TAMPAKNYA terjadi semacam "persaingan" untuk "membela rakyat"
antara parpol dan Golkar. Selasa pekan lalu anggota DPR Fraksi
PDI Achmad Subagyo mengadakan konperensi pers. Ia melaporkan
hasil peninjauannya yang mengungkapkan rihuan petani penggarapan
tanah PT Perkebunan XXVII Jember kini gelisah karena mendapat
perlakuan yang tidak adil. Mula-mula tanaman padi dan kedelai
mereka dibabat oknum-oknum perkebunan tanpa ganti rugi. April
lalu Direktur Utama PTP XXVII bersama Bupati Jember mencabut hak
garap para petani dalam rangka menertibkan pengelolaan tanah
garapan.
Dengan restu Bupati kemudian Dirut TP mengadakan pengkaplingan
kembali sekaligus menetapkan para penggarap baru. Mereka adalah
petani penggarap lama yang patuh dan penduduk bukan penggarap
yang dinilai mempunyai loyalitas serta ikut aktif dalam kegiatan
PTP. Tiap penggarap mendapat jatah sama 0,30 Ha. Rakyat
penggarap lama yang merasa diperlakukan tidak adil tidak
mendapat bantuan dari pimpinan desa setempat. Malahan menurut
Subagyo ada oknum pamong desa termasuk Muspidanya yang justru
mendapat prioritas dalam pembagian tanah garapan itu.
Di hari yang sama anggota Fraksi Karya Pembangunan (FKP) Warsito
Puspojo menjelaskan pada Suara Karya, dalam menghadapi dan
menyelesaikan kasus tanah, Golkar tetap berpihak pada
kepentingan rakyat kecil termasuk petani. Kendati demikian
Golkar tidak menghendaki "adanya praktek a la BTI dari sementara
pihak yang berdalih memperjuangkan petani kecil." Ia
mengemukakan kasus PTP XXVII Jember sebagai contoh. FKP
menyetujui tindakan PTP dan Pemda Jawa Timur menertibkan
pengelolaan tanah. Herregistrasi yang diadakan sesuai dengan
prinsip pemerataan sebagaimana termuat dalam deklarasi
pembangunan Golkar. "Lebih-leblh karena yang menerima pembagian
penggarapan tanah itu betul-betul petani penggarap," katanya.
Apa yang sebetulnya terjadi?
Cap Jempol
Tanah yang diramaikan ini semula dikuasai perkebunan tembakau
Belanda NV LMOD. Pada 1918 penduduk diperolehkan membuka hutan
di tanah ini dengan perjanjian 5 bulan dalam 2 tahun mereka
harus menanaminya dengan tembakau yang dibeli LMOD. Tidak ada
perjanjian berapa lama hak garap ini diberikan. Kenyataannya
penggarapan ini dilakukan turun temurun hingga tidak
terhindarkan adanya tanah yang berpindah tangan. Baru pada 5
Agustus 1971 ada keputusan Direksi PTP XXVII yang membatasi hak
garap menjadi 5 tahun, tidak boleh dijual-belikan dan harus
patuh pada peraturan PTP.
Banyak penggarap yang percaya keributan ini terjadi akibat ekses
Pemilu. Seperti cerita Basuki Arif (35 tahun), pada Maret 1977
ada 70 Ha tanah PTP yang dilarang digarap oleh pamong desa
lantaran petaninya tidak mau cap jempol masuk Golkar. Beberapa
yang melawan malahan dipukuli dan ditahan di Koramil. Tanaman
yang hampir panen juga dicabut oleh pamong desa. Semua ini, kata
Basuki, sudah dilaporkan pada berbagai pejabat termasuk Opstib
Pusat. "Kalau saya punya uang juga akan menghadap DPR," katanya.
Mereka juga ditarik uang tahunan oleh pamong desa yang besarnya
tidak sama tanpa kwitansi pula. "Ada yang sampai Rp 20.000.
Anehnya ketika saya tanyakan ke PTP mereka tidak pernah menerima
uang itu," kata Basuki.
Bupati Jember Abdulhadi membantah pelarangan itu. Yang terjadi
adalah penertiban oleh PTP atas tanahnya yang digarap rakyat.
"Pencabutan tanaman memang ada, tapi lantaran itu ditanam pada
saat tanah harus ditanami tembakau," katanya pada TEMPO. Ada
3250 Ha tanah PTP yang semula digarap 5537 penggarap yang tidak
sama bagiannya. Tidak samanya itu karena adanya jual beli hak
garap yang sebetulnya terlarang. Jatuhnya tanah ke penduduk luar
juga menyebabkan sulitnya pengaturan musim tanam tembakau.
Willy
Karenanya 15 Juli lalu dilakukan pengkaplingan kembali. Ada 6632
penggarap yang masing-masing mendapat hak garap 0,30 Ha untuk
waktu 5 tahun. Petani yang sebelumnya mempunyai hak garap lebih
dari itu tentu saja merasa dirugikan. "Kami mendapat hak garap
itu atas jerih payah sendiri membuka hutan. Kalau dibagi rata
begini yang dulu tidak ikut membabat hutan kan enak," kata
Basuki. Apalagi kemudian ada tanah yang disewakan pada orang
luar, antara lain seorang non pribumi yang bernama Willy.
Beredar juga desas-desus adanya pejabat setempat yang menaapat
bagian. Banyak yang percaya desas-desus ini karena kalau
dikalikan, semua petani itu hanya menggarap 1989,6 Ha, padahal
luas tanah sebelumnya 3250 Ha.
Gubernur Jawa Timur Sunandar Prijosudarmo begitu menerima
pengaduan langsung mengadakan pertemuan dengan semua pejabat
yang terkait. "Saya mendapat jaminan tidak ada pejabat yang
mendapat bagian," kata Sunandar pada TEMPO Sabtu lalu. Diakuinya
ada sebagian tanah yang tidak ikut dibagi karena direncanakan
untuk kebun pembibitan dan tempat gudang. "Selama belum bisa
membangun gudang dan menggarap kebun bibit, tanah itu digarap
daripada nganggur," katanya. Ia belum tahu apakah ada sebagian
tanah ini yang disewakan.
8 Desember lalu Gubernur mengeluarkan instruksi agar pembagian
dilakukan secara adil. Misalnya bagi petani yang sebelumnya
menggarap lebih dari 0,30 Ha tidak hanya kepala keluarga saja
yang dapat, tapi juga anaknya yang dewasa. "Supaya jangan
terlalu drastis,"ujarnya.
"Yang benar adalah cerita Warsito Puspojo dari FKP," kata Dirjen
Agraria Darjono pada Klarawijaya dari TEMPO. Yang ribut menurut
Darjono hanya bberapa orang saja yang rupanya menghasut orang
lain. Ditjen Agraria tidak akan mencampuri sengketa ini dan
menyerahkan penyelesaiannya pada pemerintah daerah.
Ditinjau
"Fraksi PDI tetap pada pendirian yang dikemukakan Achmad Subagyo
" kata Wakil Ketua F-PDI Sabam Sirait. Ia tidak bersedia
menanggapi pernyataan Warsito Semua bahan dari fraksi
disampaikan pada Komisi 11 DPR yang akan membentuk tim formil
yang akan mengadakan peninjauan kembali secara gabungan. Laporan
Subagyo didapat secara lengkap lewat jalur partai, pemerintah
daerah dan PTP. Ukuran 0,30 Ha menurut Sabam sebenarnya tidak
cukup untuk menghidupi satu keluarga dengan 5 orang. "Kami tidak
akan mencegah seorang memiliki tanah yang sesuai dengan
kemampuannya mengolah asalkan dalam batas UU Pokok Agraria,"
katanya.
Fraksi Persatuan Pembangunan lewat Wakil Sekretaris Fraksi M.
Zamroni mengharapkan agar kebijaksanaan-kebijaksanaan PTP XXVII
ditinjau kembali agar petani penggarap tidak dirugikan.
Penertiban lewat penciutan hak garap menurut FPP tidak ada dasar
hukumnya. Ia mensinyalir, ada 75 Ha tanah yang tidak dibagikan
akan disewakan pada seorang pemilik pabrik. Petani yang dianggap
bersalah karena memindahkan hak garapnya dengan sepengetahuan
Lurah setempat sebenarnya bisa ditertibkan menurut kewajaran
yang bersifat obyektif. FPP, kata Zamroni, mendukung apabila
mereka yang benar bersalah diambil tindakan tapi tidak
sependapat kalau pengkaplingan kembali hanya untuk menciutkan
hak garap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini