Tiga kontestan pemilu serius menyiapkan program dan tema yang bakal ditawarkan dalam kampanye nanti. Ada antimonopoli, upah buruh rendah, PHK, dan "wong cilik". PEMILIHAN umum masih delapan bulan lagi, tapi para petanding sudah mulai bersiap-siap. Itulah yang terasa sepanjang pekan lalu di markas Golkar dalam rapat pimpinan. Salah satu acara pokoknya adalah membahas dan mengevaluasi langkah-langkah Golkar menghadapi pemilu nanti. Tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri, selaku Ketua Dewan Pembina Golkar mengingatkan pentingnya rapim terakhir menjelang pemilu ini. "Pemilihan umum merupakan saat menentukan kelangsungan hidup organisasi politik. Naik turunnya perolehan suara merupakan ukuran kepercayaan yang diberikan rakyat, " demikian salah satu butir sambutan tertulis Pak Harto dalam pembukaan Rapim. Bagi Golkar, Pemilu 1992 memang terasa berat. Warisan pengurus lama yang berhasil menggaet hampir 73 persen suara dalam pemilu 1987 sungguh sebuah beban yang tak ringan untuk dipertahankan. Tugas berat ini juga mesti dicapai lewat pemilu yang lebit berkualitas, yang bisa diartikan bebas dari tuduhan adanya pelanggaran di sana-sini untuk keuntungan Golkar, yang masih sering dikeluhkan oleh parpol lain. Ini tekad Golkar sejak awal yang oleh Wahono, sang ketua umum, disebut sebagai, "Menang secara kesatria. Bukan dengan cara buto alias raksasa." Seorang pejabat Golkar lantas merinci beberapa masalah di luar organisasi yang mesti dipikirkan. Misalnya, soal pertumbuhan ekonomi yang belakangan melambat karena kebijakan uang ketat. Masih ada juga soal lama yang sudah dirumuskan sejak Rapim 1990 lalu yang masih menjadi masalah. Tanah dan buruh adalah beberapa contoh. Di luar itu semua, Golkar juga mesti menghitung perubahan di dua kontestan lain. "PPP, misalnya, mulai menggalang kembali pemilih tradisional yang meninggalkannya dalam Pemilu 1987, mereka juga mulai merangkul cendekiawan dan intelektual," kata seorang petinggi Golkar. PPP dalam pemilu 1992 nanti, menurut salah seorang pejabatnya, memang memproyeksikan kenaikan 50 persen. Sedangkan upaya merangkul generasi muda dan purnawirawan ABRI, serta wong cilik, menurut sumber tadi, dinilai menjadi tantangan serius. Namun, Sekjen Golkar Rachmat Witoelar menegaskan, Golkar tak terlalu memusingkan apa yang ditawarkan partai lain. "Tak ada lirik-lirikan, ini kan bukan pertandingan bola," katanya. Untuk menggalang suara, menurut Rachmat, Golkar tetap berkampanye dengan tema yang selama ini menjadi trade mark. Maka, Golkar akan tetap mengajukan soal kesinambungan pembangunan sebagai tema pokok, ditambah beberapa sorotan yang realistis. "Maksudnya, kami juga akan menguraikan beberapa koreksi yang perlu diambil ," Rachmat menjelaskan. Koreksi yang disebut Rachmat sudah nampak dalam pernyataan politik Golkar yang dibacakan Minggu malam lalu, di tengah acara peringatan HUT ke-27 yang juga dihadiri Pak Harto. Misalnya, butir ketujuh yang menyinggung soal perlunya kebijaksanaan nasional untuk mencegah praktek monopoli yang merugikan masyarakat. Atau butir kedelapan yang dengan telak mengkritik pengusaha yang kurang memperhatikan upah pekerja. Bisa jadi, ini kebetulan atau memang strategi masing-masing pihak. Tema-tema yang dipilih dua kontestan lain tak banyak beranjak dari sorotan Golkar. PPP misalnya, menyodorkan tema yang cukup "menantang". "Peningkatan kualitas pembangunan yang berwawasan kebenaran, keadilan, dan demokrasi menyongsong era kebangkitan nasional kedua." Dari sini PPP menarik persoalan dengan membahas masalah kesenjangan. "Pembangunan sudah berjalan baik, namun perlu adanya penekanan dalam pemerataan," kata Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum PPP. Buya Ismail juga menyebut perlunya mengurangi sektor ekonomi yang cenderung monopolistis. Penjabaran lain yang juga akan mendapat penekanan adalah soal keseimbangan antara pembangunan politik dan ekonomi. "Kami masih melihat perlunya keseimbangan di dua bidang itu," kata Buya. PDI, juga tak akan berkisar jauh dari yang disodorkan Golkar dan PPP. Garis besar isu yang akan diangkat PDI adalah masalah demokratisasi politik dan ekonomi serta kesenjangan dan pemerataan pembangunan. "Saya melihat masalah kenegaraan untuk 5 tahun mendatang masih sama," kata Soerjadi, Ketua Umum PDI. Salah satu "jualan" PDI yang bakal dilontarkan dalam kampanye nanti, sesuai dengan tema besar tadi, adalah rencana mengajukan rancangan undang-undang antimonopoli. "Sekarang bukan zamannya slogan lagi, yang penting bagaimana menjalankan Pancasila dan UUD 45 dalam bentuk kongkret," tutur sebuah sumber di PDI. Sebenarnya, sejak dua tahun yang lalu RUU antimonopoli ini sudah siap disusun. Bahkan jika diajukan saat itu, suasananya bakal pas dengan perdebatan tentang merebaknya konglomerasi yang sedang seru berlangsung. Namun, PDI lebih suka menyimpannya sebagai "senjata andalan" untuk Pemilu 1992 nanti. Tentu saja di luar "perang jual kecap" tiap kontestan tetap akan memanfaatkan basis pemilihnya masing-masing. Maka ada kemungkinan adu argumentasi dalam program ini tak banyak berpengaruh dalan perolehan suara. Namun, tentu tak bisa diabaikan, para kontestan bisa lebih serius mengadu programnya dalam kesempatan langka ini. Kalau ini terus dibudayakan, ikatan-ikatan primordial yang selama in membelenggu tentu bisa ditanggalkan. Yopie Hidayat, Bambang Sudjatmoko (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini