Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggusur tanah jatah

Transmigran di tapin, kalimantan selatan protes. jatah tanah mereka akan di jadikan kebun karet oleh pt ariesta. bupati tapin tak mundur walau dia- dukan ke peradilan tata usaha negara.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transmigran protes karena jatah tanahnya akan dijadikan kebun karet. Bupati diadukan ke PTUN. TANAH memang menjadi dambaan kaum transmigran. Mereka meninggalkan kampung halamannya di Jawa untuk mendapatkan tanah yang lebih longgar buat pekarangan dan bercocok tanam. "Tanah merupakan sesuatu yang tak kami miliki selama hidup di Jawa dulu," kata Muhammad, seorang transmigran asal Malang, Jawa Timur, di Desa Salam Babaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Namun, tanah itu pula yang kini menjadi masalah bagi Muhammad dan 300 kepala keluarga yang bermukim di lokasi itu sejak 1973. Tanah gersang tadah hujan itu kini menjadi rebutan antara transmigran dan PT Ariesta, perusahaan yang mau menyulapnya menjadi kebun karet. Sengketa berawal dari niat Ariesta yang akan menggarap 700 ha menjadi kebun karet. Suatu hari di bulan Ramadan tahun 1989, Ismet, Direktur PT Ariesta, bersama Camat Zainal dan Kepala Desa Salam Babaris, Basri, mendatangi penduduk menunjukkan sebuah peta. Dalam peta itu tertera, sebagian tanah penduduk adalah milik Ariesta sejak 20 tahun sebelumnya. Transmigran asal Ja-Tim, Ja-Teng, dan Jakarta itu kian tercekam ketika Basri minta agar warga yang punya tanah yang tertera dalam peta itu melapor. Maksudnya, "Agar mereka mendapatkan ganti rugi," kata Kepala Desa Basri kepada Almin Hatta dari TEMPO. Tapi tak semua warga transmigran menurut. "Kami merasa itu tanah milik kami," kata Muhammad. Sejak menginjakkan kaki di Salam Babaris 1973, Muhammad dkk mendapat jatah sebuah rumah, seperempat hektare pekarangan, dan ladang tiga perempat hektare. "Itu tanah pemberian Pemerintah," kata Muhammad. Kalau Pemerintah mau mengambilnya, silakan. "Asalkan, beri kami gantinya. Boleh di Sumatera atau Irian Jaya. Tapi kalau pihak lain mau menyerobot, kami akan mempertahankannya." Setelah itu, teror pun mencekam penduduk. Misalnya, siapa saja yang tak menaati perintah kepala desa, tak akan mendapat ganti rugi. Yang menyerah, sebanyak 86 kk, menerima ganti rugi Rp 50.000 sampai Rp 150.000 per ha. Segera setelah dibayar, sekitar 15 ha tanah transmigran ditaburi benih karet. Selebihnya, 48 ha, kini sudah dibabat untuk ditanami karet. Ketegangan antara transmigran dan Ariesta yang dibantu aparat desa reda setelah Bupati Tapin, Makkie, turun tangan. Awal bulan ini, sejumlah tokoh transmigran dipanggil. Bupati menjamin, PT Ariesta tak akan mencaplok tanah transmigran. Janji itu ternyata terbukti di lapangan. Sejak pertemuan dengan Bupati itu, Ariesta menyetop kegiatannya. Bedeng tempat menampung buruh perusahaan di Desa Salam Babaris dibongkar. Selanjutnya, Bupati memanggil Badan Pertanahan setempat dan Ariesta. Setelah diteliti, kata Bupati kepada TEMPO, "ternyata bahwa tanah seluas 225 ha itu milik warga." Karena itu, lahan kebun karet terpangkas, tinggal 450 ha. Bupati lantas menertibkan aparatnya yang membantu Ariesta membebaskan tanah. Tentu saja putusan Bupati itu mengecewakan PT Ariesta. Ia mengaku telah mengeluarkan dana Rp 10 juta untuk membebaskan 15 ha tanah transmigran. "Tapi uang itu tak pernah diberikan pada warga. Raib entah ke mana," kata Ismet. Perusahaan itu juga sudah mengeluarkan Rp 1 milyar lebih untuk penyemaian bibit dan pembebasan tanah lainnya. "Kami akan mem-PTUN-kan Bupati," kata Ismet. Tampaknya, Bupati tak mundur diancam diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Bupati pun lantas menawarkan jalan baik-baik, yakni perkebunan itu dijadikan plasma. Ariesta menyewa tanah dan transmigran yang mengerjakannya. Saran ini dianggap Dirjen Penyiapan Pemukiman Transmigrasi, R.S.G. Mailangkay, sebagai kompromi yang tak merugikan siapa pun. "Sebaiknya Ariesta bermitra saja dengan masyarakat, tak usah menggusur," katanya. "Atau cari tempat lain." Agus Basri dan Indrawan (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus