Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sengketa Tanah Makin Laris

Petani penggarap tanah PTP XXVII Jember ditertibkan. Yang tidak mentaati ketentuan tanam tembakau, ladangnya dicabut. Dilakukan pengaplingan kembali masing-masing seluas 0,30 ha.

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPAKNYA terjadi semacam "persaingan" untuk "membela rakyat" antara parpol dan Golkar. Selasa pekan lalu anggota DPR Fraksi PDI Achmad Subagyo mengadakan konperensi pers. Ia melaporkan hasil peninjauannya yang mengungkapkan rihuan petani penggarapan tanah PT Perkebunan XXVII Jember kini gelisah karena mendapat perlakuan yang tidak adil. Mula-mula tanaman padi dan kedelai mereka dibabat oknum-oknum perkebunan tanpa ganti rugi. April lalu Direktur Utama PTP XXVII bersama Bupati Jember mencabut hak garap para petani dalam rangka menertibkan pengelolaan tanah garapan. Dengan restu Bupati kemudian Dirut TP mengadakan pengkaplingan kembali sekaligus menetapkan para penggarap baru. Mereka adalah petani penggarap lama yang patuh dan penduduk bukan penggarap yang dinilai mempunyai loyalitas serta ikut aktif dalam kegiatan PTP. Tiap penggarap mendapat jatah sama 0,30 Ha. Rakyat penggarap lama yang merasa diperlakukan tidak adil tidak mendapat bantuan dari pimpinan desa setempat. Malahan menurut Subagyo ada oknum pamong desa termasuk Muspidanya yang justru mendapat prioritas dalam pembagian tanah garapan itu. Di hari yang sama anggota Fraksi Karya Pembangunan (FKP) Warsito Puspojo menjelaskan pada Suara Karya, dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus tanah, Golkar tetap berpihak pada kepentingan rakyat kecil termasuk petani. Kendati demikian Golkar tidak menghendaki "adanya praktek a la BTI dari sementara pihak yang berdalih memperjuangkan petani kecil." Ia mengemukakan kasus PTP XXVII Jember sebagai contoh. FKP menyetujui tindakan PTP dan Pemda Jawa Timur menertibkan pengelolaan tanah. Herregistrasi yang diadakan sesuai dengan prinsip pemerataan sebagaimana termuat dalam deklarasi pembangunan Golkar. "Lebih-leblh karena yang menerima pembagian penggarapan tanah itu betul-betul petani penggarap," katanya. Apa yang sebetulnya terjadi? Cap Jempol Tanah yang diramaikan ini semula dikuasai perkebunan tembakau Belanda NV LMOD. Pada 1918 penduduk diperolehkan membuka hutan di tanah ini dengan perjanjian 5 bulan dalam 2 tahun mereka harus menanaminya dengan tembakau yang dibeli LMOD. Tidak ada perjanjian berapa lama hak garap ini diberikan. Kenyataannya penggarapan ini dilakukan turun temurun hingga tidak terhindarkan adanya tanah yang berpindah tangan. Baru pada 5 Agustus 1971 ada keputusan Direksi PTP XXVII yang membatasi hak garap menjadi 5 tahun, tidak boleh dijual-belikan dan harus patuh pada peraturan PTP. Banyak penggarap yang percaya keributan ini terjadi akibat ekses Pemilu. Seperti cerita Basuki Arif (35 tahun), pada Maret 1977 ada 70 Ha tanah PTP yang dilarang digarap oleh pamong desa lantaran petaninya tidak mau cap jempol masuk Golkar. Beberapa yang melawan malahan dipukuli dan ditahan di Koramil. Tanaman yang hampir panen juga dicabut oleh pamong desa. Semua ini, kata Basuki, sudah dilaporkan pada berbagai pejabat termasuk Opstib Pusat. "Kalau saya punya uang juga akan menghadap DPR," katanya. Mereka juga ditarik uang tahunan oleh pamong desa yang besarnya tidak sama tanpa kwitansi pula. "Ada yang sampai Rp 20.000. Anehnya ketika saya tanyakan ke PTP mereka tidak pernah menerima uang itu," kata Basuki. Bupati Jember Abdulhadi membantah pelarangan itu. Yang terjadi adalah penertiban oleh PTP atas tanahnya yang digarap rakyat. "Pencabutan tanaman memang ada, tapi lantaran itu ditanam pada saat tanah harus ditanami tembakau," katanya pada TEMPO. Ada 3250 Ha tanah PTP yang semula digarap 5537 penggarap yang tidak sama bagiannya. Tidak samanya itu karena adanya jual beli hak garap yang sebetulnya terlarang. Jatuhnya tanah ke penduduk luar juga menyebabkan sulitnya pengaturan musim tanam tembakau. Willy Karenanya 15 Juli lalu dilakukan pengkaplingan kembali. Ada 6632 penggarap yang masing-masing mendapat hak garap 0,30 Ha untuk waktu 5 tahun. Petani yang sebelumnya mempunyai hak garap lebih dari itu tentu saja merasa dirugikan. "Kami mendapat hak garap itu atas jerih payah sendiri membuka hutan. Kalau dibagi rata begini yang dulu tidak ikut membabat hutan kan enak," kata Basuki. Apalagi kemudian ada tanah yang disewakan pada orang luar, antara lain seorang non pribumi yang bernama Willy. Beredar juga desas-desus adanya pejabat setempat yang menaapat bagian. Banyak yang percaya desas-desus ini karena kalau dikalikan, semua petani itu hanya menggarap 1989,6 Ha, padahal luas tanah sebelumnya 3250 Ha. Gubernur Jawa Timur Sunandar Prijosudarmo begitu menerima pengaduan langsung mengadakan pertemuan dengan semua pejabat yang terkait. "Saya mendapat jaminan tidak ada pejabat yang mendapat bagian," kata Sunandar pada TEMPO Sabtu lalu. Diakuinya ada sebagian tanah yang tidak ikut dibagi karena direncanakan untuk kebun pembibitan dan tempat gudang. "Selama belum bisa membangun gudang dan menggarap kebun bibit, tanah itu digarap daripada nganggur," katanya. Ia belum tahu apakah ada sebagian tanah ini yang disewakan. 8 Desember lalu Gubernur mengeluarkan instruksi agar pembagian dilakukan secara adil. Misalnya bagi petani yang sebelumnya menggarap lebih dari 0,30 Ha tidak hanya kepala keluarga saja yang dapat, tapi juga anaknya yang dewasa. "Supaya jangan terlalu drastis,"ujarnya. "Yang benar adalah cerita Warsito Puspojo dari FKP," kata Dirjen Agraria Darjono pada Klarawijaya dari TEMPO. Yang ribut menurut Darjono hanya bberapa orang saja yang rupanya menghasut orang lain. Ditjen Agraria tidak akan mencampuri sengketa ini dan menyerahkan penyelesaiannya pada pemerintah daerah. Ditinjau "Fraksi PDI tetap pada pendirian yang dikemukakan Achmad Subagyo " kata Wakil Ketua F-PDI Sabam Sirait. Ia tidak bersedia menanggapi pernyataan Warsito Semua bahan dari fraksi disampaikan pada Komisi 11 DPR yang akan membentuk tim formil yang akan mengadakan peninjauan kembali secara gabungan. Laporan Subagyo didapat secara lengkap lewat jalur partai, pemerintah daerah dan PTP. Ukuran 0,30 Ha menurut Sabam sebenarnya tidak cukup untuk menghidupi satu keluarga dengan 5 orang. "Kami tidak akan mencegah seorang memiliki tanah yang sesuai dengan kemampuannya mengolah asalkan dalam batas UU Pokok Agraria," katanya. Fraksi Persatuan Pembangunan lewat Wakil Sekretaris Fraksi M. Zamroni mengharapkan agar kebijaksanaan-kebijaksanaan PTP XXVII ditinjau kembali agar petani penggarap tidak dirugikan. Penertiban lewat penciutan hak garap menurut FPP tidak ada dasar hukumnya. Ia mensinyalir, ada 75 Ha tanah yang tidak dibagikan akan disewakan pada seorang pemilik pabrik. Petani yang dianggap bersalah karena memindahkan hak garapnya dengan sepengetahuan Lurah setempat sebenarnya bisa ditertibkan menurut kewajaran yang bersifat obyektif. FPP, kata Zamroni, mendukung apabila mereka yang benar bersalah diambil tindakan tapi tidak sependapat kalau pengkaplingan kembali hanya untuk menciutkan hak garap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus