Golkar tak berniat mengajukan calon presiden sebelum SU-MPR 1993. Mengoreksi pengalaman rekayasa kebulatan tekad? ADA satu hal yang hilang dalam puncak peringatan Hari Ulang Tahun Golkar kali ini. Lima tahun yang lalu, yang juga setahun menjelang pemilu, resepsi HUT Golkar -diwarnai dengan pidato tanpa teks dari Pak Harto. Itulah saat bersejarah, ketika Pak Harto mengungkapkan perasaan miris ketika didukung dan dicalonkan kembali secara resmi oleh Golkar. Kali ini, Golkar mengubah tradisi. "Calon Presiden dari Golkar baru diumumkan pada saat yang tepat sesuai dengan mekanisme politik yang saat ini berlaku," begitulah pernyataan resmi yang keluar dari Golkar. Artinya nama calon presiden belum akan keluar dari kantung beringin sampai sidang umum MPR 1993. Persoalan ini jadi menarik ditelaah sebab, sampai sekarang, tampaknya belum ada calon presiden lain yang bisa menandingi Pak Harto. Terlebih lagi, hanya seminggu sebelum Rapim Golkar yang ditutup Sabtu pekan lalu, PPP tiba-tiba saja menyatakan secara terbuka mencalonkan Pak Harto sebagai presiden RI untuk masa jabatan 1993-1998. Tak mengherankan jika kemudian muncul dugaan, Golkar pun akan melakukan tindakan yang sama. Namun begitulah, dugaan itu ternyata tak terwujud. Sekjen Golkar Rachmat Witoelar menganggap tindakan Golkar menyimpan nama calon presiden sampai saat yang tepat itu sebagai suatu koreksi. "Kami ingin meluruskan sesuatu yang memang harus diluruskan," katanya. Seorang pejabat yang lain, Wakil Sekjen Usman Hasan, menambahkan, dengan melakukan koreksi itu bukan berarti ada yang salah. Itu merupakan perbaikan dari kebiasaan lama. Dari semula, Ketua Umum Golkar Wahono memang agak kurang sreg dengan cara pencalonan ala kebulatan tekad yang mendahului Sidang Umum MPR untuk pencalonan presiden. Tak lama setelah terpilih sebagai ketua umum, 1988 lalu, Wahono sempat menyatakan kepada TEMPO, bahwa rekayasa ala kebulatan tekad tak sesuai dengan keinginan Golkar untuk menang secara kesatria. "Itu cara buto," katanya waktu itu. Beleid ini tampaknya konsisten dijalankan. Salah satu alasan yang sekarang dilontarkan adalah, Golkar betul-betul ingin menanamkan persepsi bahwa pemilu bukanlah dilakukan untuk memilih presiden, melainkan memilih para wakil rakyat yang akan duduk di badan legislatif. "Yang dikompetisikan dalam pemilu bukanlah calon presiden, melainkan program dari kontestan," kata Usman Hasan. Dengan tidak menyebutkan nama calon presiden sebagai sandaran, Golkar tampaknya ingin menguji dalamnya air. Apakah lontaran program-program dalam kampanye nanti sudah cukup kuat digunakan sebagai penangguk suara. Dan tampaknya persiapan serius juga dilakukan. Salah satunya sudah dirumuskan dalam Rapim tadi. Golkar berhasil menyusun sumbangan berupa Pokok-Pokok Pikiran Golkar tentang Garis Besar Haluan Negara, yang oleh Rachmat Witoelar disebut sebagai masterpiece. "Tindakan yang tepat memang begini. Kita pikirkan dulu programnya, baru nanti dicari orang yang tepat untuk menjalankan program itu," kata Rachmat. Salah satu alasan yang diuraikannya adalah, presiden adalah mandataris MPR yang bertugas menjalankan GBHN. Itu sebabnya sekarang Golkar memilih untuk menyumbangkan pemikirannya tetang GBHN terlebih dahulu ketimbang mencari calon presiden. Langkah Golkar mau merebut 74 juta suara -dari hampir 110 juta pemilih --tanpa rekayasa kebulatan tekad dan pencalonan presiden tampaknya akan diuji. Sudah waktunyakah pemilih memberikan suara hanya dengan mempertimbangkan program kontestan. Sandra Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini