Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Politik Uang Partai Banteng

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARANG itu tercoreng ke wajah PDI Perjuangan justru pada saat Partai Banteng itu hendak berkongres. Permainan politik uang mengguncang wakil-wakil rakyat Partai Banteng itu dalam pemilihan Wali Kota Medan. Sebuah ironi, mungkin juga kisah sedih.

PDI-P adalah partai terbesar di DPRD Medan, dengan 16 kursi dari 45 kursi. Namun, dalam pemilihan wali kota pekan silam, Ridwan Batubara—calon partai itu yang direstui Dewan Pimpinan Pusat PDI-P di Jakarta—harus gigit jari dengan hanya meraih empat suara. Ridwan kalah telak dari Abdillah, calon asal Partai Golkar, yang merebut 35 suara. Calon lainnya, Zaufi Lubis, juga dari PDI-P, kempis dengan enam suara.

Duitlah yang lalu dituding menjadi penyebab kekalahan. Massa partai itu meledak dalam amarah dan menyandera para wakilnya. Dan dari situ kemudian terbongkar aroma tak sedap. Masing-masing wakil PDI-P mengaku menerima Rp 25 juta dari Abdillah. Seorang kader PDI-P setempat bahkan bercerita bagaimana enam anggota DPRD PDI-P yang diduga keras membelot, masing-masing Marudut Nadapdap, Tonnes Gultom, J.D. Sihaloho, Manan Sembiring, Ronald Lumban Gaol, dan Saut Situmeang, menerima lebih banyak: Rp 225 juta per orang. Uang ini diterima dua kali. Mula-mula Rp 75 juta lalu sisanya Rp 150 juta.

Namun, pengakuan itu belakangan dikoreksi. Lima dari enam pembelot mengatakan terpaksa mengaku menerima suap karena merasa jiwanya terancam oleh amukan massa. Tonnes, misalnya, mengatakan bahwa dia memilih Abdillah sesuai dengan hati nuraninya. ”Abdillah-lah yang cocok sebagai wali kota,” katanya.

Mereka juga mengoreksi surat pernyataan di atas segel yang mereka tandatangani di tengah kerumunan massa, yang isinya menyatakan mundur dari DPRD sebagai bentuk penyesalan. Namun, ditemui TEMPO Kamis pekan lalu, Tonnes dan kawan-kawannya mengatakan hanya akan mundur setelah diberi kesempatan menjelaskan persoalannya di depan Kongres PDI-P Semarang.

Bagaimanapun, isu politik uang memang hanya satu soal di sini. PDI-P Medan tampak tidak memiliki strategi bagus untuk memenangkan calonnya. Dukungan mereka terbelah dalam dua calon, Ridwan dan Zaufi. Bahkan, jika semua wakil PDI-P mendukung satu calon saja, misalnya 16 suara untuk Ridwan, belum tentu Ridwan menang. Apalagi jika terbelah. PDI-P tidak menggenggam mayoritas mutlak dalam jumlah kursi.

Januari lalu, peristiwa serupa—konon melibatkan uang pula—terjadi di Semarang. PDI-P terbelah mendukung dua calon wali kota: Soetjipto dan Sukawi Soetarip. Beruntung kali ini partai itu sukses. Namun, bukan tanpa kontroversi. Sukawi menjadi wali kota setelah merontokkan Soetjipto, calon yang justru direstui Ketua Umum Megawati Sukarnoputri.

Di samping politik uang dan perpecahan dalam tubuhnya sendiri, ketidakmampuan PDI-P dalam menjalin koalisi dengan partai lain adalah titik lemahnya pula. Itu tak hanya terjadi di daerah, melainkan juga di pusat, seperti terbukti dari gagalnya Megawati menduduki kursi presiden.

Arif Zulkifli, Bambang Soedjiartono (Medan), Adi Prasetya (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus