Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEVIN Reynaldo. Begitu pemilik akun @opposite6890 di Twitter dan Instagram itu memperkenalkan dirinya. Kevin adalah nama samaran yang lazim dipakai pria tersebut ketika mengerjakan proyek investigasi siber. Membeberkan umur hingga latar belakang pendidikannya, ia meminta data tersebut tak ditulis. “Profiling membuat saya makin mudah terlacak,” kata Kevin melalui sambungan telepon di aplikasi Telegram, Rabu, 13 Maret lalu.
Tempo meminta Kevin membuktikan bahwa ia benar-benar operator akun tersebut dengan mengunggah video berlatar hitam dengan huruf “T” di tengah disertai kalimat “saya minum air mineral”. Sehari setelah wawancara, unggahan tersebut muncul di akun @opposite6891—akun baru @opposite6890—di Twitter dan @opposite6890 di Instagram, yang total pengikutnya hampir 200 ribu. Dipublikasikan pada pukul 20.30 Kamis itu, video tersebut dihapus Kevin pada Jumat dinihari, 15 Maret lalu.
Kevin bercerita, akun @opposite6890 di Twitter dan Instagram dibuat pada Februari 2018. Ia memilih nama “opposite” karena menganggap dirinya berseberangan dengan pemerintah Joko Widodo. Empat angka di belakang nama adalah kode identitasnya di dunia digital.
Sebelum menyatakan diri sebagai “oposisi”, Kevin mengaku mendukung Jokowi pada pemilihan presiden 2014. Menurut Kevin, ia pernah membantu Jasmev, kelompok pendukung Jokowi yang menggarap kampanye di media sosial. Belakangan, ia merasa kecewa terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta itu, lalu membelot menjadi pendukung Prabowo Subianto, rival Jokowi pada pemilihan presiden 2019. “Saya patuh pada perintah Habib Rizieq Syihab untuk mendukung calon presiden hasil ‘Ijtimak Ulama’,” kata Kevin.
Pembedahan aplikasi Sambhar menggunakan perangkat virustotal.com, yang menemukan alamat IP mengarah ke Markas Besar Kepolisian Republik indonesia.
Pendiri Jasmev, Kartika Djoemadi, menyebutkan kelompoknya selalu merekrut anggota beridentitas resmi. Pemilihan “relawan” mencakup verifikasi identitas, kelengkapan dokumen seperti kartu tanda penduduk, dan keaslian akun media sosial. “Anggota kami bukan akun-akun anonim,” ujar Kartika. Ia tak mengetahui apakah ada anggota Jasmev bernama alias Kevin di timnya.
Pada Rabu itu, Kevin sudah berada di luar negeri dan menyatakan tak akan pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Ia menyebut nama sebuah negara, tapi menolak nama itu ditulis untuk alasan keselamatan. Menurut dia, kepergiannya ke luar negeri merupakan ekspresi kekecewaan terhadap polisi. “Saya menemukan kejanggalan, kok, malah diburu dan dianggap buron,” ia berujar.
Akun @opposite6890 yang dikelola Kevin mendadak tenar setelah menyebarkan dugaan bahwa polisi tidak netral pada pemilihan presiden 2019. Ia menuduh polisi membentuk tim pendengung alias buzzer yang bertugas mengamplifikasi unggahan yang berpihak pada Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Berdasarkan penelusuran Kevin, sejumlah polisi yang diduga merangkap buzzer itu menggunakan aplikasi bernama Sambhar untuk menyebarkan konten ke tiga media sosial sekaligus—Twitter, Facebook, dan Instagram—dalam sekali klik.
Penelusuran Kevin berawal dari sebuah pesan yang masuk ke akun Twitternya, yang waktu itu masih bernama @opposite6890. Menggunakan nama “segawon”, yang berarti anjing dalam bahasa Jawa, akun @babaho***** menyampaikan informasi bahwa polisi membentuk pasukan buzzer berkekuatan seratus personel dari sejumlah kepolisian resor. Si pembocor menyertakan tautan untuk mengunduh aplikasi Sambhar yang digunakan para pendengung. “Dia mengontak karena mengamati saya vokal mengkritik pemerintah,” tutur Kevin, yang mengaku tak mengenal informannya itu.
Si informan juga bercerita kepada Kevin bahwa ada pertemuan khusus untuk menatar para buzzer. Salah satu materi pelatihannya adalah perbandingan situasi Indonesia dan Timur Tengah. Menurut Kevin, berdasarkan cerita informannya, peserta pelatihan mengikuti akun @alumnisambhar di Instagram setelah menyelesaikan pelatihan. “Jika pesan ini sudah diterima, mohon konfirmasi karena saya akan melenyapkan diri,” kata akun tersebut kepada Kevin. Akun “segawon” dengan alamat @babaho***** sudah lenyap di Twitter. Demikian juga akun @alumnisambhar di Instagram.
Berbekal tautan dari si informan, Kevin mengunduh aplikasi Sambhar dan meminta tim digitalnya membedah aplikasi berlogo tameng bersayap itu. Ia menggunakan sejumlah peranti lunak. Salah satunya NVISO, penyedia jasa forensik digital berbayar yang berbasis di Brussels, Belgia.
Kevin menemukan alamat Internet Protocol atau IP 157.240.20.15 dan 31.13.90.2 pada aplikasi Sambhar. Jejak alamat IP pada aplikasi menandakan Sambhar pernah bertukar data dengan peladen alias server induk situs. Penelusuran Tempo melalui whois.com dan iplocation.net menunjukkan dua protokol Internet tersebut mengarah ke markas Facebook di Amerika Serikat dan Irlandia. Tapi, di tengah deretan alamat Facebook, terselip IP 120.29.226.193 di aplikasi Sambhar. “Destinasi IP itu ternyata ke Markas Besar Polri,” ujar Kevin, yang menggunakan layanan WHOIS IP Lookup Tool untuk menyelidiki pemilik alamat.
Menguji temuan Kevin, Tempo memasukkan alamat 120.29.226.193 ke tiga situs pelacak IP gratis, yakni whois.com, iplocation.net, dan ipfingerprints.com. Ketiganya menunjukkan bahwa Markas Besar Kepolisian RI, yang berlokasi di Jalan Trunojoyo Nomor 3, Jakarta, terdaftar sebagai pemilik alamat IP tersebut. Situs whois.com memaparkan, salah seorang administrator alamat Internet itu bernama I Nyoman Suparsa. Ia pernah menjabat Kepala Bidang Teknologi Informasi Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dengan pangkat ajun komisaris besar.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Selatan Komisaris Besar Muhammad Rifai membenarkan info bahwa Nyoman pernah bertugas sebagai Kepala Bidang Teknologi Informasi Polda Kalimantan Selatan hingga 2018. Saat berdinas di sana, Nyoman pernah membuat aplikasi berbasis Android bernama Sasirangan yang menyediakan fitur pengaduan online dan tombol darurat keamanan. “Beliau sekarang berdinas di Mabes Polri,” kata Rifai. Nyoman tak membalas permintaan konfirmasi yang dilayangkan lewat surat elektronik yang alamatnya tertera di pelacakan IP lewat whois.com.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal mengakui bahwa alamat IP 120.29.226.193 adalah salah satu dari 2.000 alamat IP milik Polri. Menurut dia, keberadaan alamat IP itu pada jejak digital Sambhar bisa terjadi karena ada pihak yang memanipulasi data digital. Soal nama Nyoman yang tercatat sebagai administrator, Iqbal menyebutkan Nyoman mendaftarkan alamat itu ketika masih menjabat Kepala Subbagian Jaringan di Divisi Teknologi Informasi Polri. “Status alamat IP itu sekarang menganggur alias idle,” ujar Iqbal.
Lewat serangkaian pemindaian, Kevin juga menemukan pengembang aplikasi Sambhar yang identitasnya tertera dalam deret huruf dan angka. Menurut dia, ketika ditelisik lebih jauh, kode numerik dan alfabet itu identik dengan “sidik jari” digital pada aplikasi Tasbeeh dan Laffy yang mengarah pada pria bernama Lucgu Qolfiera Muhammad.
Lucgu kini bekerja sebagai pengembang aplikasi Android di PT Kudo Teknologi Indonesia, situs e-commerce. Head of Compliance Kudo, Azhar Noor Muhammad, mengatakan Lucgu tercatat sebagai insinyur digital di perusahaannya sejak Januari 2018. Melalui Azhar, Lucgu membantah pernah menciptakan Sambhar. “Namanya dicatut oleh pihak tak dikenal,” ucap Azhar.
Lembaga pemantau media sosial, Media Kernels Indonesia, ikut memonitor polemik Sambhar. Pendiri Media Kernels, Ismail Fahmi, membedah aplikasi itu sebagaimana yang dikerjakan Kevin. Ismail, doktor lulusan University of Groningen, Belanda, menggunakan perangkat virustotal.com, peranti keamanan siber yang pernah dimiliki Google dan berbasis di Irlandia. Temuan Ismail tak jauh berbeda dengan penelusuran Kevin.
Lewat virustotal.com, Ismail menemukan alamat IP yang mengarah ke Mabes Polri. Jejak Lucgu sebagai pengembang aplikasi pun terlacak lewat perkakas lunak itu. “Namun belum terbukti aplikasi tersebut dipakai untuk menyebarkan hoaks,” ujar Ismail.
Ia juga menguji keberadaan aplikasi Sambhar di jaringan Internet Polri. Dengan bantuan shodan.io, mesin pelacak konektivitas gawai, jejak situs induk Sambhar, mysambhar.com, ditemukan di alamat IP tersebut. “Analisis mesin itu menunjukkan satu-satunya aplikasi yang terpasang di sana baru mysambhar.com,” kata Ismail.
Andrew Kurniadi, Google Developer Expert Indonesia, membuka kemungkinan lain. Andrew mengatakan jejak alamat protokol Internet Polri dalam aplikasi Sambhar belum tentu menunjukkan adanya pertukaran data. Menurut dia, bisa jadi ada pihak yang sengaja mengarahkan alamat itu ke aplikasi Sambhar.
Ia memasukkan alamat mysambhar.com ke securitytrails.com untuk memetakan jejak digital. Hasilnya, ada alamat Internet lain yang terhubung dengan perusahaan penjual domain Internet yang berkantor di California, Amerika Serikat. “Hasil penelusuran soal Sambhar bisa jadi tak berkorelasi karena semua orang bisa dengan mudah mengarahkan jejak digital ke alamat itu,” ujar Andrew, lulusan ilmu komputer Seattle University, Amerika Serikat.
Operasi membongkar aplikasi Sambhar membuat pembocor lain menghubungi Kevin. Salah seorang informan mengirimkan tangkapan layar sebuah grup percakapan WhatsApp bernama “Binmas aja”. Grup tersebut berisi sejumlah nama dengan pangkat polisi. Ketika salah seorang bernama Denny dengan nomor telepon 08133339**** menyuruh anggota grup menghapus aplikasi Sambhar di telepon seluler, satu per satu anggota meninggalkan grup. Nomor Denny sudah tak aktif ketika ditelepon.
Salah seorang anggota grup yang keluar bernomor telepon 08123303****. Ketika nomor itu diketik ke mesin pencari Google, akun @wish_souvenir di Instagram langsung muncul di barisan teratas. Tapi nomor penyedia jasa cendera mata mutasi aparat itu telah berganti menjadi 08133081**** sebagaimana terpampang di halaman muka akun tersebut.
Status Twitter akun @opposite6890 pada 4 Maret 2019.
Pelacakan lebih jauh menemukan akun suvenir itu terkait dengan akun lain bernama “rerekefas”, yang pernah menampilkan potret polisi wanita bernama Rere Gulo. Ketika kedua nomor itu dihubungi, suara perempuan di ujung telepon menjawab dan mengakui namanya Rere. Tapi dia langsung menyudahi pembicaraan ketika Tempo memperkenalkan diri dan menanyakan keberadaan grup “Binmas aja”.
Anggota lain yang pergi dari grup “Binmas aja” terdaftar dengan nomor telepon 08233895****. Pemilik nomor itu mengaku bernama Junaedi dan berprofesi sebagai petani di Sumenep, Madura. “Grup binmas apa, ya?” ujarnya bertanya dengan nada tinggi.
Pelacakan Kevin terhadap akun @alumnisambhar di Instagram—sebelum dihapus—menyingkap puluhan akun personel polisi dan markas kepolisian terdaftar sebagai pengikut. Berdasarkan arsip foto yang dikirim Kevin, sejumlah akun Instagram, antara lain @polres_majalengka, @polsek_pancatengah, dan @brimobjateng, terdaftar sebagai pengikut @alumnisambhar. Padahal @alumnisambhar tak pernah mengunggah foto atau video dan hanya mengikuti @jokowi, akun resmi Presiden Jokowi. “Kenapa akun resmi kepolisian mengikuti akun yang tak jelas, yang tak punya postingan foto dan video?” kata Kevin.
Direktur Komunikasi Politik Jokowi-Ma’ruf, Usman Kansong, mengatakan tudingan @opposite6890 bahwa polisi ikut membantu kampanye kubu 01 tak berdasar. Akun @alumnisambhar belum pernah mengunggah konten apa pun. Menurut dia, aplikasi Sambhar sama sekali tak berkaitan dengan strategi kampanye Jokowi-Ma’ruf di media sosial. “Kami tak merasa diuntungkan maupun dirugikan Sambhar,” ujar Usman.
Selepas Kevin membongkar aplikasi Sambhar, kepolisian menyelidiki data digital yang berkaitan dengan jaringan Internet dan tangkapan layar, yang salah satunya memuat percakapan grup “Binmas aja”. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal mengatakan polisi tak menemukan data seperti yang ditudingkan @opposite6890. “Setiap aplikasi dapat direkayasa source code-nya untuk diarahkan ke server mana pun,” -ucapnya.
Meski demikian, Iqbal mengakui bahwa polisi membuat sejumlah aplikasi dan mengadakan pelatihan pembuatan konten di media sosial untuk melawan disinformasi atau informasi sesat. Polisi juga tergabung dalam proyek Sinergi Media Sosial Aparatur Negara yang dikelola Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang tugasnya menyampaikan hasil kerja pemerintah. “Tujuan kegiatan itu menjaga ketertiban masyarakat, tanpa mengurangi semangat netralitas polisi,” kata Iqbal.
RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo