Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia/Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai terdapat dua persoalan dalam Pilkada 2020. Pertama, terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dianggap belum menjadi sistem pengawasan atau kontrol secara efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Misalnya, ujar dia, berapa banyak seseorang yang taat melapor LHKPN setelah terpilih, namun apakah materi LHKPN diisi secara jujur, muslihat, atau campuran keduanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini perlu panduan-panduan untuk menolong calon-calon kepala daerah bisa memiliki kepercayaan diri bahwa LHKPN sebagai sistem moral yang dijadikan instrumen yang perlu dipahami, bukan dipungkiri,” ujar Busyro Muqoddas dalam webinar pada Rabu, 21 Oktober 2020.
Adapun persoalan kedua, katanya, mengenai mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Busyro menganggap APBD harus berdasarkan kepentingan masyarakat sipil, seperti pemberdayaan terhadap petani atau nelayan.
Contoh lainnya, isu kampanye apa yang berkolerasi dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Bagi dia, tata ruang di daerah tak lepas dari incaran kekuatan modal, sehingga membuat rakyat tak bisa memanfaatkan lahan-lahan tersebut.
Dia menilai dua persoalan itu perlu dihadapi dengan memainkan peran masyarakat sipil bersama lembaga pemerintah untuk membuat konsep demokratisasi yang mengatur aktivitas pasca pilkada.
“Demokratisasi itu butuh konsep, terutama pasca pilkada. Kalau sekedar pilkada kita sudah rutin,” ucap dia.
Karena itu, dia menilai isu-isu kampanye seharusnya diatur dalam kerangka demokratisasi sehingga siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah betul-betul kepala daerah cerminan dari rakyat.
"Represent of the people, bukan of the parpol (partai politik) atau koalisi parpol,” ungkap Busyro.
MUHAMMAD BAQIR