Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Raja baru, dengan Permaisuri

Persiapan upacara penobatan mangkubumi sebagai Hamengku Buwono X di Yogya. tata cara penobatan ada beberapa perubahan. Matari adv. & PT Suma International serta TVRI memperoleh konsesi dokumentasi upacara.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENAMPILAN Kyai Caruda Yeksa telah kembali gagah. Kulit tubuhnya yang coklat-tua kembali berkilat berkat olesan pelitur. Karat pada rodanya juga telah disapu bersih. Bagian as dan engsel pun telah dilas, dan dioles dengan pelumas, sehingga kereta tua dari keraton Yogyakarta itu tak lagi berderit ketika berlari. Delapan ekor kuda yang gagah telah pula dipesan oleh Keraton Yogya dari Pusdiklat Kavaleri, Bandung, untuk menarik kereta yang punya mahkota berlapis emas 16 karat itu. Kereta yang berumur lebih dari 150 tahun itu, 8 Maret nanti, akan mengarak Mangkubumi, selaku raja baru yang bergelar Hamengkubuwono X, kirab mengelilingi benteng keraton. Persiapan menyongsong hari besar itu telah mmasuki tahap akhir. Seluk-beluk urutan upacara telah selesai disusun. Renovasi bangunan keraton, dengan biaya pemerintah sebesar Rp 1,25 milyar itu, sebagian besar telah rampung. Sisanya akan dikebut pekan ini, termasuk pembangunan lintas jalan membelah alun-alun utara, yang melewati dua beringin kembar (sebuah di antaranya roboh beberapa pekan silam), buat kirab sang raja baru. Mangkubumi akan dinobatkan sebagai HB X pada 7 Maret mendatang. Sebelumnya dia akan dikukuhkan terlebih dahulu sebagai putra mahkota, dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hanom Hamengku Negoro Sudibyo Rojo Putero Narendro Mataram. Sebutan ini persis dengan nama HB IX ketika menjadi putra mahkota. Namun sebelum orang hafal serangkaian kata-kata panjang itu, ketentuan istana menghendaki agar putra mahkota itu berganti nama lagi. Sebutan barunya, Hamengkubuwono X, dengan embel-embel panjang: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Pranoto Gomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping X Ing Ngayogyokarto Hadiningrat. Penobatan (jumenengan) sultan baru ini dilakukan dengan menyematkan Bintang Pusaka bersudut delapan ke dada Mangkubumi. Penyematan bintang itu tak lagi dilakukan oleh Gubernur Jenderal Belanda seperti di zaman penjajahan dulu, tetapi cukup dilakukan oleh GBPH Poeroboyo, sebagai pangeran tertua. Mangkubumi mengawali tradisi baru dalam jumenengan sultan Yogya. Seusai penyematan bintang, dia akan membacakan pidatonya dalam bahasa Indonesia, yang berjudul "Tahta Bagi Kesejahteraan Kehidupan Sosial dan Budaya Rakyat". Menjelang akhir upacara, HB X memberikan dawuh (instruksi), promosi kerabat keraton dan pangkat abdi dalem. Pada kesempatan itu Ny. Tatik Dradjat, istri HB X, secara resmi akan diangkat sebagai garwo padmi (permaisuri). Pada kesempatan yang sama, GBPH Hadikusumo, putra HB IX yang lain, juga akan dipromosikan menjadi pangeran lurah, jabatan yang pernah dipegang Mangkubumi sebagai putra HB IX tertua. Rangkaian prosesi itu dimulai dengan acara ziarah ke Kotagede, 7 km di timur Yogya, tempat dikuburkannya Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram. Calon HB IX ini juga harus ke Imogiri, menziarahi makam Sultan Agung dan raja-raja Mataram lainnya. Keramaian agaknya baru akan terasa pada hari Minggu, dengan acara ngapem, saat mana keraton membagi-bagikan kue apem kepada khalayak. Sedangkan puncak acara akan jatuh pada acara jumenengan di Bangsal Siti Hinggil. Pada acara jumenengan, mula-mula para keluarga istana berkumpul di bangsal Proboyekso. Dari bangsal itu, kemudian mereka bergerak ke Bangsal Kencono sekitar pukul 08.00. Mangkubumi datang menyusul setengah jam kemudian. Lantas dari situ rombongan calon raja itu berjalan ke Siti Hinggil. Setelah acara pembukaan, tibalah saatnya undhang (pengumuman) dibacakan oleh Pangeran Hadikusumo, selaku pimpinan Tepas Sri Wandowo, semacam sekretaris negara. Hadikusumo akan membacakan keputusan pertama, bahwa Mangkubumi diangkat sebagai putra mahkota. Usai itu, calon HB X itu akan pindah duduk ke kursi putra mahkota. Undhang kedua dibacakan. Isinya keputusan bahwa putra mahkota dinobatkan sebagai sultan. Dalam iringan gending Monggang, Mangkubumi pun melangkah ke tengah ruangan untuk menerima Bintang Pusaka, dan kemudian duduk di dampar kencono (singgasana). Penobatan HB X di zaman kemerdekaan ini ditandai dengan sejumlah perubahan. Sebutan HB X yang panjang itu tak lagi mencantumkan kata "Nagari" di depan Ngayogyokaro. "Sejak HB IX menyatakan Kasultanan sebagai bagian RI, Yogya bukan lagi sebuah negara," tutur Pangeran Poeroebojo, sesepuh keraton. Perubahan lain dilakukan pada lambang keraton Yogya, dengan menambahkan selembar bulu pada gambar sayap, dari 9 menjadi 10. Juga di antara sayap bagian bawah akan ada tulisan angka 10 dalam huruf Jawa. Ini benar-benar baru, karena ketika HB IX bertakhta, tidak ada angka sembilan dalam lambang keraton. "Seharusnya tidak usah ditambah angka 10, seperti sebelumnya juga tidak ada angka 9. Lambang sebuah dinasti seharusnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah," ujar Pangeran Poeroebojo mengomentari perubahan lambang keraton ini. Semangat perubahan toh terkadang terbentur adat. Kabarnya, Mangkubumi pernah menyatakan keinginannya agar permaisurinya bisa mengikuti dia, dalam kereta yang sama, tatkala kirab. Niat ini ternyata diurungkan. "Garwo padmi tetap tidak ikut dalam kirab keliling benteng keraton, karena adatnya memang begitu. Kami belum berani mengubahnya," kata Joyokusumo. Perubahan lain: masuknya investor swasta dalam upacara keraton. Perusahaan iklan Matari Adv. dan PT Suma International memperoleh konsesi untuk membuat dokumentasi selama upacara panjang ini. Selain Matari dan TVRI, pihak lain tak diperkenankan membuat rekaman film atau video. "Bila ada TV asing ingin menyiarkan acara jumenengan, silakan minta izin ke Matari," ujar Mangkubumi. Mangkubumi membantah hal ini sebagai komersialisasi acara penobatan. Ia mengakui bahwa keraton tak memiliki dana cukup besar bila harus menanggung ongkos dokumentasi itu sendirian. "Makanya, kami bekerja sama dengan swasta yang berminat," tambahnya. Kendati Matari telah menyediakan dana Rp 450 juta untuk "proyek" itu, tak urung keraton masih harus menombok Rp 170 juta untuk pendokumentasian itu.Putut Tri Husodo, I Made Suarjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus