Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Putra pejuang perang Surabaya 45 Doel Arnowo, Agus Djafad Husni Arnowo, 80 tahun, yakin ayahnya mengetahui siapa penembak komandan Brigade-49 Inggris, Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby di Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945.
Hari ini, 30 Oktober 2023, tepat 78 tahun lalu Jenderal Mallaby tewas. Kematian Mallaby menyulut meletusnya perang Surabaya sepanjang Nopember 1945. Sebanyak 20 ribu pejuang dan rakyat diperkirakan gugur dalam perang kota yang diakui sebagai salah satu yang terbesar di dunia itu.
Namun hingga meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo Surabaya pada 18 Januari 1985, Doel Arnowo tidak pernah menyebutkan siapa sebenarnya sosok penembak Mallaby.
“Kepada putra-putranya, Bapak juga tak pernah cerita siapa orang yang menembak Mallaby. Beliau diam sampai wafatnya,” kata Agus saat ditemui Tempo di rumahnya, Jalan Tanggulangin, Surabaya, Rabu lalu, 25 Oktober 2023.
Menurut Agus, di masa-masa perang Surabaya, ayahnya adalah sosok yang disegani oleh para pejuang. Secara de-facto, kata Agus, pengusasa Surabaya saat itu memang Gubernur Soerjo dan Residen Soedirman. “Tapi yang berhubungan dengan para pejuang di bawah, termasuk para anggota laskar, ya, Bapak, karena beliau kan sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Karesidenan Surabaya,” kata Agus.
Agus menuturkan, Doel Arnowo pernah bercerita bahwa saking segannya para pemuda pejuang terhadap dia, sampai-sampai mau beli es dawet saja mereka meminta izin. Sikap segan kaum pejuang pada ayahnya, tutur Agus, bukan karena Doel Arnowo sosok menakutkan dan punya kuasa.
“Tapi saya kira karena Bapak sudah terjun di dunia politik cukup lama, beliau ikut PNI di awal-awal pendirian partai tersebut. Dengan Bung Karno Bapak berteman sejak tahun 20-an,” kata Agus.
Ketika perundingan antara Indonesia dan Inggris digelar di Kantor Gubernur Jawa Timur pada 30 Oktober 1945, di mana salah satu poin kesepakatannya ialah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta para pejuang wajib berseragam, yang memerintahkan membuka gudang pakaian di Surabaya utara juga Doel Arnowo.
Gudang pakaian itu, menurut Agus, buat menyimpan seragam militer Belanda dan Jepang yang dirampas oleh para pejuang Indonesia. “Akhirnya seragam-seragam itu dipakai TKR dan pejuang. Memang tak sama semua, tapi kan seragam,” ujar putra keempat dari sebelas bersaudara itu.
Sehingga, kata Agus, tidak mungkin pelaku penembakan terhadap Mallaby ketika itu tidak diketahui oleh ayahnya. Setidaknya yang bersangkutan pasti melapor. Apalagi saat Mallaby terbunuh, Doel Arnowo juga berada di sekitar Gedung Internatio. “Tewasnya Mallaby itu perkara besar, mustahil kalau Bapak tak tahu pelakunya,” kata Agus.
Dalam artikelnya di Surabaya Post edisi Rabu, 6 Nopember 1985, berjudul Siapa Pembunuh Mallaby, Mengapa Dul Arnowo Tidak Bercerita? sejarawan dan sastrawan Suparto Brata menyatakan bahwa sampai 1973 orang masih bertanya-tanya siapa pembunuh Mallaby.
Para saksi mata yang saat itu masih hidup tentu tahu jawabannya. Tapi mereka bungkam. Tidak bersedia bersaksi secara lisan maupun menuliskannya dalam bentuk artikel testimoni.
Menurut Suparto Brata, Doel Arnowo baru sedikit mengungkap teka-teki itu dalam artikel Roeslan Abdulgani berjudul Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan. Artikel tersebut pertama kali muncul di Surabaya Post edisi 25 Oktober-9 Nopember 1973.
Dalam tulisan itu diceritakan bahwa saat tembak-menembak terjadi, semua anggota Kontak Biro berlarian menyelamatkan diri. Roeslan Abdulgani, Doel Arnowo, Soengkono, Kusnandar, dan dokter Mursito melompat ke Kalimas. Seorang pemuda menyusul meloncat dan berkata pada Doel Arnowo, “Wis beres, Cak (Sudah beres, Kak).”
“Apanya yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo.
“Jenderal Inggris-nya. Mobilnya meledak dan terbakar.”
“Siapa yang meledakkan?” Doel Arnowo terkejut.
“Tidak tahu, ada granat yang meledak di dalam mobil, tapi dari pihak kita pun ada yang menembak ke arah mobil tersebut,” kata pemuda itu.
Para pemimpin Indonesia kaget mendengar laporan itu. Lalu berpesan, “Sudah, diam saja. Jangan ceritakan hal ini kepada orang lain!”
Sejak artikel itu dipublikasikan, muncul pengakuan dari setidaknya dua orang sebagai pelaku penembakan pada Mallaby. Yakni seseorang bernama Ook Hendironoto pada 1977 dan Abdul Azis alias Ajis Endhog pada 1985.
Agus yakin pengakuan Abdul Azis maupun Ook Hendironoto sebagai penembak Mallaby telah didengar ayahnya. Namun Doel Arnowo memilih diam saja. “Bapak tak pernah mengomentari, baik membantah maupun mengiyakan. Pernah saya tanya, 'Bapak kok mendel mawon (diam saja)?' Beliau bilang, 'Gawe apa ditanggapi (buat apa ditanggapi), jarna ae (biarkan saja)',” kata Agus Arnowo.
Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari mengatakan bungkamnya para pelaku sejarah untuk menyimpan rahasia penembak Mallaby karena misi Sekutu mendarat di Surabaya sebenarnya untuk perdamaian.
“Menurut analisis saya, kalau pelaku penembakan atau pembunuhan pada Mallaby itu dibuka, justru mengganggu proses rekonsiliasi. Bisa jadi ada kekhawatiran seperti itu,” kata Ihsan saat dihubungi.
Pilihan Editor: Siapa Penembak Jenderal Mallaby di Surabaya, Benarkah Ajis Endhog dari Ampel?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini