Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PDI-P adalah partai terbesar di DPRD Medan, dengan 16 kursi dari 45 kursi. Namun, dalam pemilihan wali kota pekan silam, Ridwan Batubara—calon partai itu yang direstui Dewan Pimpinan Pusat PDI-P di Jakarta—harus gigit jari dengan hanya meraih empat suara. Ridwan kalah telak dari Abdillah, calon asal Partai Golkar, yang merebut 35 suara. Calon lainnya, Zaufi Lubis, juga dari PDI-P, kempis dengan enam suara.
Duitlah yang lalu dituding menjadi penyebab kekalahan. Massa partai itu meledak dalam amarah dan menyandera para wakilnya. Dan dari situ kemudian terbongkar aroma tak sedap. Masing-masing wakil PDI-P mengaku menerima Rp 25 juta dari Abdillah. Seorang kader PDI-P setempat bahkan bercerita bagaimana enam anggota DPRD PDI-P yang diduga keras membelot, masing-masing Marudut Nadapdap, Tonnes Gultom, J.D. Sihaloho, Manan Sembiring, Ronald Lumban Gaol, dan Saut Situmeang, menerima lebih banyak: Rp 225 juta per orang. Uang ini diterima dua kali. Mula-mula Rp 75 juta lalu sisanya Rp 150 juta.
Namun, pengakuan itu belakangan dikoreksi. Lima dari enam pembelot mengatakan terpaksa mengaku menerima suap karena merasa jiwanya terancam oleh amukan massa. Tonnes, misalnya, mengatakan bahwa dia memilih Abdillah sesuai dengan hati nuraninya. ”Abdillah-lah yang cocok sebagai wali kota,” katanya.
Mereka juga mengoreksi surat pernyataan di atas segel yang mereka tandatangani di tengah kerumunan massa, yang isinya menyatakan mundur dari DPRD sebagai bentuk penyesalan. Namun, ditemui TEMPO Kamis pekan lalu, Tonnes dan kawan-kawannya mengatakan hanya akan mundur setelah diberi kesempatan menjelaskan persoalannya di depan Kongres PDI-P Semarang.
Bagaimanapun, isu politik uang memang hanya satu soal di sini. PDI-P Medan tampak tidak memiliki strategi bagus untuk memenangkan calonnya. Dukungan mereka terbelah dalam dua calon, Ridwan dan Zaufi. Bahkan, jika semua wakil PDI-P mendukung satu calon saja, misalnya 16 suara untuk Ridwan, belum tentu Ridwan menang. Apalagi jika terbelah. PDI-P tidak menggenggam mayoritas mutlak dalam jumlah kursi.
Januari lalu, peristiwa serupa—konon melibatkan uang pula—terjadi di Semarang. PDI-P terbelah mendukung dua calon wali kota: Soetjipto dan Sukawi Soetarip. Beruntung kali ini partai itu sukses. Namun, bukan tanpa kontroversi. Sukawi menjadi wali kota setelah merontokkan Soetjipto, calon yang justru direstui Ketua Umum Megawati Sukarnoputri.
Di samping politik uang dan perpecahan dalam tubuhnya sendiri, ketidakmampuan PDI-P dalam menjalin koalisi dengan partai lain adalah titik lemahnya pula. Itu tak hanya terjadi di daerah, melainkan juga di pusat, seperti terbukti dari gagalnya Megawati menduduki kursi presiden.
Arif Zulkifli, Bambang Soedjiartono (Medan), Adi Prasetya (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo