Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Protes ekspedisi zaman batu protes film ekspedisi zaman batu

Film "ekspedisi pencarian harta karun" atau the stone age warrior diprotes masyarakat suku dani karena ratusan figuran suku dani memakai koteka. dianggap merusak kampanye berbusana.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suku Dani memprotes film Ekspedisi Pencarian Harta Karun karena menampilkan koteka. OOO ... Wey ... Oo ...! Pekik peperangan prajurit-prajurit suku Dani melengking di Lembah Baliem, Irian Jaya. Genderang perang bertalu-talu. Desingan anak panah dan soge (tombak) beradu berbaur dengan jerit prajurit yang terluka. Densingan kapak batu dan alat perang tradisional lainnya meramaikan perang di Desa Aikima, Kabupaten Jayawijaya itu. Perang kali ini melibatkan sekitar 700 orang suku Dani yang hanya berbusana holim (koteka) dan corat-coret hiasan perang. Ini bukan perang sungguh-sungguh meski perang antarsuku masih terjadi di Lembah Baliem, terakhir tercatat pada Juli 1988. Adegan tadi adalah cuplikan film The Stone Age Warrior (Prajurit Zaman Batu) produksi patungan PT Tobali Indah Film dan Golden Gates Film Hong Kong. Film dengan biaya produksi Rp 2 milyar ini mengambil lokasi shooting di tiga negara dan dikerjakan selama satu setengah tahun. Selain di Jepang dan Hong Kong, shooting dilakukan di Lembah Baliem dan mengerahkan suku Dani sebagai figuran. Karena ceritanya soal prajurit di zaman batu, ya, suku Dani harus memakai koteka dan wajah dicoreng-moreng. Pemakaian koteka itulah yang menyulut protes. Pemuka masyarakat Irian Jaya, terutama yang asal suku Dani, mengancam akan memboikot film itu kalau kelak diputar di Irian Jaya. Sampai pekan ini, film yang dibintangi bekas karateka nasional Advent Bangun dan beberapa bintang film Hong Kong itu sudah diputar di Surabaya, Jambi, dan Ujungpandang. Film ini berkisah tentang hilangnya Nakamura, seorang pengusaha Jepang yang memburu harta karun di pedalaman Irian, setelah Perang Dunia II. Namun, perusahaan asuransi meragukan keputusan pengadilan yang menyatakan Nakamura telah meninggal. Lucky, pemilik perusahaan asuransi, kemudian mengajak Koshi, anak Nakamura, untuk mencari jejak Nakamura di Irian. Singkatnya, Nakamura ternyata ditemukan masih bernyawa. Orang Jepang itu dipekerjakan bersama sejumlah penduduk asli Irian -dimainkan oleh 700 orang figuran suku Dani tadi -dalam sebuah tambang emas oleh kawanan berdarah Barat. Sebagai ilustrasi, dilukiskan kehidupan dan perang "suku pedalaman" di Lembah Baliem tadi. Lengkap dengan koteka dan peradaban zaman batu. Protes pun melayang. "Produser merusak kampanye berbusana yang sudah dilakukan sejak 1971. Bayangkan saja, mereka dibayar tiga ribu sehari agar mau menanggalkan pakaian dan mengenakan koteka," ujar pejabat sementara Kepala Kanwil Departemen Penerangan, Frist Ronny Masosendifu. Masosendifu khawatir film itu memberi gambaran salah tentang suku Dani. "Jangan-jangan dikira orang Dani masih hidup di zaman batu dan telanjang," katanya. Ia sempat mengirim surat ke Departemen Penerangan di Jakarta, Bakorstanasda, dan Polda Irian Jaya, agar film itu ditarik dari peredaran. David Hubi, anggota DPRD Irian Jaya asal suku Dani, juga berang. "Sebagai orang Dani, saya merasa percuma saja Pemerintah kampanye busana kalau di lain pihak ada usaha eksploitasi untuk tujuan wisata," kata Hubi keras. "Harga diri orang Dani telah diperjualbelikan," kata Hubi lagi. Ia mengancam: mahasiswa dan cendekiawan asal suku Dani siap untuk protes kalau film tadi masuk ke Irian Jaya. Barangkali, protes Hubi dan pemuka Dani terdengar sampai ke Deppen di Jakarta. Buktinya, dalam film yang tengah beredar itu, suku pedalaman itu tak disebutkan berasal dari pedalaman Irian Jaya, namun dari sebuah negeri antah-berantah di sebuah negara Asia. Menurut Gunawan Prihatna, produser dari PT Tobali Indah Film, pemakaian koteka itu harus dilihat dalam kaitan dengan pariwisata. Tentang setting lokasi yang terpaksa diubah, kata Prihatna, "Itu karena setelah dipikir-pikir kami kok risi, tak enak." Rencana semula, memang akan disebut bahwa suku pedalaman tadi hidup di Irian Jaya. Film ini memang punya dua judul. Yang beredar di Indonesia berjudul Ekspedisi Pencarian Harta Karun, sedang yang ditonton orang Hong Kong diberi judul The Stone Age Warrior. Barangkali, masalahnya hanya soal menakar kadar kepekaan. Bolehkah koteka melanglang buana sampai ke Hong Kong? Toriq Hadad, Nanik Ismiani (Jakarta), dan Kristian Ansaka (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus