengan bunyi GBHN yang menghendaki
peningkatan pembauran untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan
bangsa. "Dalam menangani WNI keturunan Cina, Pemerintah Orde
Baru mundur dibanding Orla," kata Sindhu lagi.
Tentang pernyataan politik Tionghoa Taiwan di Medan, bagi Sindhu
hal itu menandakan bahwa mereka masih merupakan kelompok yang
eksklusif. Yang menjadi keinginan Sindhu ialah, pernyataan dari
sekelompok masyarakat keturunan Tionghoa tidak lagi diperlukan,
sebab mereka sudah dianggap berbaur dalam masyarakat bangsa
Indonesia. "Kalau mau menyalurkan aspirasi politik, kan bisa
melalui organisasi politik yang ada. Tidak perlu membentuk
sendiri, " tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini