Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pernyataan Hoa Kiau Di Medan

Masyarakat Cina di Medan menolak dianggap warga RRC. Mereka mengajukan pernyataan politik supaya Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC.

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI di tempat lain, masyarakat Tionghoa Medan umumnya juga dikenal sebagai pedagang. Tapi pertengahan Desember lalu sebagian dari kelompok ini muncul dengan pernyataan politik yang cukup berani. Menamakan diri sebagai "bekas pengurus Panitia Appel Besar Masyarakat Tionghoa Anti RRC Sumatera Utara", mereka menemui Gubernur EWP Tambunan di kantorna Jalan Diponegoro. Pernyataan yang ditandatangani oleh Chang Hsuan, Nyam Mun Fok, Bun Kian Nung dan Hiu Chie Pen itu antara lain minta agar Pemerintah RI memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC. Alasannya: Selain RRC pernah membantu G-30-S, juga mau mencampuri urusan dalam negeri negara tetangga di Asia Tenggara, dengan mempermasalahkan soal hoa kiau (Tionghoa perantauan). Pernyataan itu jelas merupakan reaksi terhadap ucapan Wakil PM RRC Teng Hsiao-p'ing beberapa waktu sebelumnya ketika berkunjung ke Malaysia. Ketika itu Teng menyatakan tetap akan membantu gerilya komunis di suatu negara dan menganggap warga Tionghoa di perantauan yang tidak memilih kewarga-negaraan sesuatu negara sebagai warga RRC. Jelasnya orang-orang Tionghoa di Medan itu menolak disebut sebagai warga RRC. Bahkan meskipun selama ini berstatus stateless (tak berkewarga-negaraan) orang-orang itu minta kembali agar Pemerintah RI mau menerima sebagai WNI. Mereka ini 12 tahun lalu, 1966, juga pernah muncul dengan permintaan sama menjadi WNI. Dan ketika itu selain mengganyang RRC juga Baperki -- organisasi WNI keturunan Tionghoa yang dekat dengan PKI. Di Medan, mereka dikenal sebagai kelompok Tionghoa Taiwan. Sementara kelompok Tionghoa yang sudah WNI, pada saat yang bersamaan, juga membentuk organisasi semacam dengan nama lampuk singkatan Kesatuan Aksi Massa Pengganyangan Antek-antek Komunis. Yang ini dipimpin oleh Tindo, Tan Hock Jin dan Anthony Teng alias Kartanegara. Ada tak kurang dari 20.000 orang Taiwan di Medan. Semuanya berstatus stateless. Sejak dulu mereka menghendaki agar RI mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat dan utuh. Tapi lantaran RI belum mengakui Taiwan dan belum membuka hubungan diplomatik (kecuali hubungan Konsulat, mereka memilih stateless. Anehnya, bila berada di luar negeri dalam paspor mereka tertulis "Warganegara Taiwan". Kabarnya mereka mengurusnya di perwakilan Taiwan di Jakarta. Curiga Menurut sebuah sumber di Medan, orang-orang Taiwan itu lebih suka bila hubungan RI-RRC tetap beku seperti sekarang. Sebab kalau cair, ada dua hal yang menghantui mereka. Mungkin bisa diusir dari Indonesia atau dianggap sebagai warga RRC oleh pihak RRC -seperti dinyatakan oleh Teng itu. Lepas dari itu, keberanian mereka barangkali lantaran lobby Taiwan di sini, terutama dalam bisnis, cukup kuat. Tapi pekan lalu, kepada TEMPO Menlu Mochtar Kusumaatmadja membantah hal itu. "Ah, itu hanya dugaan saja. Soal lobby itu bagi saya tidak menjadi soal," ujarnya. Akan halnya kemungkinan pencairan hubungan RI-RRC, bagi Mochtar sekarang ini "justru mundur". Hal itu antara lain disebabkan misalnya ucapan Teng berkali-kali bahwa RRC akan tetap membantu subversi komunis di Asia Tenggara. Juga sikap RRC tentang masalah hoa-kiau seperti yang diperlihatkan terhadap hoa-kiau di Vietnam (lihat Kita Agak Terganggu) "Belum lagi soal-soal kecil seperti pemunculan bekas tokoh PKI Yusuf Adjitorop pada saat rombongan KADIN berkunjung ke sana," tutur Mochtar. "Buat apa hal itu dilakukan kalau RRC benar-benar bermaksud membina hubungan baik?" tambahnya. Ucapan Teng lainnya yang menyatakan bahwa hoa-kiau yang stateless dianggap warga RRC tentu juga menimbulkan kekhawatiran lain, misalnya kemungkinan digunakannya orang-orang Tionghoa dalam kegiatan subversi. Sementara itu, meskipun Pemerintah RI begitu getol menganjurkan asimilasi alias pembauran di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa, toh adanya kesan curiga terhadap mereka masih sulit dihilangkan. Kesan seperti itu tampaknya juga tampil sebagai sikap resmi Pemerintah. Sebagai contoh kegiatan Tim Peneliti Data Kependudukan DKI. yang memanggil WNI keturunan asing untuk diteliti kembali surat-surat kewargaan negaranya. Asal-Usul Penelitian itu sudah dilakukan sejak 7 Nopember lalu, selama 3 bulan, yang antara lain juga mencatat penduduk berusia di bawah 17 tahun. Tim itu dibentuk berdasarkan SK Gubernur DKI No. 424 tanggal 21 Juni 1977. Banyak warga DKI keturunan Tionghoa yang gelisah menerima panggilan Kejaksaan Tinggi. Yang agak janggal kewajiban memiliki formulir KI (Kewarganegaraan Indonesia) bagi WNI keturunan asing di bawah umur. Padahal seharusnya anak-anak itu sudah menjadi WNI karena lahir dari orang yang WNI pula. Maka bisa dimaklumi pula bila hal itu banyak memancing reaksi. Juga dari pihak Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Pusat. "Pendaftaran sih boleh saja. Tapi tidak perlu menyebutkan WNI keturunan asing atau tidak," kata K. Sindhunata, 45 tahun, Ketua Umum Bakom-PKB. Maksudnya: seseorang, biar keturunan asli atau asing, kalau sudah menjadi warganegara Indonesia hendaknya tidak lagi dipersoalkan asal-usul keturunannya. Ia juga menyesalkan adanya ketentuan KTP yang lain bagi WNI keturunan asing, yang dibedakan dari WNI pribumi. Bagi Sindhunata, ini bertentangan dengan bunyi GBHN yang menghendaki peningkatan pembauran untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. "Dalam menangani WNI keturunan Cina, Pemerintah Orde Baru mundur dibanding Orla," kata Sindhu lagi. Tentang pernyataan politik Tionghoa Taiwan di Medan, bagi Sindhu hal itu menandakan bahwa mereka masih merupakan kelompok yang eksklusif. Yang menjadi keinginan Sindhu ialah, pernyataan dari sekelompok masyarakat keturunan Tionghoa tidak lagi diperlukan, sebab mereka sudah dianggap berbaur dalam masyarakat bangsa Indonesia. "Kalau mau menyalurkan aspirasi politik, kan bisa melalui organisasi politik yang ada. Tidak perlu membentuk sendiri, " tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus