PERKAMPUNGAN Cihideung, Talangsari III, tempat terjadinya peristiwa berdarah di Lampung itu, sampai awal pekan ini masih tertutup. Sejumlah petugas keamanan tetap mengawasi tempat terpencil 60 km di utara Metro, ibu kota Kabupaten Lampung Tengah itu. Tapi penduduk di sekitar Cihideung, yang sebelumnya sempat mengungsi ke desa-desa di sekitarnya, kini berangsur-angsur mulai pulang ke rumah masing-masing. Korem 043 Garuda Hitam Lampung kini sudah mempersiapkan sebuah proposal untuk merehabilitasikan kondisi Cihideung dan sekitarnya. Menurut sebuah sumber, dalam proposal itu diuraikan berbagai langkah yang perlu diambil dalam memulihkan Cihideung seperti sedia kala, di antaranya dengan memulangkan penduduk yang menjadi pengungsi. Untuk itu, diperlukan biaya Rp 55 juta. Sejak meletusnya penstiwa Lampung, 7 Februari yang lalu, Cihideung yang terletak di Desa Rajabasa Lama. Way Jepara, Lampung Tengah, memang betul-betul tertimpa bencana. "Praktis perekonomian warga Talangsari III menjadi mati, sebab penduduk mengungsi. Malah kami kewalahan memberi bantuan makanan kepada para pengungsi," kata Amir Puspamega, Kepala Desa Rajabasa Lama. Kepala Desa itu masih menginventarisasikan berapa ternak penduduk yang mati karena ditinggal begitu saja, juga perabotan dan barang-barang rumah tangga yang hilang ketika ditingal pemiliknya. "Mungkin kerugian desa ini sampai Rp 300 juta," kata Amir, menebak. Semua itu nampaknya membutuhkan upaya rehabilitasi. Aparat keamanan masih menguber anggota komplotan yang lolos. Tapi penangkapan nampaknya sudah selektif. "Saksi-saksi untuk perkara ini cukup banyak, kami tak mau sembarangan menangkap orang," kata Letnan Kolonel M. Purbani, Kepala Staf Korem Garuda Hitam. Harian Lampung Post, 24 Februari 1989, menyebutkan sudah sekitar 100 orang yang ditangkap sejak peristiwa ini terjadi. Misalnya, Korem menangkap Salamun, Nyoman, dan Aditya. Ketiganya adalah mahasiswa di dua perguruan tinggi di Bandar Lampung. Kini, menurut seorang pejabat keamanan di sana, yang diusahakan ialah menjaga agar sisa-sisa GPK itu tak meloloskan diri keluar Lampung. Tampaknya, memang tetap ada saja yang lolos. Untuk melacak para pelarian itu, aparat keamanan terkadang membawa anggota GPK yang sudah tertangkap yang diduga bisa membantu mengenali wajah para pelarian. Sabtu pekan lalu, misalnya, di Merak, Jawa Barat, seorang pelarian dari Lampung ditangkap polisi. Dari orang ini, disita sejumlah anak panah serta selebaran gelap yang belum sempat diedarkan. Kodim Boyolali, Jawa Tengah, juga berhasil menangkap 2 orang yang dicurigai terlibat gerakan. Mereka penduduk setempat yang telah lama merantau ke Lampung. Pertengahan Januari yang lalu, tiba-tiba mereka kembali ke desanya di Boyolali. Dua hari setelah peristiwa Lampung pecah, kedua orang ini dicurigai dan ditangkap. Menurut sebuah sumber, dalam pemeriksaan keduanya mengaku pernah ikut dalam gerakan itu, tapi kemudian tak cocok dengan khotbah-khotbah keras Warsidi, pimpinan GPK di Cihideung itu. Mereka juga takut setelah dilatih silat, membuat anak panah dan bom molotov, seakan bersiap-siap menghadapi pertempuran. Dari mereka pula diketahui -- menurut sumber tadi -- bahwa sejak Desember tahun lalu, Warsidi mengirimkan paket pelajarannya melalui pos kepada orang-orang di luar Lampung, seperti Boyolali, Klaten, dan Solo. "Mirip paket pelajaran Universitan Terbuka," kata sumber tadi. Dari pemeriksaan atas sejumlah anggota GPK yang tertangkap di Lampung, serta dari sejumlah dokumen yang disita, menurut sumber lain, sudah terkuak lebih terang seluk-beluk "jamaah" Cihideung ini. Misalnya, adanya rencana GPK mengadakan penyerbuan terhadap aparat pemerintah pada 17 Februari 1989. Untuk ini, Warsidi sempat mengirim surat ke Jakarta, untuk mengkoordinasikan penyerangan. Kelompok Warsidi ini memang bekerja sama dengan sebuah kelompok kecil lain di Jakarta, yang dipimpin oleh seorang anak muda eks pegawai Bea Cukai yang kemudian dikenal sebagai pemain karate (TEMPO, 25 Februari 1989). Di dalam suratnya itu, Warsidi antara lain memohon kiriman bantuan tenaga dari Jakarta. Setelah itulah, sekitar tiga bulan sebelum peristiwa Lampung itu pecah, di Cihideung muncul Alex serta sejumlah temannya dari Jakarta, dan persiapan-persiapan -- seperti membuat panah dan bom molotov itu -- dilakukan. "Menurut rencana, dua hari sebelum penyerangan 17 Februari, akan diadakan rapat akbar," kata sumber tadi. Bila ini benar, tindakan Warsidi dan anak buahnya di Cihideung, menyergap dan membunuh Kapten Soetiman, Komandan Koramil Way Jepara, 6 Februari 1989 itu, menyimpang dari rencana. Sekalipun sekarang gerakan ini sudah berantakan, aparat keamanan tetap meningkatkan kewaspadaan. Pangdam Jakarta Raya Mayor Jenderal Suryadi Soedirdja, misalnya, Jumat pekan lalu, mengadakan pertemuan dengan sekitar 350 lurah, camat, dan aparat pemda lainnya, di gedung DKI. Di situ Pangdam menjelaskan peristiwa Lampung, serta mengingatkan agar aparat kecamatan dan kelurahan mawas diri sehubungan terjadinya peristiwa itu. Acara yang sama dilakukan Pangdam, Senin pekan ini, dengan mengundang sejumlah mahasiswa dan Pembantu Rektor III dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta. "Panglima menjelaskan peristiwa Lampung serta tindakan-tindakan yang sudah diambil aparat keamanan, termasuk penangkapan-penangkapan yang dilakukan," ujar seorang peserta, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta.Amran Nasution, Tri Budianto Soekarno, Linda Djalil, Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini